Apa yang akan terjadi pada Jamilah setelah tiga kali dilangkahi oleh ketiga adiknya?.
Apa Jamilah akan memiliki jodohnya sendiri setelah kata orang kalau dilangkahi akan susah untuk menikah atau mendapatkan jodoh?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Wanita Pelangkah
Hanya tidak lebih dari tiga puluh menit Pak Mardi dan Bapaknya berada di dalam rumah Jamilah. Mereka langsung pamit pulang, tanpa memikirkan rasa lelah akibat perjalanan yang cukup lumayan memakan waktu sekitar hampir empat jam.
Emak menangis sesenggukan di dalam kamar yang sengaja dikuncinya. Bapak dan Jamilah hanya duduk pasrah di ruang tengah.
"Maafkan Bapak, Milah. Kalau pada akhirnya harus seperti ini." Terasa susah sekali Bapak menelan ludahnya sendiri. Melihat putrinya di tolak karena alasan tidak modern dan tidak sesuai dengan kriteria laki-laki itu.
Jamilah menatap Bapak yang sudah berkaca-kaca.
"Bapak akan membatalkan pertemuan mu yang kedua bersama Pak Teguh. Bapak tidak kuat kalau kamu harus dipermalukan lagi di rumah sendiri." Lanjut Bapak sambil menumpahkan air matanya.
Jamilah menggeleng lemah seraya tangannya yang dingin menggenggam tangan Bapak.
"Biarkan pertemuan itu tetap berlanjut, siapa tahu yang kedua ini berbeda. Kita sedang berusaha, berikhtiar Pak. Bapak sama Emak harus kuat, supaya Milah bisa lebih kuat."
"Tapi kalau hasilnya seperti tadi bagaimana?. Bapak enggak sanggup Milah." Bapak terlihat sangat lemah dalam situasi sekarang ini. Berat ujian yang diberikan pada tubuhnya masih bisa ia tahan, tapi kalau sampai mengenai salah satu dari anaknya pasti akan berkali lipat rasa sakitnya.
"Apa pun hasilnya nanti, mungkin itu yang terbaik Pak. Milah tidak masalah, Milah sudah siap. Jadi beri kesempatan Milah untuk tetap bertemu dengan orang itu."
"Sekarang Bapak masuk kamar, tenangkan Emak. Besarkan hatinya dan hibur. Milah mau merapikan ini." Jamilah langsung membawa dua gelas yang masih berisi air putih, yang tidak disentuh sama sekali oleh tamu yang sudah ditunggunya. Begitu juga dengan beberapa piring kue yang masih utuh tidak tersentuh.
Jamilah mengintip dari dapur saat Bapak sudah masuk ke dalam kamar dan terdengar dikunci kembali pintunya.
Air mata yang sejak tadi ditahan dengan sekuat tenaga Jamilah dihadapan tamu dan kedua orang tuanya, kini tumpah juga saat dirinya berada di dapur. Tidak lebih dari satu menit Jamilah mengeluarkan air matanya, yang penting rasa sesak yang bercokol didalam hatinya sedikit berkurang. Ia juga tidak ingin menambah beban, terlebih bagi Emak.
.
.
.
Waktu pulang sekolah telah tiba. Memang terasa ada yang kurang, saat Alexander tidak melihat Jamilah. Wajah tampannya terlihat begitu murung.
Sepasang mata elang milik seseorang, sudah sedari tadi mengintai sosok Alexander yang terlihat tidak bersemangat bahkan terlihat sedih.
"Jalan Pak Supir!." Perintah Alexander yang sudah masuk ke dalam mobil lima menit yang lalu. Seperti biasa tanpa memperhatikan si Bapak supirnya.
Seseorang dibalik kemudi tersenyum tipis, kala mendengar Alexander sudah bisa memanggil orang yang lebih tua dengan lebih sopan. Tidak seperti dulu yang hanya memanggilnya orang dengan sebutan profesinya saja.
"Ayo Pak Supir kita jalan!. Apa lagi yang Pak supir tunggu?, aku sudah masuk dan duduk manis di belakang." Alexander menatap Pak Supir yang terlihat berbeda hari ini.
Memang cukup lama Alexander tidak bertemu dengan Daddy nya, tapi ia selalu melihat wajah itu dalam sebuah bingkai yang diam-diam selalu ia bawa kemana pun ia pergi.
