Gagal menikah!One night stand dengan pria asing yang tak dikenalnya.
Anggun terancam dijodohkan oleh keluarganya, jika dia gagal membawa calon suami dalam acara keluarga besarnya yang akan segera berlangsung.
Tapi secara tak sengaja berpapasan dengan pria asing yang pernah bermalam dengannya itu pun langsung mengajak si pria menikah secara sipil.Yang bernama lengkap Sandikala Mahendra.Yang rupanya Anggun tidak tahu siapa sosok pria itu sebenarnya.
Bukan itu saja kini dia lega karena bisa menunjukkan pada keluarga besarnya jika dia bisa mendapatkan suami tanpa dijodohkan dengan Darma Sanjaya.
Seorang pemuda playboy yang sangat dia benci.Karena pria itu telah menghamili sahabat baik Anggun tapi tidak mau bertanggung jawab.Pernikahan asal yang dilakukan Anggun pun membuat dunia wanita itu dan sekaligus keluarga besarnya menjadi berubah drastis dalam sekejap.
Akankah pernikahan Anggun berakhir bahagia?Setelah mengetahui siapa sosok pria itu sebenarnya?Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mitha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Anggun merasakan hawa dingin merayap di punggungnya. Seolah ada mata yang mengawasinya, tapi saat ia melirik ke arah pintu kafe, sosok yang sempat ia tangkap sekilas telah menghilang.
Firasatnya mengatakan sesuatu. Tapi sebelum ia bisa menelusuri lebih jauh, suara Radit kembali menarik perhatiannya.
"Anggun?"
Ia menghela napas, menatap pria di depannya yang masih menunggu jawaban.
"Aku harus pergi," katanya, mengabaikan pertanyaan Radit sebelumnya.
"Anggun, tunggu—"
Namun, ia sudah berdiri. Ia tak ingin berlama-lama di tempat ini. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, sesuatu yang lebih kuat dari kenangan masa lalunya bersama Radit.
Tanpa menoleh lagi, Anggun melangkah keluar kafe. Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok Kala, tapi tak menemukannya. Langit mendung, seakan mencerminkan perasaannya yang tak menentu.
Apa benar Kala tadi ada di sini?
Atau ini hanya ilusi perasaannya yang sedang kacau?
Kala menutup pintu mobilnya dengan kasar. Tangannya menggenggam setir erat, rahangnya mengatup kaku. Ia tak seharusnya merasa seperti ini. Ia tak seharusnya peduli dengan siapa Anggun bertemu atau berbicara.
Tapi nyatanya, rasa tidak suka itu menggerogoti dirinya.
Mata Kala menatap lurus ke depan, tapi pikirannya kembali pada percakapan yang ia dengar di kafe.
"Apa kau mencintainya?"
Kala mengepalkan tangan. Ia ingin tahu jawabannya. Ia ingin mendengar Anggun mengatakannya sendiri.
Namun, yang lebih membuatnya marah adalah dirinya sendiri.
Kenapa ia begitu terusik?
Kenapa hatinya berdebar tak karuan saat melihat Anggun duduk berhadapan dengan pria lain?
Anggun sampai di rumah dengan perasaan tak menentu. Setelah meletakkan tasnya, ia mendapati ruang tamu kosong. Kala belum pulang.
Ia mendesah pelan, lalu berjalan menuju kamarnya. Namun, baru saja ia hendak membuka pintu, suara pintu depan terbuka.
Langkah berat terdengar memasuki rumah.
Kala.
Tanpa menunggu, Anggun berbalik dan berjalan ke arah ruang tamu. Pria itu sudah berdiri di sana, melepas jasnya dengan gerakan cepat.
"Kau dari mana?" tanyanya.
Kala tidak langsung menjawab. Matanya menatap lurus ke arahnya, seperti menelanjangi pikirannya.
"Apa kau bertemu pria itu?" tanyanya dingin.
Jantung Anggun berdegup kencang. Jadi benar, Kala memang ada di sana.
"Apa urusannya denganmu?" Anggun balik bertanya.
