London, sebuah tempat yang menyisakan kenangan termanis dalam hidup Orion Brox. Dalam satu hari di musim panas, ia menghabiskan waktu bersama gadis cantik yang tak ia ketahui namanya. Namun, rupa dan tutur sapanya melekat kuat dalam ingatan Orion, menjelma rindu yang tak luntur dalam beberapa tahun berlalu.
Akan tetapi, dunia seakan mengajak bercanda. Jalan dan langkah yang digariskan takdir mempertemukan mereka dalam titik yang berseberangan. Taraliza Morvion, gadis musim panas yang menjadi tambatan hati Orion, hadir kembali sebagai sosok yang nyaris tak bisa dimiliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
One Day In London 11
Sekali lagi Olliver tidak mengecewakan Tara. Janji yang dia buat untuk datang pada akhir pekan, nyatanya memang ditepati.
Sabtu malam—sekitar jam delapan, lelaki itu sudah tiba di kediaman Nero. Meski datang seorang diri, tetapi tidak dengan tangan kosong. Begitu banyak buah tangan yang dia bawa, salah satunya adalah teh dan ginseng impor yang berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Olliver sengaja membawa itu untuk Raina dan Nero.
Sementara yang khusus untuk Tara, Olliver membawakan set parfum dan lotion dengan aroma vanilla yang sangat manis. Cocok dengan Tara yang cantik dan manis pula.
"Tahu gitu kemarin aku ngomong aja mau dibawain apa, biar nggak semua kamu bawa kayak gini," ujar Tara sambil menerima set parfum dan lotion untuknya.
Mendengar ucapan Tara, Olliver tertawa kecil. Lantas mencuri-curi pandang ke arah Tara. Ahh, senyuman wanita itu, Olliver merindukannya. Sejak pertemuan pertama mereka dulu, wajah dan senyuman Tara nyaris tak pernah enyah dari pikiran Olliver.
"Tara benar, Olliver. Seharusnya kamu kalau datang, ya datang saja. Tidak perlu membawa oleh-oleh sebanyak ini. Kita kan bukan orang lain lagi, jadi tidak perlu sungkan," timpal Nero.
Olliver menunduk agar senyum bahagianya tidak terlalu jelas. Sereceh itu memang. Hanya karena Nero menganggap dirinya bukan orang lain, pikiran Olliver sudah terarah pada hubungan keluarga menantu dan mertua. Sampai-sampai dia enteng saja melontarkan kalimat yang seolah seperti candaan, tetapi sebenarnya cukup serius.
"Lain kali aku malah akan membawa orang tua kalau ke sini, Om." Sembari berucap demikian, lirikan Olliver tak lepas dari wajah Tara.
Nero dan Raina juga melihatnya, lantas mereka saling pandang dan kemudian mengulum senyum di bibir masing-masing. Sementara Tara, hanya tersenyum tipis seraya menatap Olliver yang sepertinya salah tingkah.
Beruntungnya, Tara ataupun Nero tidak membahas lebih jauh. Jadi, Olliver bisa menenangkan detak jantungnya, pun debaran hatinya. Malah kemudian, adik Tara—Alterio, datang dan turut menyambutnya. Jadi, dia bisa mengalihkan kegugupannya dengan mengobrol bersama calon adik iparnya itu. Ehh!
Setelah beberapa menit berbincang-bincang, Tara mengantar Olliver ke kamar tamu.
Berbeda dengan Tara tempo hari yang datang ke Jakarta dengan langsung menyewa hotel, Olliver kali ini langsung datang ke kediaman kelurga Morvion. Bahkan, tadi yang menjemput ke bandara juga sopirnya Nero.
"Kamar mandinya di sana, handuk dan alat-alat mandinya juga udah ada," ujar Tara sembari menunjuk kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut.
"Oke." Olliver mengacungkan kedua jempol, sambil tak lupa mengulas senyum terindahnya. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk memikat Tara.
"Kamu bawa baju ganti, nggak?" Tara bertanya seraya melirik tas berukuran sedang yang dibawa Olliver. "Kalau misal nggak bawa, aku ambilkan punya Alterio. Dia biasanya menyimpan baju baru. Dan postur tubuhnya ... kurasa imbang dengan kamu," lanjutnya.
"Nggak usah, aku bawa sendiri kok. Ini." Olliver menjawab sambil menunjuk tas miliknya.
"Oh, ya udah kalau gitu. Kamu silakan mandi, aku tunggu di luar."
"Tara!" teriak Olliver ketika Tara membalikkan badan dan hendak keluar dari kamar.
"Kenapa?"
"Mmm ... itu ...."
"Ada apa? Ngomong aja," kata Tara.
"Beneran ditunggu ya, jangan tidur dulu. Aku ... mau ada perlu sama kamu, penting."
