NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:16.6k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PANGGILAN GAIB

Kenapa Diyan harus dibesarkan di dunia manusia?

Apa yang berbeda darinya?

Lalu, kenapa harus aku yang dipilih untuk menjadi kakaknya?

Kenapa, kenapa, dan kenapa?

Kepala dipenuhi oleh banyak pertanyaan tentang adiknya, pikiran Arka menjadi sedikit kacau. Melangkah seperti orang tidur sambil berjalan--- hanya saja matanya terbuka dan tatapannya kosong.

"Jalan sambi ngelamun, bisa-bisa nabrak tembok," tegur Pak Satria.

Hampir saja Arka menabrak ayahnya. Pak Satria sedari tadi memang sudah berada di lorong ruang tengah tidak jauh dari pintu kamar si bungsu untuk menguping. Mata pria itu sedikit menyipit dan alis pun bertaut ketika melihat sikap tenang yang Arka tunjukkan. Tenang yang cenderung acuh tak acuh. Bahkan di mata sayu pemuda usia 22 tahun itu Pak Satria seperti tidak bisa menemukan emosi apa pun, tetapi hatinya justru gelisah karena hal itu.

Di bawah tatapan itu Pak Satria merasa tertekan. Meskipun berdiri berhadapan sama tinggi, tetapi dia merasa sangat kecil. Pria berjenggot putih tipis itu tanpa sadar menelan ludah gugup saat mata cokelat gelap Arka menatap lekat langsung ke dalam matanya, seperti ingin menggali semua rahasia yang tersembunyi di dalam benak ayahnya.

"Kalian ini kok malah berdiri di sini, toh?"

Arka menjengit dan spontan menoleh saat bahunya ditepuk lembut oleh Bu Harnum. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Pak Satria untuk menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan.

Masih dengan sikap tenang, Arka melangkah meninggalkan kedua orang tuanya menuju kamar. Bu Harnum dan Pak Satria hanya menatap tanpa ada niat mencegah.

"Kamu kok ketok gugup?" tanya Bu Harnum tidak lama kemudian.

"Mata Arka ngelengke aku sama dia ... tenang, tajam, penuh karisma dan intimidasi, tapi di mata Arka nggak ada ambisi."

"Jangan nyama-nyamakan putraku sama orang itu." Bu Harnum menatap tajam, tampak jelas kemarahan tersirat dalam suara dan matanya.

Sekali lagi Pak Satria menghela napas berat. "Gimana Diyan?"

"Dia juga nggak. Anak-anakku nggak akan ada yang kayak orang itu."

Pak Satria tersenyum maklum. Bu Harnum salah paham, bukan itu maksud pertanyaannya. "Yang aku tanyakan itu keadaannya, loh."

Wajah Bu Harnum seketika merona, bibirnya berkedut tersenyum aneh. "Masih belum waktunya," ujarnya, sambil beranjak. "Salep yang aku oles masih bisa mencegah bulu-bulunya tumbuh. Lagi pula, masih ada beberapa hari lagi."

"Syukurlah. Aku rasa ada baiknya kita mengatakan yang sebenarnya pada Arka." Pak Satria mengiringi langkah istrinya, tetapi sesampai di ruang makan, Bu Harnum melanjutkan langkah ke dapur, sedangkan dia duduk di kursi yang ada di balik dinding setinggi dada.

Tangan yang hendak mengambil panci dari tempatnya digantung terhenti, sesaat Bu Harnum menoleh pada Pak Satria dengan wajah sendu. "Dia sudah tahu. Harusnya kita nggak merahasiakan ini dari dia," ujarnya lirih.

Pak Satria sama sekali tidak terkejut. Dia bisa merasakan kekecewaan sangat dalam tersimpan di hati Arka, tetapi dengan bijak si sulung itu menekan perasaannya, sampai-sampai tidak terdeteksi emosi apa pun dalam suara dan tatapannya.

Di masa lalu, Pak Satria pernah mengenal seseorang yang sangat mirip dengan Arka. Seseorang yang pada akhirnya mengalami kejatuhan karena kesombongan dan keserakahan. Pria yang usia sebenarnya sudah melebihi angka ratusan tahun itu hanya bisa berharap, mudah-mudahan putra sulungnya tidak akan meniti jalan yang sama dengan orang itu.