Kala terkekeh kecil, tapi tidak ada humor dalam suaranya. Ia melangkah mendekat, membuat Anggun mundur sedikit.
"Apa kau masih menyukainya?" Suara Kala lebih pelan, tapi intensitasnya tajam.
Anggun menelan ludah.
"Aku tidak tahu," jawabnya jujur.
Kala terdiam. Ia tidak menyangka Anggun akan sejujur itu.
Sesuatu di dalam dirinya semakin berkecamuk. Ia bisa saja mundur, membiarkan Anggun memikirkan perasaannya sendiri. Tapi ia tahu, ia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Tanpa peringatan, ia mendekat lebih jauh, membuat jarak di antara mereka lenyap.
"Aku tidak suka melihatmu dengan pria lain," gumamnya, nyaris seperti bisikan.
Anggun menatapnya, terkejut dengan kejujuran itu.
Dan sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Kala sudah menariknya mendekat, mendekapnya erat seakan ia takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya ia miliki.
Anggun membeku dalam dekapan Kala. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu, cepat dan penuh tekanan. Kala menahannya erat, seolah takut ia akan pergi kapan saja.
"Kau…" Anggun mencoba berbicara, tapi suara yang keluar hanya bisikan samar.
Kala menarik napas dalam, lalu perlahan melonggarkan pelukannya. Namun, tangannya masih bertahan di pinggang Anggun, enggan melepaskannya sepenuhnya. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, keheningan yang canggung menyelimuti ruangan.
"Apa maksudmu?" Anggun akhirnya memberanikan diri bertanya.
Kala tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya dalam, seperti mencoba memahami pikirannya sendiri.
"Aku tidak suka melihatmu dengan pria lain," ulangnya, kali ini lebih jelas.
Anggun menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih kencang.
"Kenapa?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Kala tidak segera menjawab. Rahangnya mengatup, seolah bergulat dengan sesuatu di dalam pikirannya.
"Aku tidak tahu," jawabnya akhirnya. "Tapi aku tidak suka."
Anggun mengerjapkan mata. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap jawaban itu. Kala, pria yang selama ini begitu dingin dan menjaga jarak, kini berdiri di depannya, mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan keluar dari mulutnya.
Tapi apakah itu cukup?
Apakah ini hanya perasaan sesaat?
Anggun menggigit bibirnya. Ia harus berhati-hati. Ia tidak bisa membiarkan hatinya terjebak dalam perasaan yang belum jelas.
"Aku lelah," katanya akhirnya, menghindari topik itu. Ia melangkah mundur, melepaskan diri dari genggaman Kala.
Pria itu tidak menahan. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
"Baiklah," katanya.
Anggun menghela napas, lalu berjalan menuju kamarnya tanpa menoleh lagi. Tapi, saat ia menutup pintu, hatinya masih berdebar.
Dan ia tidak tahu apakah itu karena ketakutan… atau karena sesuatu yang lain.
Kala duduk di sofa ruang tamu, menatap kosong ke depan. Ia tidak tahu apa yang merasukinya tadi.
Kenapa ia sampai mengatakan hal itu?
Kenapa ia tidak bisa menahan dirinya?
Ia mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia sudah terlalu jauh. Perasaan ini semakin sulit dikendalikan.
Kala bangkit berdiri, mengambil jaketnya, lalu keluar dari rumah. Ia butuh udara segar.
Anggun tidak bisa tidur malam itu. Ia berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan.
Perkataan Kala terus terngiang di benaknya.
"Aku tidak suka melihatmu dengan pria lain."
Kenapa ia mengatakannya? Apa maksudnya?
Anggun menghela napas. Ia tidak bisa memungkiri bahwa hatinya sedikit bergetar saat mendengarnya. Tapi, ia juga tidak bisa begitu saja mempercayai perasaan itu.
Ia sudah pernah terluka sebelumnya. Ia tidak ingin jatuh dalam permainan yang sama.
Dengan kepala yang masih penuh dengan pikiran, ia akhirnya memejamkan mata, berharap bisa tidur meski hanya sebentar.
Keesokan paginya, saat Anggun turun ke dapur, ia menemukan meja makan sudah berantakan.
