Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Beginning'1
Pada masa lalu, Benua Shirayuki Sakura berada di bawah kekuasaan kerajaan tirani yang berlokasi di bagian utara peta. Wilayah ini ditandai dengan sebuah kastil besar yang mengindikasikan pusat kekuasaan dan kontrol mereka. Kerajaan tirani ini menjalankan pemerintahan dengan tangan besi, menyebabkan banyak wilayah lain hidup dalam ketakutan dan penindasan.
Namun, di tengah-tengah kekelaman itu, ada seberkas harapan yang tumbuh di bawah gunung bersalju di bagian selatan peta. Di sana, Araya, Evelia, Nuita, Ninaya, dan Riana, yang saat itu masih remaja, tinggal bersama seorang wanita baik hati bernama Yukio Ikaeda. Yukio mengadopsi mereka dan membesarkan mereka bersama putranya, Irago Ikaeda, yang seusia dengan mereka. Keluarga besar ini hidup sederhana, jauh dari kekacauan yang terjadi di utara. Kehidupan mereka berfokus pada pelatihan dan pembelajaran, yang kelak akan menjadi bekal mereka untuk menghadapi tantangan besar yang menanti di masa depan.
...
...
...Suatu sore di alun-alun kota, saat mereka sedang bersantai, sekelompok anak laki-laki nakal mengganggu Ninaya. Araya, yang tidak ragu membela adiknya, langsung maju menghadapi mereka. Meskipun Araya adalah seorang gadis, ia tak gentar melayangkan pukulan. Pertarungan pun tak terhindarkan, dan Araya terhempas ke tanah. Namun, alih-alih menangis atau mengeluh sakit, ia hanya menatap kosong ke langit, tenggelam dalam lamunannya....
Tak lama kemudian, seorang gadis berambut putih dengan mata ungu yang unik mendekatinya. Gadis itu meneteskan air mata, membuat Araya bingung dan bertanya kenapa ia menangis. Gadis itu, yang memperkenalkan diri sebagai Evelia, menjawab bahwa ia tidak suka melihat Araya terluka. Araya membalas dengan memperkenalkan dirinya dan Ninaya, yang berdiri di belakangnya. Evelia kemudian bertanya mengapa mereka masih berada di luar saat hari mulai gelap, karena seharusnya anak-anak sudah berada di rumah. Araya, yang menyembunyikan kenyataan bahwa mereka adalah sisa-sisa klan Yamada yang terpinggirkan, hanya mengalihkan pembicaraan, mengatakan mereka sedang bersantai.
...
...
...Evelia kemudian mengungkapkan bahwa ia juga sendirian, keluarganya telah pergi bersama para pengawal kerajaan, meninggalkannya tanpa siapa-siapa. Kesamaan nasib ini menciptakan ikatan tak terduga antara mereka. Pertemuan ini menjadi awal dari persahabatan yang kelak akan mengubah hidup mereka. Meskipun mereka belum menyadarinya, takdir telah mulai menghubungkan jalan mereka, menyiapkan mereka untuk petualangan yang lebih besar di masa depan....
Di bawah langit senja, Araya, Ninaya, dan Evelia semakin sering bertemu di alun-alun kota yang ramai, seolah tak peduli dengan pandangan sinis dan bisikan tajam warga yang menganggap mereka bertiga sebagai pembawa sial. Araya dan Ninaya sudah terbiasa dengan cap tersebut sejak klan Yamamada mereka dibubarkan, dan kini Evelia pun turut merasakannya. Namun, ikatan di antara mereka semakin kuat. Evelia, dengan mata ungunya yang penuh pengertian, memahami beban Araya dan Ninaya sebagai sisa-sisa klan yang terbuang. Sebaliknya, Araya kini tahu rahasia Evelia: ia adalah keturunan bangsawan dari klan Kitsune/Gumiho yang bermukim di gunung bersalju Shirayuki.
Suatu hari, ketenangan mereka terusik. Di tengah hiruk pikuk alun-alun, sekelompok pengawal kerajaan dengan seragam kebesaran yang mengkilat tiba-tiba muncul. Mereka bergerak cepat, mengincar Evelia. Aura dingin dan otoritas terpancar dari setiap langkah mereka, membuat warga sekitar langsung menyingkir. Tujuan mereka jelas: membawa pergi Evelia. Melihat hal itu, Araya refleks berdiri di depan Evelia, mencoba menghalangi para pengawal dengan tubuhnya yang kecil namun penuh keberanian. Ia tahu ia tidak akan bisa menang, namun ia tidak bisa hanya diam.