Dalam diam Bu Harnum memanasi makan malam untuk Diyan, Pak Satria pun diam termenung. Keresahan yang meliputi hati terasa sangat jelas di setiap tarikan dan embusan napas mereka.

"Jadi, ini alasannya?"

Pak Satria dan Harnum tersentak oleh kehadiran Arka yang seperti tiba-tiba muncul di samping Pak Satria.

"Ngomong seng jelas. Sini ...." Pak Satria menepuk kursi di sebelahnya dan Arka pun menuruti permintaan sang ayah.

"Alasan kenapa Ibu sangat ingin datang ke sini." Arka menatap intens sang ibu.

Bu Harnum yang sedang menuang makanan ke piring, sesaat mengerling kepadanya, tetapi kemudian bersikap seolah tidak pernah mendengar Arka telah mengatakan sesuatu.

Pak Satria baru membuka mulut hendak berbicara, tetapi Arka mendahului ....

"Aku nggak akan lupa. Waktu itu aku memang masih kecil dan pertemuan juga diadakan malam hari, tapi aku yakin tempat itu pasti puncak Gunung Pandan."

Pak Satria dan Bu Harnum menatap lekat si sulung, tidak terlihat terkejut meski tebakan putra mereka benar adanya. Keduanya sudah tahu, pada akhirnya Arka pasti bisa menarik kesimpulan sendiri dengan tepat hanya dari petunjuk kecil. Mereka tidak pernah meragukan tingkat kecerdasan si sulung.

"Pas lihat puncak gunung itu waktu perjalanan ke sini, aku merasa nggak asing. Sebelumnya aku masih ragu, tapi setelah yakin An sama kayak kita, aku jadi yakin. Rasanya hanya akan ada satu alasan kenapa kalian memilih Desa  Pandan ini untuk liburan."

"Kamu hanya mengatakan apa yang sudah kamu pahami, memangnya nggak pengen tanya kenapa kita---"

"Satria!" Bu Harnum menghardik dan mendelik untuk memperingatkan.

Arka tersenyum hambar, lalu berkata, "Aku percaya, Ayah dan Ibu pasti punya alasan kuat kenapa nggak ngomong soal itu ke aku. Mungkin aku harus bertanya langsung pada mereka." Menatap kedua orang tuanya, mata sayu Arka berkilat jenaka.

Mengerti bahwa si sulung sedang berusaha mencairkan suasana yang sedikit kaku, Pak Satria dan Bu Harnum terkekeh ringan---merasa bersyukur karena si sulung tidak mempersulit mereka dengan mengajukan banyak pertanyaan.

Suasana kebersamaan mereka pun kembali terasa hangat dan luwes. Pak Satria menepuk-nepuk punggung si sulung penuh rasa bangga, sedangkan Bu Harnum tersenyum lembut sebagai ganti ucapan terima kasih karena Arka sudah mau mengerti.

Sementara itu, Diyan tengah berdiri di dekat jendela yang tirainya masih terbuka sambil mengeringkan rambut. Rasa geli karena seperti ada yang bergerak-gerak di bawah kulit punggung bagian atas, membuat Diyan mengalihkan fungsi handuk sebagai penggosok punggung.

"Ish, sebenarnya ini kenapa, sih? Ganggu banget, menyebalkan." Dia pun menggosok punggung lebih kasar dari sebelumnya. "Kayaknya aku kudu oles salep lagi."

Setelah nengalungkan handuk di tengkuk, Diyan membuka laci nakas untuk mencari salep, tetapi tidak menemukannya. Sebelum berteriak, bertanya pada sang ibu, dia masih berusaha untuk mencari di laci lain. Begitulah dia diajarkan sejak kecil: cari sampai benar-benar tidak bisa menemukan baru bertanya.

"Ish, ibu taruh di mana, sih?"

"Diyan ...."

Angin berembus kencang membawa serta suara memanggil itu hingga ke pendengaran Diyan. Tangannya yang sedang sibuk membongkar laci pun serta-merta berhenti. Kelebat tirai jendela yang tertiup angin menarik perhatian Diyan untuk melihat ke sana.