"Daddy...." Satu kali. Alexander mengucek keduanya mata. Melihat jelas pria yang sangat dirindukannya sedang menatap sambil tersenyum kearahnya.
"Daddy..." Dua kali, tiga kali sampai empat kali, Alexander kembali mengucek keduanya matanya, untuk lebih memastikan. Tidak ingin kejadian dalam mimpi itu terulang lagi. Dimana ia begitu merasa bahagia dengan kedatangan sang Daddy, namun saat kedua matanya terbuka, Daddy Emir tetap lah jauh dari sisinya.
Terakhir, Alexander mencondongkan tubuhnya dengan tangan yang terulur guna menyentuh wajah orang didepannya.
"Hei Boy..." Sapa Daddy Emir dengan suara khas yang hanya dimiliki oleh Daddy Emir.
"Kau benar Daddy ku?." Tangan Daddy Emir menyambut tangan Alexander yang terulur, dan menyentuhkan tangan kecil itu pada wajahnya.
Daddy Emir mengangguk. "Iya, aku Daddy mu. Daddy Fahreza Emir Wijaya Santoso.
Hening, kedua pria beda generasi itu masih betah di dalam mobil dengan kedekatan yang seperti sekarang.
"Kau mau duduk di samping Daddy?." Daddy Emir menunjuk kursi sebelahnya. Dan dengan senyum penuh kebahagiaan, Alexander segera pindah ke depan.
"Kau sudah siap?. Daddy akan segera melajukan mobilnya." Alexander hanya mengangguk dengan menatap sang Daddy. Ini salah satu hal yang masih diingat dan menjadi hal yang paling sangat disukai olah Alexander. Dimana ia bisa melihat sang Daddy mengendarai mobil dangan kecepatan tinggi, tapi anehnya Alexander tidak merasa takut sedikit pun, justru ia malah sangat senang.
.
.
.
Memang jarak yang tidak terlalu jauh dari sekolah ke rumah hingga dalam sekejap saja mobil itu sudah sampai di depan rumah.
"Ayo kita turun Boy!."
Alexander menahan tangan Daddy Emir dengan kuat. "Kau tidak membawa wanita itu kan?." Tatapan lembut itu berubah menjadi dingin dan begitu menakutkan.
Daddy Emir mengacak rambut Alexander yang sudah berantakan dengan tangan satunya lagi. "Tidak. Aku datang sendiri untuk mu. Jadi kita akan lebih banyak menghabiskan waktu berdua, ok Boy?."
Wajah itu kembali cerah, menyingkirkan banyak awan kesedihan. Yang berganti dengan senyum kebahagian anak kecil itu.
"Ok, Daddy."
Keduanya keluar dari mobil bersamaan. Daddy Emir menggandeng tangan Alexander sampai mereka masuk kedalam rumah.
"Mang Tatang, keluarkan semua koper saya yang ada di dalam bagasi. Dan bawa masuk ke kamar yang biasa saya tempati." Perintah Daddy Emir pada Mang Tatang. Pesuruh yang sudah lama mengabdi di rumah Utomo Santoso.
"Iya Tuan Emir." Mang Tatang segera keluar, langsung melaksanakan apa yang diperintahkan Tuannya.
Alexander Membawa Daddy Emir menuju kamarnya. Sampai pada anak tangga Paing atas, keduanya bertemu dengan Kakek Utomo dan Bibi Isti yang akan turun.
"Aku ganti pakaian dulu Dad." Alexander melepaskan genggaman tangan mereka. Ia segera masuk sendiri kedalam kamarnya.
"Kau pulang juga?." Wajah datar Kakek Utomo melihat kebawah. Mencari orang lain yang siapa tahu dibawa oleh putranya itu. Tapi tidak ada siapa pun di bawah.
"Kak Emir..." Sapa Bibi Isti ramah, tapi sayang tidak dengan Emir kalau sudah berinteraksi secara langsung. Seperti ada jarak yang sengaja dibangun oleh Emir.
"Hem" Jawab Emir singkat.
"Aku mau menemui Alexander." Daddy Emir meninggalkan Bibi Isti dan Kakek Utomo.
.
.
.
Malam semakin larut, hawa dingin tidak bisa dihindari akibat deras dan lamanya hujan yang sudah mengguyur rumah Jamilah.
