Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nostalgia
"Mas Bhaskara… Kau di mana?"
Suara Rafaela terdengar bergetar di dalam batinnya. Kucing putih cantik itu masih menatap sekeliling, seakan mencari sosok yang sudah lama ia rindukan.
Bhaskara, yang tersembunyi di dalam labu tuak, menahan tawa yang sedikit bergetar. Campuran rasa haru, kesal, dan geli menyelimuti hatinya.
"Aku ada di sini, Ambar. Meski… bentukku sekarang agak berbeda."
Suara itu tetap dalam, penuh wibawa seperti dulu, tetapi juga menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan—entah itu kehangatan, atau rasa getir dari takdir yang mempermainkan mereka.
Rafaela semakin gemetar. Kalau bukan karena Silvana yang menepuk kepalanya, mungkin dia sudah terlonjak dari pangkuan tuannya.
Sementara itu, di dunia nyata, suasana mendadak kembali ringan ketika Shantand dengan santai menanggapi pertanyaan Bu Pinah.
"Ini buat Neng Silvana semua, Bu Pinah," katanya santai.
Silvana, yang masih setengah fokus dengan getaran misterius tadi, menoleh dengan kaget.
"Eh? Semua ini untukku?"
Shantand menggaruk kepalanya, agak salah tingkah. "Ya… maksudku, tadi memang aku bawa buat dijual, tapi ya... anggap aja promosi."
Silvana tersenyum kecil, senyum khas yang anggun namun tetap berkelas.
"Kalau begitu, Bu Pinah juga harus mencoba tahu super enak ini," ujarnya, mengambil sepotong tahu goreng lalu menyodorkannya ke arah Bu Pinah.
Bu Pinah, yang sejak tadi hanya melihat saja, terkekeh kecil. "Wah, kalau sudah dikasih tahu langsung sama neng Silvana, ya baiklah… Mari kita coba makan!"
Silvana dan Bu Pinah mulai menggigit tahu itu. Begitu tahu renyah itu pecah di mulut mereka, rasa gurih dan lembutnya langsung menyelimuti lidah.
"Hmmm… enak banget! Ini tahu luar biasa!" Bu Pinah spontan memuji.
Silvana mengangguk setuju. "Rasanya lembut dan kaya rasa, beda dengan tahu biasa."
Bu Pinah menatap Shantand dengan takjub. "Beneran kamu jual tahu kayak gini, Shantand?"
Shantand tertawa senang. "Ya iya, Bu. Di rumah aku memang buka lapak dagang tahu seperti ini, tapi jumlah produksinya masih terbatas."
Sementara obrolan mereka terus berlanjut dengan suasana hangat, Rafaela masih belum bisa mengalihkan pikirannya dari suara Bhaskara.
"Mas Bhaskara… Kenapa kita dipertemukan lagi dengan cara seperti ini?"
Suara Rafaela terdengar semakin lirih, penuh kebingungan dan emosi yang bercampur aduk.
Dari dalam labu tuak, Bhaskara terdiam sejenak. Hanya suara angin yang berhembus di luar warung yang terdengar, membuat suasana terasa lebih hening.
Lalu, dengan nada yang dalam dan berwibawa, ia akhirnya menjawab, "Ambar, takdir memang selalu punya cara sendiri untuk mempertemukan kita kembali. Tapi… untuk saat ini, aku tak bisa menampakkan diriku."
Rafaela mengedipkan matanya yang bulat. "Kenapa? Apa kau… tidak ingin bertemu denganku?"
Bhaskara menghela napas. "Bukan begitu. Aku hanya belum siap. Aku harus menjaga diriku agar tidak mengecewakan orang-orang terdekatku dulu. Akan ada waktunya aku menampakkan diri. Tapi untuk sekarang…"
Suara Bhaskara menggema pelan, tetapi terasa tegas. "Jika kau ingin tahu tentang diriku, kau bisa bertanya pada Shantand. Dia muridku."
Rafaela menggigil sedikit, bukan karena takut, tetapi karena perasaan haru yang sulit dijelaskan. Seakan hatinya yang dulu beku mulai mencair lagi.
"Jadi… dia muridmu?" gumamnya sambil melirik Shantand yang masih sibuk mengobrol dengan Silvana dan Bu Pinah.
"Ya. Tenang saja, kita tetap bisa mengobrol seperti ini, Ambar. Kau hanya perlu memanggilku, dan aku akan mendengarmu," lanjut Bhaskara.
Rafaela terdiam. Dalam hati kecilnya, ia masih ingin melihat Bhaskara dalam wujud aslinya. Namun, untuk saat ini, ia menerima kenyataan bahwa sang pendekar nomor satu masih menyembunyikan dirinya…
Tapi sampai kapan?
Rafaela menatap kosong ke depan, pikirannya melayang jauh ke masa lalu.