"Tolong ... tolong aku, Diyan ...."

Suara pria merintih memilukan itu memaksa Diyan bergerak cepat ke jendela. Sesampai di sana matanya langsung terbelalak. Warna merah bara membumbung ke angkasa, kebakaran, ada rumah terbakar. Diyan pun panik.

"Aku harus memberi tahu mereka."

"Jangan ... jangan memberi tahu mereka. Aku hanya butuh kamu, Diyan. Kemarilah, tolong aku."

Kaki yang sudah hendak melangkah pun urung seketika. Seperti yang sudah terjadi kemarin pagi, tubuh Diyan bergerak sendiri melangkah ke luar kamar, tetapi tidak menuju ke ruang depan.

Berjalan dengan tatapan mata kosong, Diyan menuju ke arah pintu yang ada di sebelah kiri kamarnya---akses menuju halaman belakang. Langkahnya pelan, tetapi pasti, menuruni anak tangga yang hanya berjumlah tiga.

"Kemarilah, Diyan. Tolong aku ... tolong ... tolong ...."

Seperti terpengaruh mantra sihir, Diyan melangkah menuruti suara rintihan minta tolong yang terus terngiang di telinganya. Keremangan malam ditembus tanpa ragu. Dia tidak perlu mengandalkan mata untuk melihat jalan karena suara itu terus membimbingnya.

Seperti robot, kaki-kaki jenjang yang hanya mengenakan celana pendek selutut dan beralaskan sendal kamar tipis, terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju rumah kosong yang pernah dikatakan oleh Srintil.

Di kiri-kanan jalan yang dilaluinya semak belukar tumbuh subur. Dia berjalan menuruni jalan perkebunan dan persawahan yang cukup gelap tanpa mengalami kesulitan, pun ketika harus melewati jalan menanjak menuju bukit kecil tempat rumah kosong itu berada.

Dia belum pernah datang ke tempat ini sebelumnya, tetapi karena suara itu terus membimbing, dia pun bergerak seolah sudah menghafalnya. Tempat ini sangat hening mencekam, binatang malam pun seperti takut bersuara. Bahkan angin juga seperti takut berembus.

Tepat di depan pintu gerbang besi yang menjulang tinggi, Arka menghentikan langkah. Bangunan itu masih terlihat kukuh meski dindingnya sudah mengelupas di sana-sini. Sisa-sisa keangkuhannya masih terasa walaupun dua tiang beton besar penyangga atap teras telah retak-retak, bahkan ada yang berlubang dan pecahannya entah terlempar ke mana.

Sebagian atapnya pun sudah ambruk, menciptakan gundukan-gundukan di lantai teras yang berselimut daun kering, pun banyak sampah lainnya. Kaca-kaca jendela usang termakan usia pun telah banyak yang pecah.

Tidak ada lampu sebagai penerang hanya mengandalkan cahaya bulan yang redup. Dua pohon besar yang tumbuh di halaman samping kiri, dari kejauhan tampak seperti dua makhluk raksasa. Ranting-ranting yang telah ditinggalkan oleh daunnya, terlihat laksana jari-jari kurus sang maut, siap mencekik leher siapa pun yang datang mendekat.

Ilalang tumbuh subur hingga tingginya hampir sejajar dengan atap rumah. Permukaan halaman seluruhnya ditutup oleh semak belukar. Tumbuhan merambat juga telah menutup hampir seluruh permukaan dinding.

Akan tetapi, tidak terlihat ada api yang berkobar, seperti yang tadi dilihat Diyan. Rumah kosong ini terlihat begitu menakutkan. Semakin lama memandang, siapa pun bisa mengalami halusinasi, seperti melihat bayangan berkelebat melintas di setiap jendela yang terbuka.

Baru saja tangan Diyan hendak menyentuh pagar untuk membukanya, tiba-tiba terdengar suara perempuan mencegahnya,

"Jangan!"

[Bersambung]

1
Aegis Aetna
ninggalin jejak dulu. nanti aku lanjut.
anggita
iklan☝+like👍 utk novel fantasi timur lokal. smoga sukses Thor
anggita
bojonegoro... jawa timur.
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [WP: Yui_2701]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!