Sudah lama menikah, tapi belum pernah merasakan malam pertama?
Mustahil!
Mungkin itu yang akan orang katakan.
Tapi, ini benar-benar terjadi pada Vania.
Saat memutuskan untuk menikah muda,Vani justru dihadapkan dengan kenyataan pahit. Suaminya tidak mau menyentuhnya sama sekali. Bahkan di malam pertama pernikahannya, Faisal meninggalkannya begitu saja.
Entah apa alasannya, Vani sendiri tak mengerti.
Tinggalkan jejaknya sayonk😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Lana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pak Ren Terluka
"Jadi, kamu mau ambil separuh gajimu?" tanya Renan setelah suapan terakhirnya. Vani mengangguk ragu, sedangkan Bik Minah sudah pergi melanjutkan pekerjaannya lagi.
"Ya udah, nanti aku siapin dulu." Meraih segelas air putih, lantas meneguknya dengan perlahan.
Renan melangkah meninggalkan meja makan menyisakan piring kosong yang telah tandas isinya. Melangkah menuju kamar pribadinya, Renan mengambil beberapa lembar uang, lalu memasukkannya dalam amplop putih.
Renan berniat menyerahkan amplop putih yang berisikan uang gajian Vani di dalam ruangan kerjanya. Selain untuk mengambil sesuatu lebih dulu, Renan juga takut jika nantinya Vani akan malu jika ia menyerahkan uang itu di depan Bik Minah secara langsung. Maka dari itu Renan hanya berpesan pada Bik Minah untuk memanggil Vani ke ruangan kerjanya.
"Nanti tolong buatin kopi ya, Bik!" Renan merasakan kantuk yang teramat sangat, mungkin karena semalam ia kesusahan untuk memejamkan mata sebab bayangan Vani yang terus-menerus menghantuinya.
Bik Minah mengangguk mengiyakan permintaan sang majikan. Perempuan paruh baya itu melanjutkan langkah ke dapur, sekalian mencari di mana keberadaan Vani.
"Neng Vani di tunggu Bapak di ruangannya." Suara Bik Minah membuat Vani menghentikan kegiatannya. Wanita itu menoleh dan mendapati Bik Minah yang tengah berdiri di ambang pintu menuju taman belakang, tempat ia membersihkan dedaunan kering.
"Eh, iya, Bik." Buru-buru Vani meletakkan sapu yang ia pegang dan segera melangkah masuk ke dalam.
Lantai dua yang menjadi tujuan Vani. Ruangan kerja majikannya memang cukup besar. Di dalamnya ada rak-rak yang berjejer rapi, tempat berbagai macam buku yang entah apa isinya.
Di sudut lain juga ada beberapa peralatan medis milik laki-laki itu, yang sengaja Renan simpan jika sewaktu-waktu membutuhkan jika sedang berada di rumah. Setiap hari Vani selalu membersihkannya saat laki-laki itu sudah berangkat bekerja. Tapi, saat ini laki-laki itu tengah berada di dalam sana, Vani jadi canggung sendiri. Padahal belum juga melangkah masuk.
Vani mendorong pintu yang terbuka sedikit setelah mengetuknya beberapa kali. Seketika rasa gugup mulai melandanya. Apalagi saat mencari di mana keberadaan laki-laki itu yang belum tertangkap oleh indera penglihatannya.
"Pak Ren ke mana ya? Katanya tadi suruh nemuin di sini." Vani berbisik sendiri mengingat perkataan Bik Minah tadi.
Melangkah pelan, kedua matanya menyapu seluruh ruangan itu. Vani selalu di buat takjub akan buku yang berjejer rapi yang berada di sana. Terlalu fokus, hingga ia tidak memperhatikan jika ada beberapa buku yang hendak jatuh dan siap menimpanya.
Brukkk!
Renan memeluk sigap tubuh Vani demi melindungi wanita itu dari barang yang hendak menimpanya. Tapi, ia sendiri justru rela mengorbankan dirinya sendiri.
"Kamu nggak apa-apa kan, Van?"
Vani terkejut bukan main oleh aksi majikannya yang tiba-tiba. Lantas, ia baru tersadar saat sebuah suara benda jatuh tepat berada di kakinya.
"Pak Ren ....! Anda nggak apa-apa, kan?" Kini gantian Vani yang panik. Jika saja tadi ia hati-hati, mungkin kejadian buruk ini tidak akan pernah menimpanya.
Keduanya masih dengan posisi tadi, Renan sedikit memeluk tubuh Vani dan melindungi kepalanya, bersamaan dengan pintu ruangan itu terbuka dengan sempurna.
