Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Pagi menjelang, cahaya matahari yang malu-malu menyelinap dari celah tirai jendela kamar yang masih setengah tertutup. Keheningan mendominasi ruangan, hanya diisi oleh napas teratur dan hangat dari dua tubuh yang masih saling melekat di bawah selimut tebal.
Rafael terbangun ketika suara ketukan halus namun tegas terdengar dari arah pintu. Alisnya langsung mengernyit. Ia belum sepenuhnya sadar dari malam yang penuh gairah dan kelam, namun tubuhnya merespons waspada. Pandangannya turun ke wanita yang masih terlelap di dadanya. Dewi, dengan rambut berantakan namun tampak tenang, tertidur dalam balutan selimut, wajahnya bersandar di dada telanjang Rafael.
Ia menghela napas pelan. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak ingin momen itu terganggu. Tapi dunia di luar sana tak pernah menunggu.
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih mendesak. Rafael dengan hati-hati menyelipkan lengannya dari bawah tubuh Dewi dan perlahan bangkit, memastikan gerakannya tak membangunkan wanita itu. Ia mengambil celana panjang hitam yang semalam ia lempar begitu saja ke lantai, dan memakainya dengan cepat. Sebelum beranjak ke pintu, ia menarik selimut lebih tinggi, menutupi tubuh Dewi sepenuhnya. seolah ada rasa melindungi yang muncul tiba-tiba, hal yang bahkan tak bisa ia jelaskan.
Begitu membuka pintu, muncullah Marco, salah satu anak buah kepercayaannya, dengan wajah tegang dan tubuh sedikit membungkuk penuh hormat.
"Maafkan saya, Tuan. Tapi ini mendesak," katanya cepat, nadanya rendah namun tajam. "Kami menerima kabar kalau salah satu rekan bisnis Anda, yang sebelumnya Anda curigai... dia menghilang. Diduga membawa data penting dan. kemungkinan besar, dia berkhianat lagi."
Rahang Rafael mengeras, matanya menyipit tajam. Ia tak berkata apa pun selama beberapa detik. Kemudian, dengan suara rendah namun dingin, ia menjawab,
"Siapkan kendaraan. Aku akan turun. Pastikan tak ada yang keluar dari gudang pelabuhan. Tutup semua akses."
"Baik, Tuan."
Rafael menutup pintu perlahan, lalu memandangi tempat tidur. Dewi masih belum bergerak, masih terbuai dalam mimpi atau mungkin lelah oleh malam yang membakar batas-batas kewarasan mereka.
Sekilas, Rafael ingin kembali berbaring. Tapi dunia seperti miliknya tak memberi ruang untuk kelembutan. Dendam, pengkhianatan, dan kekuasaan... selalu datang lebih cepat dari cahaya pagi.
Setengah jam kemudian, Rafael sudah berada di gudang pelabuhan miliknya. tempat di mana sebagian besar operasi bisnis bawah tanahnya berlangsung. Udara pagi masih basah oleh embun, tapi suasana di sana terasa panas, mencekam. Beberapa anak buahnya berdiri berjaga dengan senjata tersembunyi di balik jaket hitam mereka. Semua mata tertuju pada satu titik: seorang pria yang duduk di kursi besi, kedua tangan terikat ke belakang, wajahnya lebam, dan darah mengering di sudut bibirnya.
Rafael berjalan mendekat perlahan, langkahnya mantap dan penuh tekanan. Sepasang sepatu kulit mahalnya berdenting pelan saat menyentuh lantai semen. Marco dan dua anak buah lainnya berdiri di sisi kanan, menanti instruksi.
Lelaki yang terikat itu mengangkat wajahnya. itu Erik, salah satu mitra lama Rafael dalam bisnis distribusi senjata. Mata Erik dipenuhi rasa bersalah dan ketakutan yang bercampur.
"Jadi... kau benar-benar melakukannya," ucap Rafael dengan suara rendah namun menggetarkan udara sekitar.