Tara tersenyum dan mengangguk. Lantas menjawab, "Iya, jangan khawatir. Kamu nggak usah buru-buru, aku tungguin kok. Lagi pula ini kan belum terlalu malam. Kamu sendiri juga tahu biasanya aku tidur jam berapa."
"Iya juga sih. Tapi ... takut aja kamu tiba-tiba pengin tidur lebih awal gitu."
Tara tertawa renyah. "Nggak lah. Udah, buruan mandi sana! Bau asem tuh."
Olliver tersenyum penuh arti. Pandangannya tak beralih sampai tubuh Tara menghilang dari balik dinding.
Sembari mendekap dadanya sendiri, Olliver menarik dan mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang seperti genderang perang.
"Tenang, Olliver, tenang. Ini nggak sulit, percayalah. Paling, cuma menegangkan aja. Harus semangat, harus bisa! Tunjukkan kalau kamu memang laki!" ujar Olliver menyemangati diri sendiri.
Kemudian, dia mengalihkan ketegangannya dengan melepas kemeja. Namun, lelaki pemilik dada bidang dan rambut yang agak gondrong itu tidak langsung ke kamar mandi. Ia justru duduk di ranjang dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah kotak beludru warna hitam yang berisikan cincin berlian.
Jika dipikir-pikir, Olliver memang nekat. Cintanya saja belum tentu diterima oleh Tara, tetapi sudah mempersiapkan cincin sebagai bukti keseriusannya. Itu pun bukan cincin sederhana, melainkan cincin mahal yang dipesan khusus pada desainer ternama. Di dalamnya terdapat inisial nama Olliver dan Tara. Sungguh istimewa.
"Kalau nanti aku belum bisa melingkarkan ini di jarimu, akan kutunggu lain hari sampai kamu yakin denganku, Tara." Olliver tersenyum sendiri, membayangkan betapa manis adegan asmaranya nanti bersama Tara.
________
'Waktu adalah sesuatu yang paling berharga di dunia', tampaknya Olliver sangat memegang teguh kalimat itu. Buktinya dia tidak menyia-nyiakan sedikit saja waktu dalam hidupnya. Tak hanya dalam bisnis, dalam asmara pun Olliver tak suka membuang waktu.
Satu bulan berkenalan sudah cukup baginya untuk menyatakan perasaan. Pikirnya, menunggu apa lagi, hati dan pikiran sudah yakin. Kecuali kalau wanitanya yang masih enggan, barulah dia harus berjuang lebih keras lagi.
Malam ini, usai membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan celana dan kaus santai, Olliver bersiap keluar dari kamar yang disediakan keluarga Nero untuknya.
Parfum sudah disemprotkan, rambut sudah disisir dan ditata layaknya anak muda, cincin sudah dikantongi di saku celana, tinggal mempersiapkan hati dan perasaan agar lebih tenang.
"Bisa, Olliver! Bisa!" Lagi, Olliver menyemangati diri sendiri, sebelum melangkah keluar dan memantapkan hati untuk menggapai masa depannya.
Tiba di ruang keluarga, Olliver kembali disambut oleh kehangatan keluarga Nero. Tidak hanya Tara dan orang tuanya yang masih di sana, tetapi Alterio juga. Meski jauh lebih muda darinya, tetapi Alterio tahu benar caranya menghargai tamu.
Olliver dan mereka sempat berbasa-basi sesaat, sebelum akhirnya Olliver mulai membuka obrolan seriusnya.
"Om, Tante, Tara, sebenarnya aku datang ke sini bukan sekedar berkunjung. Tapi ... ada hal penting lain."
"Hal penting apa?" Nero yang menyahut lebih dulu.
Olliver menarik napas panjang, lantas berkata, "Sebelumnya maaf, Om, kalau aku lancang. Mungkin, ini memang mendadak, tapi ... aku sendiri sudah yakin, makanya berani maju. Sebenarnya, dari awal bertemu kemarin, aku jatuh cinta dengan Tara. Semakin ke sini, perasaan ini semakin nyata, Om. Jadi, malam ini aku ingin menyatakan perasaanku yang sejujurnya pada Tara, di hadapan Om dan Tante. Aku sengaja menyatakannya di sini, karena harapanku bukan hanya menjadikan Tara sebagai kekasih, Om, melainkan sebagai istri. Makanya, dari awal aku ingin berterus terang dengan Om dan Tante. Agar nanti kalau Tara mau menerimaku, restu dari Om dan Tante juga bisa kudapat."
Bersambung...
Apa ya yng di minta Orion
lanjut thor 🙏
Dan Tara prilaku mu mencerminkan hati yng sdng galau , kenapa juga harus mengingkari hati yng sebenarnya Tara
Orion kalau kamu benar cinta ke Tara terus lah perjuangkan.