Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dasar Suami Edan!
Mentari
"Aku pergi dulu."
Sebuah pesan singkat yang Senja kirimkan di saat aku sudah terlelap. Sudah beberapa hari kami menikah, setiap malam Senja selalu mengirim pesan yang sama.
Ya, Senja tak pernah ada di rumah setiap aku bangun untuk sholat subuh dan baru pulang sekitar pukul 09.00 pagi. Dia pergi ke mana pun aku tak tahu. Mungkin begadang dengan teman-temannya di masjid? Entahlah. Aku tak mau mencari tahu.
Kutatap layar ponselku, hanya beberapa pesan dari teman kuliahku. Tak ada pesan masuk dari Mas Bayu, padahal aku menanti permintaan maafnya karena sudah kabur bak pengecut di hari pernikahan kami.
Aku membuka galeri foto dan menatap foto kebersamaanku dengan Mas Bayu. Setiap kali melihatnya, hatiku terasa sakit namun di sisi lain aku juga merindukannya. Banyak impian indah yang kami ingin gapai bersama. Aku amat mencintai Mas Bayu. Entah mengapa, aku sulit move on meski kini sudah menjadi istri Senja.
Aku sudah menyibukkan diriku agar tidak terus memikirkan Mas Bayu. Aku mengirimkan banyak lamaran pekerjaan kerja lewat internet namun belum ada satupun perusahaan yang mau memanggilku. Huft... mencari pekerjaan di Jakarta rupanya tidak semudah yang kubayangkan. Kalau begini caranya, bagaimana aku bisa melupakan Mas Bayu dan memiliki uang untuk membiayai kehidupanku selama tinggal di Jakarta?
Aku tidak kekurangan selama di Jakarta, setiap hari Senja selalu memberikanku uang jajan Rp 100.000,-. Itu murni uang untukku jajan. Semua keperluan seperti token listrik, air galon, gas, sabun dan bahan makanan sudah ia urus. Sebenarnya Senja lumayan baik. Uang Rp 100.000,- lebih dari cukup untukku jajan bakso atau membeli pulsa. Sayangnya, aku harus menghemat uang yang kumiliki ini. Aku tak mau terus menerus menerima uang dari Senja. Aku takut azab yang kuterima makin menyeramkan karena aku tahu uang yang ia berikan untukku adalah milik masjid, bukan hasil kerja keras Senja sendiri.
Suara knalpot motor Baet karbu milik Senja terdengar, sekarang aku sudah hafal di luar kepala suara bising tersebut. Senja akan memarkirkan di teras lalu ia akan masuk ke dalam rumah dengan membawa barang belanjaan dari pasar.
Setelah mengucapkan salam, Senja langsung menuju lemari es. Kali ini Senja membeli aneka sayuran dan menyuruhku untuk membersihkan dan memotong-motongnya sementara ia membersihkan tubuhnya yang nampak lelah.
"Nah... gitu dong, jago membersihkan sayuran. Nanti aku tinggal masak deh." Senja pergi ke dapur untuk mengambil pisau lain lalu duduk di sampingku. Kangkung yang ia beli lumayan banyak, kalau aku sendiri yang mengerjakannya pasti akan makan waktu lama.
Harum sabun dan shampoo langsung menusuk indra penciumanku, wangi sekali dia sehabis mandi. Rambut gondrongnya dibiarkan tergerai karena masih basah. Senja mengenakan kaos belel oversize dengan celana pendek, pakaian yang selalu ia kenakan di rumah. Terlihat santai namun aura lelaki sejati begitu kentara.
"Ja, aku mau nanya dong," kataku memecah kesunyian di antara kami.
"Mau nanya apa? Kalau kamu mau nanya apakah aku sudah laporan ke Pak RT atau belum, jawabannya sudah. Sebelum pulang ke rumah, aku mampir sebentar ke rumah Pak RT dan memberitahu kalau kamu itu sepupuku dari kampung," jawab Senja.
"Bukan itu yang mau aku tanya sama kamu." Jujur aku tak peduli dengan warga di sini, toh aku tak kenal. Kalau mereka menyebalkan, aku akan minta Senja pindah rumah. "Ja, kamu kan sudah lama tinggal di Jakarta, kira-kira kamu punya kenalan yang bekerja sebagai HRD di perusahaan tidak? Yang suka menyalurkan tenaga kerja seperti outsourcing gitu, ada tidak?" tanyaku dengan hati-hati.
Senja menatapku dengan kening berkerut. "Kenapa? Kamu mau cepat dapat pekerjaan? Nggak sabaran banget sih. Nyari kerja di Jakarta itu nggak gampang, Mbak, harus banyak sabar. Toh pakai outsourcing juga tidak jaminan kamu akan diterima kerja, banyak juga pencari kerja yang tertipu dengan outsourcing palsu."
"Iya, aku tahu, makanya aku tanya kamu, siapa tau kamu punya kenalan yang bisa dipercaya gitu. Sebenarnya, aku bukan tidak sabaran, aku hanya tidak betah saja di rumah terus tanpa melakukan apa-apa. Aku ini terbiasa bekerja, meski hanya menjaga toko Bapak. Aku ingin punya kesibukan dan punya penghasilan sendiri, mandiri gitu," jawabku.
"Kenapa kamu mau mandiri? Apa uang yang aku kasih sama kamu kurang?" Kali ini Senja menatapku dengan tatapan serius. Hilang sudah sifat jahil dan aneh yang ia miliki.
"Bukan karena itu. Aku sungguh ingin mandiri. Aku terbiasa punya penghasilan sendiri, di kampung pun aku punya uang sendiri karena dibayar Bapak untuk menjaga toko. Rasanya tak enak tinggal di rumah ini tanpa memiliki penghasilan sendiri dan mengharap uangmu saja," jawabku tanpa berani menatap Senja.