Bhaskara… pendekar nomor satu yang tiada tanding…
Dulu, ketika ia masih hidup sebagai manusia, ia tahu betul betapa jauhnya perbedaan ilmu antara dirinya dan Bhaskara. Ia bisa dibilang cukup kuat, tetapi Bhaskara… dia adalah legenda.
Dan sekarang, setelah reinkarnasi… dirinya menjadi seekor kucing.
Kalau aku yang hanya setingkat ini terlahir kembali sebagai kucing, lalu mas Bhaskara…?
Pikiran Rafaela bergetar.
Harimau besar yang sakti? Atau mungkin… Naga putih yang agung?
Seketika, ia merasa kerdil. Bahkan dalam reinkarnasi pun, jarak di antara mereka tetap begitu jauh.
Tapi… hatinya hangat.
Mas Bhaskara masih mau berbicara denganku…
Itu saja sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup.
Tidak peduli seperti apa wujud Bhaskara sekarang, yang penting dia masih ada, masih mendengar, masih menyapanya dengan cara yang sama seperti dulu…
Rafaela menundukkan kepalanya, sedikit gemetar. "Terima kasih, mas Bhaskara…" gumamnya dalam hati.
Mungkin dia memang belum layak bertemu langsung dengan Bhaskara yang setinggi langit…
Tapi setidaknya, kali ini ia masih bisa merasakan kehadirannya.
Ini sudah mengobati kerinduan yang selama ini dia pendam.
Dan itu sudah cukup. Untuk saat ini.
Saat pertama kali mendengar suara Bhaskara, Rafaela merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan selama bertahun-tahun sejak bereinkarnasi. Jantungnya—atau apa pun yang setara dengan itu dalam tubuh seekor kucing—berdegup kencang. Suara itu... terlalu familiar.
"Mas Bhaskara... kau di mana?" tanyanya dengan suara batin yang bergetar.
Bhaskara tertawa pelan, suaranya seperti angin yang berembus membawa kenangan lama. "Aku ada di dekatmu, Ambar."
Ingatan-ingatan dari kehidupan sebelumnya mendadak berputar cepat dalam pikirannya. Dulu, dia adalah seorang pendekar wanita tangguh, keturunan Belanda-Jawa yang disegani. Namun, semua itu berakhir saat ia dipaksa menikah dengan anak Raja bernama Mulyono Balmond. Karena keluarganya, terutama orang tuanya diancam akan dibantai.
kehidupan Rumah tangga nya pun tak berakhir bahagia, Pangeran Balmond yang di awal terlihat sederhana dan baik, ternyata adalah pangeran yang sangat licik, suka main dengan para pelacur dan yang pasti menyengsarakan rakyat dengan aturan pajak yang tinggi juga berbagai kelaliman yang sering dilakukan oleh para penguasa pada zaman itu.
Beban moral dan perasaan membuatnya sakit-sakitan hingga hidupnya berakhir sengsara.
Bhaskara, pemuda yang selalu diam-diam ia kagumi, menghilang setelah peristiwa itu.
Saat itu, ia berpikir Bhaskara sudah mati, atau mungkin sudah melupakan dirinya. Tapi sekarang... suara itu kembali, masih sekuat dulu, masih sama seperti dalam ingatannya.
Rafaela menggigit bibirnya (atau setidaknya, dia mencoba, meski kini dia hanya seekor kucing). Dia ingin sekali melihat sosok Bhaskara lagi, tapi kalau dia sendiri hanya bereinkarnasi sebagai seekor kucing, maka Bhaskara pasti sudah jauh di atasnya.
Rafaela menundukkan kepalanya. Bagi dirinya yang hanya seekor kucing, rasanya belum pantas untuk bertemu Bhaskara dalam wujudnya yang sejati, wujud Agungnya , ah.. Tapi setidaknya... suara ini cukup.. cukup.. bahkan ini terasa berlebihan..
"Baiklah, mas Bhaskara... aku akan menunggu sampai saatnya tiba."
Bhaskara hanya tersenyum dari kejauhan, meskipun tidak ada yang bisa melihatnya.
*****
Sementara itu Silvana mulai memperhatikan Shantand,
Silvana memperhatikan ekspresi Shantand yang penuh kebanggaan itu. Ada sesuatu dalam pemuda ini yang menarik—kesederhanaannya, ketulusannya, atau mungkin cara dia dengan jujur menikmati pekerjaannya.
Untuk sesaat, Shantand merasa seolah ada kehangatan yang mengalir di antara mereka. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Silvana kembali menatapnya dengan tatapan elegan.
"Kalau begitu, nanti aku beli lagi. Sepertinya tahu ini cocok jadi lauk saat berlatih."
Jantung Shantand berdegup lebih cepat.
"oh ya pesanan tahunya bisa kamu antar ke Rumahku langsung kan?? "
tanya Silvana.
Shantand menelan ludah. Apa dia tidak salah dengar? Neng Silvana meminta dia mengantarkan tahu langsung ke rumahnya?!
Dunia terasa melambat bagi Shantand, kenapa semua terasa begitu indah??