Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Punya Pilihan
Keesokan paginya, matahari Verona City hanya sempat menampakkan diri sebentar sebelum kembali diselimuti awan. Elena berdiri di depan cermin kecil di kamarnya. Rambutnya ia ikat sederhana, wajahnya dipoles tipis agar tampak segar meski matanya masih sembab akibat malam penuh tangisan.
Ia menatap pantulan dirinya lama. Aku harus kuat. Aku harus mencari pekerjaan. Demi Papa. Demi rumah ini.
Dengan map berisi dokumen lamaran, Elena melangkah ke luar rumah. Udara pagi menusuk kulitnya, dingin namun menyalakan sedikit keberanian.
Ia memulai dari sebuah butik di pusat kota. Seorang manajer wanita menerima mapnya, membaca sekilas, lalu menggeleng cepat.
“Maaf, posisi sudah terisi.”
Elena mencoba tersenyum sopan. “Apakah ada kemungkinan jika...”
“Tidak. Kami tidak butuh pegawai tambahan.” Wanita itu menutup pembicaraan dengan tegas, seakan tak mau membuang waktu lagi.
Hatinya perih, tapi ia menahan diri. Ia berterima kasih, lalu melanjutkan langkah.
Tempat berikutnya adalah restoran kecil di jalan utama. Aroma kopi dan roti panggang sempat membuatnya sedikit tenang. Ia menyodorkan lamaran dengan suara bergetar namun penuh harapan.
Pria paruh baya yang duduk di meja kasir membaca cepat, lalu menatapnya dengan raut canggung.
“Maaf, Nona. Kami… tidak bisa menerima Anda.”
“Apakah ada syarat yang tidak saya penuhi?” Elena memberanikan diri bertanya.
Pria itu terdiam sejenak, matanya beralih ke sudut ruangan, lalu kembali padanya dengan ekspresi yang dipaksakan. “Tidak. Kami hanya tidak bisa.”
Elena ingin bertanya lebih jauh, namun tatapan pria itu jelas menutup semua pintu. Ia kembali keluar, hatinya makin hancur.
Dua jam berikutnya, ia mencoba di toko buku, perusahaan travel, bahkan kafe kecil di pojok jalan. Jawabannya selalu sama: tidak, maaf, sudah penuh, tidak bisa.
Semua terlalu cepat. Terlalu seragam. Seolah mereka bahkan tidak ingin mempertimbangkan.
Elena berjalan di trotoar yang ramai, langkahnya goyah. Pagi yang ia mulai dengan secercah harapan kini berubah menjadi dinding tebal tak terlihat yang menolak semua usahanya.
Ia berhenti di sebuah halte, duduk dengan map di pangkuan. Jemarinya menggenggam kertas lamaran itu erat-erat, matanya berair. Kenapa? Mengapa seolah semua pintu tertutup sebelum aku sempat mengetuknya?
Lalu pikirannya melayang pada pria itu.
Adrian Valtieri.
Tatapannya. Kata-katanya. Senyum tipisnya yang lebih terasa seperti ancaman.
Jangan-jangan…
Elena menutup mata, hatinya berdebar kencang. Sebuah kesadaran mengerikan mulai tumbuh. Bukan kebetulan ia ditolak berkali-kali. Ada tangan tak terlihat yang menutup semua jalannya. Dan hanya ada satu orang di kota ini yang cukup berkuasa untuk melakukannya.
.....
Hari mulai beranjak sore. Elena berjalan pulang melewati jalan yang sama. Di antara kerumunan, ia merasa diawasi. Sesekali, ia melihat mobil hitam berhenti di kejauhan. Saat ia menoleh, mobil itu meluncur pergi.
Ia menggenggam mapnya lebih erat, tubuhnya merinding.
Ketika sampai di depan rumah, ia berhenti sejenak. Dari seberang jalan, sebuah sedan hitam berkilau parkir diam. Kaca jendela perlahan turun, menampakkan wajah yang sudah tak asing lagi.
Adrian Valtieri.
Ia duduk tenang, mengenakan jas gelap. Tatapannya menembus jarak, mengunci Elena di tempat. Senyum tipis kembali muncul di bibirnya, sebuah senyum yang membuat darah Elena berdesir ngeri sekaligus… anehnya, membuat lututnya lemas.
“Elena…” suara itu rendah, bergema seakan hanya ia yang bisa mendengar meski jarak memisahkan mereka.