Erik menggertakkan giginya, mencoba mempertahankan harga diri yang tersisa.
"Aku tidak punya pilihan, Raf. Mereka mengancam keluargaku. Kalau aku tak menyerahkan data itu, mereka akan..."
Plak!
Sebuah tamparan keras dari Rafael membuat kepala Erik menoleh ke samping. Rafael tidak bicara untuk sesaat, hanya memandang Erik dengan mata yang membara oleh pengendalian diri.
"Pilihan itu selalu ada, Erik. Kau hanya memilih jalan yang paling pengecut," desisnya dingin. "Berapa harga yang mereka tawarkan? Berapa banyak pengkhianatanmu sebanding dengan kepercayaan yang kuberi?"
Erik terdiam, napasnya terengah. Tapi Rafael tak memberinya kesempatan untuk menjawab. Ia menoleh pada Marco.
"Apa mereka sudah menemukan data yang bocor?"
Marco mengangguk.
"Kami berhasil mengambil kembali sebagian besar file dari server eksternal yang sempat diaksesnya. Tapi... ada satu file yang belum berhasil dikembalikan."
Rafael memutar lehernya perlahan, lalu kembali menatap Erik.
"Kalau file itu jatuh ke tangan yang salah," katanya datar,
"bukan hanya aku yang akan memburumu sampai ke ujung dunia. Tapi semua yang ada dalam daftar itu akan memburumu juga."
Erik mulai menangis, tubuhnya gemetar. "Tolong... aku hanya ingin menyelamatkan keluargaku..."
Rafael mendekat, menunduk sejajar dengan wajah Erik. Wajahnya keras, tak ada belas kasihan di matanya.
"Kau baru saja menandatangani hukuman bagi mereka dengan tanganmu sendiri."
Kemudian Rafael berdiri tegak. "Bawa dia ke ruang bawah. Jangan bunuh dia dulu. Aku ingin dia tahu rasanya ditinggalkan oleh semua orang yang ia coba selamatkan."
Marco mengangguk, memberi isyarat. Dua anak buah segera menarik Erik, menyeretnya menuju ruang bawah tanah gudang. tempat di mana Rafael menyimpan segala bentuk konsekuensi dari pengkhianatan.
Saat suara teriakan lirih Erik mulai memudar, Rafael berdiri diam memandangi pelabuhan yang mulai terang. Ia mengusap wajahnya kasar. Malam penuh gairah bersama Dewi masih membekas di kulitnya, namun pagi ini. seperti biasa. memaksanya kembali ke wajah dingin seorang tuan mafia yang tak bisa menunjukkan kelemahan.
Namun, entah mengapa... untuk pertama kalinya, rasa lelah itu terasa begitu nyata.
...
Langit telah benar-benar terang saat Rafael kembali ke mansion. Mobil SUV hitamnya meluncur melewati gerbang besi otomatis yang terbuka otomatis. Ia turun dengan langkah tenang namun berat. Malam yang penuh gejolak kini digantikan oleh pagi yang sunyi, tapi tidak tenang.
Di dalam mansion, aroma kopi segar dan roti panggang memenuhi udara. Dewi duduk di ruang makan, mengenakan kemeja panjang Rafael, yang menjuntai di pahanya. Rambutnya masih sedikit kusut, dan di tangannya ada secangkir teh hangat. Ia tampak termenung, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu utama dibuka.
Rafael masuk dengan wajah kaku. Ia menatap Dewi singkat, lalu berjalan ke arah dapur tanpa mengucap sepatah kata.
"Kau baru pulang?" tanya Dewi, suaranya lembut namun tak menyembunyikan rasa ingin tahunya.
"Ya," jawab Rafael singkat, mengambil segelas air dingin.
“Ada masalah?” tanya Dewi lagi, kali ini dengan nada sedikit lebih tegas. Matanya memeriksa wajah Rafael, mencari jawaban di antara kerutan di kening pria itu.
Rafael mengangguk pelan. “Hanya sedikit,” gumamnya. “Tapi sudah selesai sekarang.”