Cangkir kopi kosong. Beberapa lembar kertas berserakan di meja. Jaket Kala tergantung di kursi, seakan ia baru saja pulang dari luar.
Ia mengerutkan kening.
Kala duduk di kursi, memijat pelipisnya dengan mata tertutup. Ia tampak lelah.
"Kau tidak tidur?" Anggun bertanya hati-hati.
Kala membuka mata, menatapnya sejenak, lalu menggeleng. "Aku butuh udara segar semalam."
Anggun tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya mengambil cangkir dan mulai menuangkan kopi untuk dirinya sendiri.
"Jadi, apa yang akan kau lakukan hari ini?" tanya Kala tiba-tiba.
Anggun terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. "Aku belum tahu."
Kala mengamati wajahnya. "Aku akan pergi ke kantor. Tapi kalau kau butuh sesuatu, hubungi aku."
Anggun mengernyit. "Sejak kapan kau begitu perhatian?"
Kala mengangkat alis. "Sejak aku sadar bahwa aku tidak bisa mengabaikanmu begitu saja."
Anggun membeku.
Mata mereka bertemu, dan sejenak dunia terasa berhenti berputar.
Tapi sebelum Anggun bisa mengatakan sesuatu, Kala sudah berdiri, meraih jaketnya, lalu berjalan keluar rumah.
Meninggalkan Anggun dengan hatinya yang kini semakin kacau.
Siang harinya, Anggun memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian. Ia butuh waktu untuk berpikir.
Saat sedang duduk di bangku taman, tiba-tiba ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk.
"Aku ingin bertemu. Hanya sebentar."
Dari Radit.
Anggun menatap pesan itu lama.
Haruskah ia menemui Radit lagi?
Ia tahu itu bukan ide yang bagus. Tapi, di sisi lain, ia juga ingin menutup semua yang belum selesai.
Dengan napas panjang, ia akhirnya mengetik balasan.
"Baiklah. Di tempat yang sama kemarin."
Kala baru saja keluar dari ruang rapat ketika ponselnya bergetar. Ia membuka layar dan melihat sesuatu yang membuatnya langsung tegang.
Anggun sedang bersama Radit. Lagi.
Kala mengepalkan tangan.
Sial.
Ia tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.
Tanpa pikir panjang, ia mengambil kunci mobilnya dan langsung menuju tempat itu.
Anggun duduk di kafe, menunggu Radit.
Pria itu tiba beberapa menit kemudian, duduk di depannya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Aku tidak akan memaksa," kata Radit pelan. "Aku hanya ingin tahu satu hal, Anggun. Apakah kau benar-benar bahagia dengan pernikahanmu?"
Anggun terdiam.
Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, suara lain tiba-tiba terdengar.
"Sejak kapan kau peduli dengan kebahagiaannya?"
Anggun menoleh cepat.
Kala berdiri di sana, menatap Radit dengan ekspresi tajam.
Radit berdiri, menatap Kala tanpa gentar. "Ini bukan urusanmu."
Kala tersenyum miring. "Salah. Ini urusanku."
Anggun menegang. Ia bisa merasakan ketegangan di antara kedua pria itu.
"Anggun bukan milikmu lagi, Radit," lanjut Kala dengan suara rendah. "Jadi berhentilah mengusik hidupnya."
Radit mengepalkan tangan. "Aku hanya ingin tahu jawabannya."
Kala menatap Anggun. "Kalau begitu, jawab dia," katanya, nadanya lebih lembut.
Anggun menelan ludah. Ia menatap Radit, lalu menatap Kala.
Hatinya berdebar.
Dan untuk pertama kalinya, ia tahu apa yang harus ia katakan.
"Aku tidak tahu apakah aku bahagia atau tidak," katanya jujur. "Tapi yang aku tahu… aku tidak ingin kembali ke masa lalu."
Radit terdiam. Ekspresinya berubah.
Kala tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangan ke arah Anggun.
"Kalau begitu, ayo pulang," katanya.
Dan tanpa ragu, Anggun meraih tangan itu.