Di saat yang sama, Ninaya, dengan tongkat kayu kecil yang selalu dibawanya, ikut maju menyerang para pengawal. Ia mengayunkan tongkatnya dengan sekuat tenaga, berusaha memukul dan mengganggu pengawal agar mereka melepaskan Evelia. Meskipun perlawanan mereka terasa sia-sia di hadapan kekuatan kerajaan, tekad mereka tidak goyah. Pertarungan yang tidak seimbang itu pun terjadi, di mana dua gadis kecil yang tidak berdaya melawan tirani kerajaan demi melindungi teman mereka yang berharga.
Perlawanan Araya dan Ninaya sia-sia. Para pengawal kerajaan yang kejam tidak ragu menggunakan kekerasan, melayangkan pukulan dan jambakan ke arah mereka berdua. Araya dan Ninaya terhuyung, namun mereka tidak menyerah. Di sisi lain, Evelia hanya bisa menangis ketakutan, memohon agar para pengawal menghentikan kekejaman mereka. Araya yang marah berteriak sekuat tenaga, meminta bantuan warga yang berkerumun, tetapi tidak ada satu pun yang bergerak. Mereka hanya berdiri menyaksikan, membenarkan perlakuan kejam itu dengan kebencian yang sudah mereka pendam sejak lama.
Ninaya yang sudah terlalu kesakitan hanya bisa terisak, menutupi wajahnya yang memar. Namun Araya, dengan tekad yang membara, masih terus mencoba melepaskan Evelia dari cengkeraman para pengawal. Salah satu ajudan kerajaan tirani, yang tampak menikmati penderitaan mereka, tersenyum sinis. "Kami akan bersenang-senang dengan gadis ini," katanya, suaranya dipenuhi kegembiraan yang mengerikan. Ucapan itu bagaikan api yang menyulut kemarahan Araya.
Araya menggeram, seluruh tubuhnya memberontak. Ia melepaskan semua sisa kekuatannya, menendang dan berusaha memukul pengawal dengan brutal. Kemarahannya yang meledak-ledak membuat Evelia semakin ketakutan, bukan hanya pada para pengawal, tetapi juga pada kegelapan yang tiba-tiba muncul di mata Araya. Dalam kekacauan ini, sebuah kekuatan tak terduga mulai terbangun, mengisyaratkan bahwa takdir Araya dan teman-temannya akan segera berubah.
Meskipun perlawanan Araya membara, itu tidak mengubah takdir. Para pengawal akhirnya berhasil membawa Evelia ke dalam kereta kuda, memisahkan gadis bangsawan itu dari Araya dan Ninaya. Kereta itu bergerak perlahan, meninggalkan dua bersaudara yang kini merasa hancur.
Araya menatap nanar kepergian kereta, lalu memukul tanah dengan frustrasi. "Kenapa?" erangnya, suaranya pecah karena marah dan sedih. "Kenapa mereka membenci kita? Kita tidak melakukan kesalahan apa pun!"
Para warga yang masih berkerumun hanya memalingkan wajah, semakin menegaskan bahwa tidak ada bantuan yang akan datang untuk mereka.
Araya akhirnya bangkit, mengajak Ninaya pergi dari tempat yang kejam itu. Mereka berjalan tanpa tujuan hingga tiba di sudut kota yang gelap dan sepi. Duduk bersandar pada dinding yang dingin, Araya mengeluarkan sepotong roti terakhirnya dan menyodorkannya kepada Ninaya.
Namun, Ninaya menolak. "Kakak saja yang makan. Kakak pasti lapar," ucapnya pelan, air mata masih menggenang di pelupuk matanya.
Araya tersenyum tipis dan meyakinkan adiknya, "Tidak apa-apa, Kakak bisa mencari lagi nanti."
Keduanya berbagi keheningan yang menyakitkan, hanya ditemani kegelapan yang merangkul mereka.
Di tengah kesendirian mereka, seorang anak laki-laki seusia mereka mendekat. "Kalian terlihat lelah. Ikut aku," ajaknya dengan suara tenang.
Araya, yang sudah lelah secara fisik dan emosional, tidak memiliki kekuatan untuk menolak. Ia hanya bisa mengangguk dan mengikuti langkah anak laki-laki itu, membawa serta Ninaya. Mereka tidak tahu siapa anak itu, tetapi setelah apa yang mereka alami, setiap tawaran kebaikan terasa seperti secerah harapan. Sementara itu, di dalam kereta kuda yang melaju, perjalanan Evelia tiba-tiba terhenti. Ajudan kerajaan yang mengawalnya tampak bingung, menoleh ke luar jendela untuk melihat apa yang menghalangi jalan mereka.