"Bapak ngapain?!" Suara Bi Minah memecah keheningan di ruangan kerja Renan. Sedangkan minuman yang ada di tangannya tadi di biarkan pecah begitu saja menyentuh lantai. Vani buru-buru melepaskan diri dengan perasaan malu, begitupun Renan, mereka berdua terlihat canggung.
"Maaf, Van, aku nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Laki-laki itu. Bi Minah sedang membersihkan bekas pecahan gelas tadi, sedangkan Vani masih salah tingkah sendiri.
"Iya, Pak. Saya nggak apa-apa." Vani melirik buku yang berceceran diatas lantai, lalu beralih lagi pada majikannya. "Pak Ren baik-baik aja, kan?" Melihat laki-laki itu mengusap kepala bagian belakang. Seketika kedua mata Vani langsung terbelalak saat melihat darah yang merembes dari kepala Renan. "Pak Ren terluka!"
Renan langsung menyentuhnya. Benar, ternyata kepalanya berdarah oleh luka yang di sebabkan tumpukan buku tadi. "Nggak apa-apa, Van. Ini cuma sedikit."
"Bapak terluka?" Kini gantian suara Bik Minah yang terdengar. Perempuan itu sudah selesai membersihkan bekas pecahan gelas tadi. Memilih mengurungkan niatnya untuk segera pergi, Bik Minah mendekat kearah sang majikan.
"Saya nggak apa-apa, Bik. Ini hanya luka kecil," ungkap Renan menjelaskan.
"Tapi itu bahaya, Pak, kalau di biarkan!" Cemas sendiri. Padahal laki-laki di depan sana bersikap biasa saja. "Biar saya obatin dulu ya?"
Bik Minah sudah Renan anggap seperti keluarga sendiri. Bagi Renan, Bik Minah adalah orang tua pengganti yang ia hormati seperti kedua orang tua kandungnya.
"Iya."
Akhirnya pasrah saat tangan tua itu mulai membersihkan lukanya dan membalutnya dengan perban. Sedangkan Vani, wanita itu merasa tidak enak sendiri karena secara tidak langsung dia lah yang menjadi penyebab majikannya luka seperti ini.
"Maafkan saya, Pak. Gara-gara saya Pak Ren jadi seperti ini," ucap Vani dengan rasa bersalah. Sejak tadi Vani hanya menunduk, tidak berani mengangkat kepalanya sama sekali bahkan saat Bik Minah memaksa untuk mengobati luka laki-laki itu.
"Ini bukan salah kamu, Van. Mungkin susunan buku di rak itu kurang rapi, akhirnya jatuh. Untung nggak kena kamu." Renan malah tersenyum membalas ucapan Vani. Seolah tidak merasa menyesal sama sekali telah menyelamatkannya.
"Tapi, kepala Pak Ren jadi terluka. Saya benar-benar minta maaf."
Vani tetap saja merasa bersalah meski Renan tidak mempermasalahkannya. Laki-laki itu justru merasa bersyukur buku tadi tidak sampai mengenai kepala Vani. Renan tidak bisa membayangkan jika itu sampai terjadi, mungkin ia akan di persalahkan oleh suami dari wanita itu. Dan akhirnya Vani tidak akan di ijinkan lagi bekerja di rumahnya.
Tapi, tunggu ...Vani menyebutnya apa tadi, Pak Ren?
"Udah, Neng, itu bukan salah Neng Vani, kok. Nanti suami Bibik biar benerin itu raknya, biar nggak kena orang lagi." Bik Minah juga berusaha menghibur Vani agar tidak terus-terusan merasa bersalah.
Akhirnya Bik Minah pergi dari ruangan itu meninggalkan Renan dan Vani berdua. Renan terpaksa mengurungkan niatnya untuk berangkat ke rumah sakit sebab insident tadi yang membuat kepalanya terluka.
"Jadi, kamu beneran mau ambil gaji kamu sekarang?" tanya Renan kemudian.Vani mendongak, menatap manik mata kecoklatan milik laki-laki itu.
"Iya, Pak, saya mau ambil separuh gaji saya sekarang."
Lalu Vani melihat Pak Renan mengeluarkan amplop berwarna putih dari dalam laci meja kerjanya. "Ini gaji kamu bulan ini." Menyodorkan kearah Vani.
"Tapi, Pak, saya hanya minta separuh?" Amplop berwarna putih itu Vani biarkan tergeletak di hadapannya. Vani pikir jika semua gaji di ambil sekarang, nanti jika ada keperluan mendesak lagi bagaimana?
"Ambil aja, Van, nanti kalau ada keperluan mendesak bilang aja. Jangan sungkan."