Dewi menatapnya lebih dalam, seolah mencoba membaca apa yang tidak dikatakan Rafael. Setelah beberapa detik hening, ia perlahan berdiri dari kursinya. Langkahnya ragu saat mendekati Rafael, tubuhnya setengah tertunduk.
“Apa… kau membunuh orang lagi?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Rafael terdiam. Tak ada anggukan, tak ada gelengan. Hanya diam, matanya tertuju ke bawah, seolah pertanyaan itu memaku lidahnya.
Dewi menghela napas pelan. “Raf…” ucapnya lirih. “Tidak bisakah kau berhenti melakukan itu?”
Suara itu terdengar seperti permohonan, bukan tuntutan. Bukan kemarahan, tapi luka. Dan Rafael merasakannya menghantam tepat di dadanya.
“Aku…” Rafael membuka mulut, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia memandang mata Dewi yang kini dipenuhi kecemasan.
“Aku melakukan apa yang harus kulakukan.”
“Dan itu termasuk menyakiti orang lain?” potong Dewi cepat.
“Kalau mereka menyakiti aku lebih dulu. kalau mereka mengancam segalanya…” Rafael mengepalkan tangannya. “Apa kau pikir aku punya pilihan lain?”
Dewi menahan napas. Matanya masih menatap Rafael dengan keberanian yang mulai mengikis. Tapi sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun, Rafael perlahan mendekat. Wajahnya tetap tenang. terlalu tenang. dingin, dan tanpa ekspresi, seperti patung marmer yang tak mengenal rasa.
Langkahnya pelan, tapi penuh tekanan. Aura kekuasaan dan bahaya menyelimuti setiap gerakan tubuhnya. Saat ia berdiri hanya sejengkal dari Dewi, tubuh wanita itu refleks menegang.
Tangan Rafael terangkat. Bukan dengan kelembutan seperti malam sebelumnya, tapi dengan dinginnya kebekuan maut. Ia meraih dagu Dewi, mencengkeramnya kuat hingga wanita itu meringis menahan sakit, namun tak berani melawan.
“Kau pikir karena aku menikahimu, kau punya hak untuk bertanya tentang hidupku?” bisiknya. Suaranya datar, dingin, tanpa emosi—namun justru karena itulah lebih menakutkan.
Tatapan matanya kosong namun menancap tajam, seolah menelanjangi setiap pikiran Dewi.
“Kau hanyalah seekor tikus kecil,” lanjutnya pelan, suaranya seperti racun yang meresap perlahan. “Yang bisa aku lenyapkan kapan saja jika aku mau. Jangan pernah berpikir kau bisa mencampuri urusanku.”
Cengkeramannya mengencang. Napas Dewi terhambat, namun ia tetap diam, tak berani menolak.
“Di sini,” bisik Rafael lebih tajam, “kau bukan istri. Kau tawanan. Jangan pernah tertipu oleh selimut hangat atau malam yang manis. Hidupmu di sisiku tidak berarti hidupmu lebih baik.”
Mata Rafael kini menyala, bukan karena marah… tapi karena kekejaman yang selama ini tersembunyi.
“Selangkah saja kau keluar dari aturan yang aku buat, Dewi… satu langkah saja,” bisiknya nyaris tanpa suara, “maka aku pastikan, napasmu… tak akan lagi berhembus di udara.”
Dan dengan gerakan cepat dan brutal, Rafael menghentakkan dagu Dewi ke bawah. Tubuh wanita itu terhempas ke lantai, jatuh dalam posisi menyakitkan. Tapi ia tak menangis. Tak berteriak. Ia hanya diam. membeku. karena ia tahu… pria itu tidak pernah bermain-main dengan ancamannya.
Keheningan menggantung di udara seperti kabut kematian. Rafael hanya menatapnya sejenak, lalu berbalik. Tanpa melihat ke belakang, ia melangkah keluar dari dapur, meninggalkan jejak dingin dan luka yang lebih
dalam dari luka fisik.