Di tengah jalan, kereta kuda yang membawa Evelia berhenti mendadak. Di depan mereka, seorang wanita berdiri dengan tenang namun penuh aura otoritas. Rambut biru mudanya berkilau, kontras dengan pakaian hitam dan putihnya, dan di tangannya ia memegang sebuah pedang yang sarungnya dihiasi ukiran naga.
"Lepaskan gadis itu," suaranya tegas, menggema di udara dingin. "Atau aku akan menghancurkan kereta ini sampai tak bersisa."
Ajudan kerajaan, yang terlihat terkejut dengan keberanian wanita itu, menyahut dengan nada meremehkan, "Dia hanya anak pembawa sial! Mengapa Anda repot-repot melindunginya?"
Namun, wanita itu tidak gentar. "Itu bukan urusanmu," jawabnya dingin. "Keluar sekarang dan serahkan gadis itu!"
...
...
...Keributan itu menarik perhatian beberapa pengawal lain, yang segera keluar dari kereta dan mengepung wanita itu. Ajudan tersebut memerintahkan mereka untuk menangkapnya. Pertarungan singkat pun tak terhindarkan. Dengan gerakan yang lincah dan mematikan, wanita itu mengayunkan pedangnya. Setiap ayunan begitu cepat sehingga pengawal itu bahkan tidak bisa bereaksi, mereka langsung terkapar di tanah. Hanya dalam sekejap, wanita itu berhasil melumpuhkan semua pengawal, membuat sang ajudan terbelalak ngeri....
Evelia, yang menyaksikan semua itu dari dalam kereta, merasa lega yang luar biasa. Air mata yang sebelumnya mengalir deras kini bercampur dengan rasa takjub. Ia keluar dari kereta, berdiri di hadapan wanita yang telah menyelamatkannya.
"Siapa... siapa Anda?" tanyanya, suaranya bergetar.
Wanita itu tersenyum lembut dan meletakkan pedangnya kembali ke sarungnya. "Namaku Yukio Ikaeda," jawabnya. "Kau sekarang aman."
Evelia hanya bisa terdiam, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi dan siapa sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya ini.
Setelah menenangkan Evelia, Yukio Ikaeda menawarkan bantuan. "Apakah kau bisa berjalan? Aku akan mengajakmu ke rumahku," ucap Yukio dengan suara lembut. "Di sana akan sangat aman, dan kau akan mendapatkan teman-teman baru."
Evelia mengangguk pelan, rasa lelah dan syok masih terasa.
Saat mereka mulai berjalan, Yukio menyadari ia lupa menanyakan satu hal penting. "Ngomong-ngomong, di mana orang tuamu?" tanyanya.
Evelia menunduk, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali... Araya dan Ninaya."
Mendengar nama Araya dan Ninaya, Yukio merasa nama itu tidak asing. Ia langsung teringat dua gadis kecil yang sering membantunya di kebun. Mereka bekerja dengan tekun, dan sebagai imbalannya, Yukio selalu memberi mereka upah. Hatinya terenyuh mendengar Evelia menyebut mereka, menyadari ikatan kuat yang terjalin antara ketiga anak itu.
Yukio tersenyum menenangkan. "Kau tidak perlu khawatir, kata Yukio. "Aku kenal mereka. Kau akan bertemu mereka lagi."
Evelia menatap Yukio dengan bingung, "Benarkah?"
Yukio mengangguk mantap, meyakinkan gadis itu bahwa takdir telah membawa mereka semua ke jalan yang sama. "Tentu saja," jawabnya. "Mereka aman bersamaku."
Kata-kata Yukio memberikan kelegaan luar biasa bagi Evelia, sebuah janji bahwa ia tidak akan sendirian lagi.
Mendengar nama Araya dan Ninaya, Yukio merasa nama itu tidak asing. Ia langsung teringat dua gadis kecil yang sering membantunya di kebun. Mereka bekerja dengan tekun, dan sebagai imbalannya, Yukio selalu memberi mereka upah. Hatinya terenyuh mendengar Evelia menyebut mereka, menyadari ikatan kuat yang terjalin antara ketiga anak itu. Ia tersenyum menenangkan.
"Kau tidak perlu khawatir," kata Yukio. "Aku kenal mereka. Kau akan bertemu mereka lagi."