"Tak usah kerja saja kalau kamu mau punya penghasilan lebih, cukup di rumah, aku yang akan biayain. Kalau kamu kurang dengan uang jajan yang aku kasih, mulai besok, aku akan kasih lebih," kata Senja.
"Ih... Senja... bukan itu maksudku. Ah, aku jadi bingung mengatakannya. Intinya, aku nggak mau menerima uang yang bukan hak-ku."
"Loh, memangnya kenapa? Itu hak kamu kok. Itu juga kewajibanku yang harus aku penuhi. Lebih baik kamu di rumah saja. Jakarta itu keras, kayak kamu tahu jalan saja." Senja tak berusaha menyembunyikan kekesalannya padaku yang keras kepala ini.
"Aku tetap tak mau terima uang darimu!" Semakin ditentang, aku akan semakin teguh dengan pendirianku.
Senja menurunkan pisau yang ia pegang dan menghentikan kegiatannya memotong kangkung. "Kenapa? Karena uang yang aku kasih terlalu sedikit?"
"Bu-bukan itu maksudku. Aku nggak mau terima uang yang bukan hak-ku!"
"Dari tadi kamu bicara hak terus, bukan hak kamu bagaimana sih? Kamu tuh istri aku, Tari, wajar dong kalau aku menafkahi kamu. Kewajibanku memberimu nafkah dan sudah menjadi hak kamu untuk menerimanya," jawab Senja yang makin terlihat kesal denganku.
Aku sudah tidak tahan lagi. "Kalau uang itu kamu dapat dari hasil bekerja keras, aku bisa terima. Sayangnya, uang yang kamu berikan adalah uang sumbangan masjid. Aku... aku nggak mau kamu kasih aku uang dari hasil sumbangan orang lain untuk pembangunan masjid. Dosa... Senja, dosa, itu namanya tidak amanah!"
Sejenak Senja menatapku dengan tatapan bingung tanpa berkedip sedikit pun, mulutnya terbuka dan keningnya berkerut. Satu detik... sepuluh detik... secara tiba-tiba Senja memegang keningku. "Wah... ini orang ngaco nih."
Kutepis tangan Senja dari keningku. "Aku nggak ngaco. Aku nggak bercanda ya, Ja. Aku serius. Aku nggak mau kamu kasih aku uang dari hasil sumbangan orang lain untuk pembangunan masjid. Lebih baik aku cari uang sendiri. Aku bisa kok melamar pekerjaan di tempat lain, jadi kasir di minimarket pun tak masalah. Pokoknya aku nggak mau terima uang dari kamu!"
Wajah serius Senja kini beralih menjadi wajah yang menyebalkan lagi. Ia tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya. "Uang sumbangan masjid? Ha... ha... ha...."
"Nggak lucu ya, aku serius!" balasku dengan ketus.
Senja menghentikan tawanya namun aku tahu ia sekuat mungkin menahannya, senyum di wajahnya menjadi saksi betapa menyebalkannya dia. "Jadi intinya kamu menolak uang dariku karena berpikir kalau aku ini kasih kamu uang dari hasil sumbangan pembangunan masjid gitu? Hanya gara-gara kamu melihat aku sedang meminta sumbangan di jalan waktu itu, kamu jadi berpikir kalau aku mengambil uang itu untuk kuberikan sama kamu? Ya ampun Tari... Tari... kalau kamu nggak tahu tuh nanya, jangan sok tahu dan mengambil kesimpulan sendiri!"
"Loh, memang begitu bukan kenyataannya? Kamu memberiku uang jajan dari uang hasil sumbangan masjid. Memang itu kok pekerjaanmu." Kutaruh pisau yang kupegang dengan kesal, malas aku memotong kangkung lagi.
"Ya nggaklah! Kamu pikir kalau aku ngambil uang masjid, aku nggak dikeroyok sama temen-temen aku gitu? Kamu pikir aku nggak akan kena azab macam di sinetron yang biasa kamu tonton di pagi hari? Ngaco pemikiran kamu!" Senja kembali mengambil pisau yang ia letakkan sebelumnya lalu kembali menyiangi sayuran sambil sesekali menahan tawa.
Melihat ekspresinya, aku jadi makin penasaran. "Kalau memang bukan dari uang sumbangan masjid, lantas dari mana kamu dapat uang?"
"Kepo!" Senja langsung tertawa terbahak-bahak. Dikeluarkannya tawa yang sejak tadi ia tahan.
Sial!
Kesal tidak sih punya suami kayak begini? Rasanya ingin aku cukur habis rambut gondrongnya itu lalu kujejalkan kangkung ke mulutnya yang menyebalkan itu.
"Yaudah, nggak usah kasih tahu kalau begitu. Pokoknya aku tetap mau kerja. Sebal sekali aku sama kamu!" Kutinggalkan kangkung yang baru satu ikat kupotong lalu berjalan masuk ke kamarku sambil menghentakkan kaki dengan sebal.
"Tari, dapat salam dari kangkung! Kenapa dia kamu tinggal saat sedang sayang-sayangnya?" Teriak Senja sambil tertawa terbahak-bahak.
"Bodo amat!"
Arghhh... dasar suami edan!
****
nazar ternyata,yg bikin tari salah faham 🤣
astagfirullah, gendheng
pantes tari ilfeel
perasaanmu kayak mimpi padahal tari yg ada di mimpimu itu nyata..
awas habis ini di tabok tari , nyosor wae🤣🤣🤣
kalau ngigo mah kasihan bangat tapi kalauccari kesempatan lanjutkan Ja. jang cium.doank sekalian di inboxing deh...