Davina memergoki pacarnya bercinta dengan sahabatnya. Untuk membalas dendam, Davina sengaja berpakaian seksi dan pergi ke bar. Di sana dia bertemu dengan seorang Om tampan dan memintanya berpura-pura menjadi pacar barunya.
Awalnya Davina mengira tidak akan bertemu lagi dengan Om tersebut, tidak sangka dia malah menjadi pamannya!
Saat Davina menyadari hal ini, keduanya ternyata sudah saling jatuh cinta.Namun, Dave tidak pernah mau mengakui Davina sebagai pacarnya.
Hingga suatu hari Davina melihat seorang wanita cantik turun dari mobil Dave, dan fakta mengejutkan terkuak ternyata Dave sudah memiliki tunangan!
Jadi, selama ini Dave sengaja membohongi Davina atau ada hal lain yang disembunyikannya?
Davina dan Dave akhirnya membangun rumah tangga, tetapi beberapa hari setelah menikah, ayahnya menyuruh Davina untuk bercerai. Dia lebih memilih putrinya menjadi janda dari pada harus menjadi istri Dave?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Davina duduk di ruang keluarga setelah mengantar tante Sandra sampai ke depan. Dia sengaja meninggalkan Papa dan teman dekatnya untuk berduaan. Mungkin saja ada hal penting yang ingin mereka bicarakan 4 mata.
Sejauh ini Davina tak mempermasalahkan kedekatan Papanya dengan wanita manapun.
Dia mulai sadar kalau Papanya juga membutuhkan sosok wanita yang bisa menemani dan mengurusnya.
Davina sudah ikhlas jika mendiang sang Mama digantikan oleh wanita lain. Dia percaya Papanya tak akan melupakan jasa wanita yang sudah memberikannya seorang anak, walaupun nantinya menikah dengan tante Sandra.
"Om Dave,,," Gumam Davina lirih. Jarinya reflek mengusap bibir. Dia merasakan bekas ciuman itu masih menempel di bibirnya meski sudah 3 hari berlalu. Rasanya sangat beda, tak seperti saat Arga menciumnya.
Mungkinkah usia berpengaruh pada rasa.?
Tanpa sadar sudut bibir Davina terangkat. Dia seperti sedang merasakan jatuh cinta untuk kedua kalinya.
Sejujurnya dia telah mengingat Dave belakangan ini, tak hanya mengingat ciumannya saja, namun mengingat wajah dan suaranya yang candu meski terbilang dingin dan ketus.
"Anak Papa sepertinya sedang jatuh cinta,," Tegur Edwin sembari mengulas senyum teduh. Dia lalu duduk di samping anak semata wayangnya.
"Papa senang kamu nggak larut dalam kesedihan."
"Memang lebih baik melupakan Arga, kamu bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dan bertanggungjawab." Ucap Edwin. Dia merangkul Davina dalam dekapannya.
Sejujurnya Edwin kecewa pada Arga setelah Davina menceritakan semuanya lewat sambungan telfon 2 hari lalu. Dia tak menyangka laki-laki yang sudah dia anggap seperti putranya sendiri tega menyakiti Davina.
Edwin memang tak melarang putrinya untuk menjalin hubungan dengan laki-laki manapun. Dia membiarkan Davina menikmati masa mudanya yang penuh dengan cinta.
Edwin sangat percaya pada Davina soal urusan menjaga diri, itu sebabnya dia mengijinkan Davina menjalin hubungan dengan Arga 2 tahun lalu.
Dan selama itu, Davina tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Termasuk saat Arga meminta Davina untuk bercinta. Jadi Edwin sudah tau sampai sejauh mana gaya pacaran putrinya itu.
"Papa benar, lagipula sekarang aku menyesal. Kenapa dulu aku bisa mencintai Arga."
"Aku pikir cuma Arga satu-satunya cowok tampan di kota ini, rupanya ada yang jauh lebih tampan dari dia." Tuturnya tanpa bisa menahan senyum. Davina membayangkan wajah Dave, dia mengakui Dave jauh lebih tampan dari Arga.
"Oh ya.? Siapa dia.?" Tanya Edwin antusias. Dia jadi penasaran dengan sosok laki-laki yang sepertinya sangat di kagumi oleh putrinya itu.
"Rahasia Pah,," Davina tersenyum malu.
"Hemm,, jadi sudah bisa menyimpan rahasia dari Papa nih.?" Goda Edwin. Dia juga enggan memaksa Davina untuk bercerita. Putrinya sudah dewasa dan seharusnya punya hal yang sifatnya privasi.
"Bukan begitu Pah, tapi aku belum dekat sama dia." Davina menyengir kuda.
"Nggak masalah kalau memang kamu nggak bisa cerita. Lagipula Papa nggak wajib tau." Edwin mengusap pucuk kepala Davina.
8 tahun sudah putrinya itu tumbuh tanpa sosok seorang ibu. Wanita yang seharusnya menjadi tempatnya bercerita dan mengadu, harus pergi untuk selama-lamanya di saat usia Davina baru 12 tahun. Putri semata wayangnya itu terpaksa melewati masa remajanya bersama figur seorang ayah. Sejak saat itu, Edwin satu-satunya orang yang dijadikan tempat mengadu oleh Davina. Hal itu yang membuat Davina selalu menceritakan apapun pada sang Papa.