Jamilah sudah menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal tapi tetap saja terasa dingin. Susah sekali mata dan pikiran Jamilah sejalan, kedua matanya sudah begitu terasa perih karena mengantuk yang sudah tidak bisa ditahannya. Tapi pikirannya masih memikirkan banyak hal yang sudah terjadi disepanjang hari ini.
Kembali terngiang dengan perkataan Emak yang sangat mengusik hati yang selama ini luput dari perhatiannya.
"Emak tidak akan pernah rela, atau merestui Julia kalau sampai harus melangkahi Jamilah, lagi!. Lebih baik Emak pergi supaya tidak melihat lagi harga diri Jamilah yang sudah terinjak-injak oleh semua adiknya."
"Apa yang salah dengan diri ku?. Apa salah kalau aku membiarkan adik-adik ku melangkahi ku?. Apa salah jika aku memberikan kemudahan pada mereka yang sudah ingin membangun rumah tangga?. Apa salah aku memberikan kebahagian ku pada mereka yang aku sayangi. Lalu dimana letak salahnya, kalau memang salah?. Bukankah jodoh, hidup dan mati menjadi rahasia Gusti Alloh. Lalu sekarang Julia?. Apa sekarang aku juga sudah mulai takut, dengan apa yang sering dikatakan oleh orang tua dulu. Aku akan sulit mendapatkan jodoh kalau sampai dilangkahi, aku bahkan sampai tiga kali. Apa akan semakin sulit, jauh atau bahkan sudah tidak ada untuk mendapatkan jodoh ku sendiri?. Bukan salah Julia atau pun ketiga adik ku kalau mereka sudah menemukan jodohnya sendiri-sendiri. Mungkin aku yang harus lebih bersabar lagi dalam menantinya, sampai ada orang yang berbelas kasih mau menikahi wanita berumur seperti ku. Maaf kan aku yang terlalu banyak mengeluh dan kurang bersyukur ini." Air mata Jamilah tidak kalah deras dengan air hujan saat ini. Keduanya seakan berlomba ingin menunjukkan air siapa yang lebih banyak. Suara tangis Jamilah sedikit tersamarkan dengan derasnya hujan yang turun mengenai genteng rumah. Atau bunyi berisik guyuran air hujan yang mengenai seng yang digunakan sebagai pengganti genteng yang bocor. Jika tidak, mungkin sebagian orang akan mengira itu suara kuntilanak yang menangis kedinginan.
Jamilah menumpahkan semua rasa yang selama ini tidak pernah dibaginya pada siapa pun. Hanya sang pemilik hidup lah tempat terbaik bagi Jamilah untuk bisa berkeluh kesah tentang apa pun, seperti hal nya malam ini. Membiarkan kedua matanya membengkak dengan lelehan ingus yang berulang kali dibuangnya pada helaian tissue. Bahkan sesekali di lap menggunakan hijab atau tangannya.
.
.
.
Gusti Alloh memang maha adil, ternyata bukan hanya Jamilah saja yang tidak bisa tidur malam ini. Melainkan ada Daddy Emir juga yang masih terjaga. Namun bedanya, Daddy Emir sedang menikmati hawa dingin pedesaan yang lebih dingin lagi karena hujan pun ikut mengguyur rumah mewah Pak Utomo. Bukan memikirkan jodoh seperti Jamilah. Sebab Daddy Emir sendiri pernah menikah hingga mendapatkan dua orang anak, namun gagal yang berujung perpisahan. Dan sekarang pun Daddy Emir sudah memiliki kekasih yang sudah siap untuk dinikahinya.
Daddy Emir sengaja membuka sedikit jendela kaca, mengundang hawa dingin untuk bisa masuk kedalam kamar yang pendinginnya dimatikan beberapa jam yang lalu.
Menatap dengan intens foto wanita yang sudah beberapa hari ini tinggal didalam memori ponselnya. Beruang kali ditatap, dilihat dengan seksama hingga ia menemukan kesamaan yang tidak mungkin dimiliki wanita lain.
"Arkam, aku sudah menemukan wanita itu. aku akan membawa wanita itu datang kehadapan mu. Untuk memohon ampun atas apa yang sudah menimpa mu saat itu."
Sepertinya hujan malam ini tidak akan berhenti, mungkin akan terus hujan sampai pagi. Untuk menemani dua insan yang berlainan jenis dan berbeda tempat guna menikmati kesendirian dan kesedihan masing-masing.
Y
hhh