Di rumah Yukio Ikaeda, suasana hangat terasa. Riana, gadis berkacamata, dan Nuita, yang lebih muda, sedang sibuk membersihkan rumah dan menyiapkan makanan. Mereka tampak akrab dan sesekali terdengar tawa.
"Kau tahu, Riana? Ibu bilang akan membawa anak-anak yang ia temui kemarin di alun-alun," kata Nuita, sambil mengelap meja kayu.
Riana mengangguk setuju. "Ya, aku mendengarnya. Pasti Araya dan Ninaya yang dimaksud. Aku sering melihat mereka bekerja di kebun kita. Mereka anak yang sangat rajin."
Nuita menambahkan, "Betul! Setiap kali Ibu menawarkan untuk menetap di sini, mereka selalu menolak."
Riana mengangguk, menunjukkan rasa kagumnya pada keteguhan hati Araya dan Ninaya.
...
...
...Mereka melanjutkan pekerjaan sambil mengenang kebaikan hati Yukio....
...Nuita berucap, "Ibu benar-benar baik, ya? Dia mau mengadopsi kita."...
...Riana tersenyum lembut. "Tentu saja," jawabnya. "Aku masih ingat saat desa kita diserang oleh iblis. Ibu datang dan mengalahkan mereka semua dalam sekejap mata." Kenangan itu membuat mata Riana berbinar. "Iblis-iblis itu adalah kiriman dari kerajaan, karena mereka tahu desa kita memberontak. Ibu bilang mereka tidak akan pernah bisa menginjakkan kaki di tanah ini lagi."...
Mereka berdua merasa sangat beruntung telah bertemu Yukio. Riana dan Nuita tidak hanya mendapatkan tempat tinggal yang aman, tetapi juga sebuah keluarga yang hangat. Mereka berdua melanjutkan kegiatan mereka, memikirkan bagaimana rasanya memiliki teman-teman baru. Di rumah yang tenang dan damai ini, jauh dari kekacauan dunia luar, mereka merasa aman dan terlindungi, siap menyambut anggota keluarga baru.
"Dasar Irago!" gerutu Nuita sambil mengibaskan debu dari kain lapnya. "Pasti dia kabur lagi, pura-pura ada urusan biar bisa menghindari pekerjaan rumah."
Riana terkekeh. "Biarkan saja. Dia juga butuh waktu untuk dirinya sendiri," ujarnya, meskipun ia juga tahu kebiasaan kakak angkatnya itu. "Ngomong-ngomong, kamu tahu tidak? Aku pernah mendengar Ibu bilang kalau Irago itu sangat mirip dengan ayah kandungnya. Begitu juga aku, aku sangat mirip dengan ayahku. Hanya saja, aku tidak punya ingatan tentangnya."
Nuita menghentikan pekerjaannya sejenak, menatap Riana dengan tatapan penuh simpati. "Aku juga begitu," katanya dengan suara pelan. "Tapi Ibu bilang tidak apa-apa, yang terpenting kita semua punya keluarga yang lengkap sekarang. Ingat saat Ibu menyelamatkan kita? Itu seperti keajaiban."
Riana mengangguk, mengingat kembali hari yang mengerikan itu. "Tentu saja! Aku tidak akan pernah melupakannya. Saat desa kita terbakar dan iblis-iblis itu datang, aku sudah pasrah. Tapi kemudian Ibu muncul dari kegelapan, bagai malaikat."
Mereka berdua terdiam, membiarkan kenangan pahit itu kembali, namun kali ini terasa lebih ringan.
"Ibu sangat kuat," bisik Nuita, suaranya penuh kekaguman. "Dia mengalahkan semua iblis itu sendirian, hanya dengan satu ayunan pedang."
Riana mengangguk, matanya menerawang jauh. "Dia bilang iblis-iblis itu dikirim dari kerajaan yang tiran. Tapi sekarang kita aman. Di sini, bersama Ibu, kita punya rumah yang sesungguhnya."
"Jika rumah ini jadi ramai, kita harus mengadakan pesta!" usul Riana dengan mata berbinar. "Aku yakin Ibu pasti akan sangat senang melihat kita semua berkumpul."
Nuita setuju, membayangkan meja dipenuhi makanan lezat dan tawa anak-anak yang memenuhi setiap sudut rumah. Ide itu membangkitkan semangat mereka, memberikan harapan baru bahwa rumah yang selama ini terasa sunyi akan segera dipenuhi kehangatan dan kebahagiaan.