Elena menelan ludah, jantungnya berdegup liar. Ia tahu, setiap langkah yang ia coba tempuh hari ini sudah digenggam dalam telapak tangan pria itu.
Mobil itu kemudian bergerak pelan, meninggalkannya. Tapi pesan diam-diam sudah jelas:
Kau tidak punya jalan lain kecuali aku.
Elena berdiri di depan rumahnya, gemetar. Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. Dunia menutup semua pintu, dan hanya satu pintu yang terbuka, pintu menuju Adrian Valtieri.
Malam itu, rumah tua keluarga Marcellis terasa lebih sunyi daripada biasanya. Jam tua di ruang tamu berdetak lambat, setiap ketukan seperti palu yang menambah berat di dada Elena.
Ia duduk di kamar, lampu meja redup menyinari wajahnya yang pucat. Map berisi lamaran kerja terbuka di pangkuannya, sebuah bukti kegagalan yang berulang. Tangannya gemetar, matanya sembab.
Semua pintu tertutup. Semua jalan ditutup.
Ia memejamkan mata, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga bersandar pada dinding. Air mata mengalir perlahan, namun bukan hanya kesedihan yang ia rasakan. Ada rasa lain, sesuatu yang menakutkan…
Bayangan Adrian Valtieri.
Tatapan matanya yang menusuk. Senyum tipisnya yang dingin. Suaranya yang rendah, seperti mantra gelap yang terus menggema di telinga.
“Tidur denganku. Satu tahun penuh. Kau milikku… dan hutangmu lunas.”
Elena menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar. “Tidak… aku tidak boleh… aku tidak bisa…” bisiknya pada diri sendiri.
Namun semakin ia menolak, semakin kuat bayangan itu menyeruak ke dalam pikirannya. Adrian bukan sekadar ancaman. Ada sesuatu dalam dirinya yang memikat, sebuah kekuatan tak kasat mata yang menarik Elena masuk, meski ia tahu itu akan menghancurkannya.
Di ruang tamu, suara batuk keras ayahnya memecah keheningan. Elena segera berlari keluar, menemukan Richard terbaring di sofa, wajahnya memucat.
“Papa!” Elena berlutut, menggenggam tangannya erat-erat. “Tunggu sebentar, aku akan memanggil dokter.”
Richard menahan genggaman itu, menggeleng lemah. “Jangan… jangan buang uangmu. Papa baik-baik saja…”
Air mata Elena jatuh ke punggung tangan ayahnya. “Tidak, Papa tidak baik-baik saja. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus…”
Tapi kata-katanya terputus, karena ia sendiri tidak tahu apa yang bisa ia lakukan.
.....
Larut malam, setelah memastikan ayahnya tertidur, Elena kembali ke kamar. Ia berdiri di depan jendela, menatap kota Verona yang berkilau dari kejauhan. Lampu-lampu itu seakan mengejeknya, memamerkan dunia yang tidak lagi bisa ia masuki.
Di dalam hatinya, pertempuran sedang berlangsung.
Harga diri dan kebebasan melawan kebutuhan dan rasa cinta pada ayahnya.
Dan di tengah perang batin itu, hanya ada satu sosok yang terus hadir.
Adrian.
Sosok itu hadir seperti bayangan di ujung pikirannya, membuat jantungnya berdebar tak terkendali. Ia takut padanya. Ia membencinya. Namun entah mengapa, ia juga tidak bisa menghapus wajah itu dari benaknya.
“Elena…” Ia hampir bisa mendengar suaranya, berbisik di telinganya.
Elena menutup mata rapat-rapat, air matanya jatuh lagi. Dalam hati kecilnya, ia tahu, Adrian sudah mulai merenggut sesuatu dari dirinya, bahkan sebelum ia membuat pilihan.
Di luar rumah, jauh di bawah bayangan pohon tua, sebuah mobil hitam terparkir diam. Lampunya mati, mesinnya tenang.
Di dalamnya, Adrian duduk sendiri, menatap rumah tua keluarga Marcellis dengan mata kelam yang tak terbaca. Di antara jari-jarinya, sebuah rokok menyala pelan, asapnya membentuk lingkaran tipis di udara.
Ia tidak buru-buru. Tidak pernah tergesa.
Karena ia tahu, waktu selalu berpihak pada orang yang berkuasa.
Dan pada akhirnya, Elena Marcellis akan datang padanya.
Bukan karena ia mau…
Tapi karena ia tidak punya pilihan lain.