"Besok kita akan pergi ke rumah tante Sandra untuk makan malam bersama." Ujar Edwin memberi tau.
"Kebetulan anak tante Sandra baru datang dari New York. Papa ingin secepatnya meresmikan hubungan kami." Edwin bicara dengan nada bicara yang lembut dan hati-hati. Walaupun Davina sudah merestui hubungannya dengan Sandra, tapi takut keputusannya ini akan membuat Davina sedih.
"Benarkah.?" Davina terlihat senang dengan kabar itu. Dia sudah ikhlas menerima sosok pengganti ibu kandungnya.
"Aku ikut bahagia kalau memang Papa dan tante Sandra ingin segera menikah."
"Semoga tante Sandra wanita yang tepat untuk Papa dan akan menjadi ibu sambung yang baik untukku." Ucap Davina penuh harap.
"Makasih sayang,," Edwin kembali memeluk putrinya. Dia lega kalau memang Davina ikhlas menerima kehadiran Sandra.
...*****...
Davina turun ke lantai bawah dengan balutan dress berwarna maroon. Dress tanpa lengan dengan panjang selutut, begitu sempurna melekat di tubuh Davina.
Dia sudah siap untuk pergi ke rumah calon ibu sambungnya.
Untuk pertama kalinya Davina akan mengunjungi rumah Sandra dan bertemu dengan calon saudara tirinya.
"Ya ampun Papa,, kenapa gayanya jadi seperti anak muda begini.?" Davina nampak kaget melihat penampilan sang Papa yang tak seperti biasanya.
Rambutnya di potong cepak, kumis yang biasanya masih disisakan tipis, kini di cukur habis.
Laki-laki berusia 46 tahun itu terlihat jauh lebih muda dari usianya.
"Jangan meledek Papa, ayo berangkat,," Edwin langsung menggandeng tangan putrinya. Dia malu mendapat ucapan seperti itu dari anak gadisnya yang sudah dewasa.
Sampainya di rumah Sandra, keduanya di sambut hangat.
Edwin dan Davina langsung di kenalkan dengan putranya.
"Farrel kenalin ini Om Edwin dan putrinya, namanya Davina." Sandra bicara pada putranya, dia menyentuh lengan putranya agar menjabat tangan Edwin dan Davina.
Farrel mengangguk paham dan langsung menjabat tangan Edwin dan Davina bergantian.
Sempat ada obrolan ringan antara Edwin dan Farrel, keduanya terlihat nyambung walaupun baru pertama kali bertemu.
"Ayo masuk Mas,," Ajak Sandra.
"Farrel, ajak Davina masuk dan temani dia mengobrol. Jangan canggung seperti itu." Ucapnya dengan senyum tipis. Sorot mata Sandra terlihat lebih bahagia saat melihat putranya bisa dipertemukan dengan Davina.
"Iya Mah." Jawab Farrel datar.
Edwin dan Sandra lalu masuk lebih dulu ke ruang keluarga sembari menunggu waktu makan malam tiba.
"Wanita yang akan menjadi ibu sambungmu sudah meneteskan banyak air mata dan banyak merasakan sakit, aku harap Papamu bisa membahagiakannya." Tutur Farrel sambil menatap punggung Sandra yang makin menjauh. Sorot matanya tak bisa di bohongi, ada kesedihan yang berusaha dia pendam sendirian.
"Papa orang yang lembut, penuh kasih sayang dan sangat bertanggungjawab."
"Beliau akan mengutamakan kebahagiaan orang yang dia cintai, dibanding kebahagiaannya sendiri."
"Nggak usah khawatir, tante Sandra pasti akan bahagia hidup dengan Papa." Ujar Davina meyakinkan.
Farrel nampak mengangguk percaya. Lagipula dia bisa menilai Edwin dari cara bicara dan sorot matanya.
"Tadi siapa namamu.? Aku lupa." Farrel menatap lekat wajah Davina.
"Davina." Gadis cantik itu tersenyum ramah. Bukankah sudah seharusnya bersikap seperti itu pada calon saudara.
"Ok."
"Masuklah, aku sedang menunggu seseorang." Ujar Farrel datar.
Davina hanya mengangguk, setelah itu bergegas masuk menyusul Papanya dan Sandra.
Cukup lama ketiganya mengobrol di ruang keluarga, menambah kedekatan dan kehangatan di antara mereka.
"Selamat malam, maaf membuat kalian menunggu."
Degghh,,!
Suara itu seketika membuat Davina memaku. Dia sangat mengenalinya. Pikiran perlahan mulai tidak karuan. Dia bahkan takut untuk sekedar menoleh ke belakang agar bisa melihat pemilik suara itu.
"Dave. Kakak pikir kamu nggak bisa datang." Sandra beranjak dari duduknya.
Davina membulatkan matanya mendengar Sandra menyebut nama Dave. Rupanya dia tidak salah mengenali suara laki-laki itu.
"Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan Kak.".Jawabnya.
"Jangan percaya Mah, palingan juga main di tempat biasa." Sela Farrel dengan nada mengompori.
"Farrel.!" Tegur Sandra.
"Kemari Dave, kenalin ini Mas Edwin dan itu putrinya." Ucap Sandra. Dia menatap Edwin yang duduk di sampingnya, lalu menunjuk Davina yang berada di depannya.