Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untuk wanita lain
Hari ini adalah hari keberangkatan Nadiran ke Edinburgh. Naren dengan setia menemani istrinya ke bandara, tidak lupa membawa anak-anak mereka ikut serta.
Bahagianya sederhana, melihat wanita yang dia cintai tersenyum lebar karena apa yang diinginkan dia dapatkan.
Naren mengusap rambut blonde Nadira dan mengecup keningnya di tempat umum. "Hati-hati di negara orang, kalau ada apa-apa langsung telepon mas," ujarnya.
"Iya Mas. Makasih selalu memenuhi keinginan aku. Aku titip anak-anak ya."
"Ayo anak-anak salim sama ibu dulu," ujar Naren pada anak-anaknya.
Naresa sebagai anak sulung segera mengidahkan perintah sang ayah. Mengecup punggung tangan ibunya. "Hati-hati ibu."
"Dalian mau ikut ibu." Darian Aryastya, putra kedua Naren tampak cemberut.
"Darian sama ayah dulu ya, ibu nggak bisa ajak kalian." Nadira berlutut demi membujuk putra keduanya.
Drama kehangatan itu berakhir setelah Nadira meninggalkan Naren berserta anak-anaknya.
Naren membawa ketiga anaknya pulang ke rumah dan berusaha mengalihkan perhatian mereka dari sosok ibu yang sedang liburan.
"Ayah Dalian lapal," ujar Darian memeluk ayahnya dari belakang.
"Tunggu sebentar ya, ayah buatkan sesuatu untuk Darian."
Naren segera menutup laptopnya, menyudahi pencarian pekerjaan dan beralih membuat makan siang untuk anak-anaknya. Beruntung balita satu tahunnya sedang tertidur sehingga ia tidak terlalu kerepotan.
Dengan penuh kesabaran Naren menemani anak-anaknya makan. Selama Nadira di luat negeri dia memilih berada di rumah menemani anak-anak bermain.
...
Hari terus berjalan, tidak terasa kepulangan Nadira telah tiba. Naren tentu saja menjemput istrinya di bandara tanpa kehadiran anak-anak.
Namun, bukannya ekspresi senang Nadira malah memperlihatkan wajah cemberut melihat suaminya berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu datang bersama teman-temannya.
"Mas cuti?" tanya Nadira. "Aku kan bisa naik taksi pulangnya," lanjutnya. Bagaimana tidak, bulan lalu gaji Naren tidak penuh sebab banyak cuti.
"Mas hanya rindu padamu. Makanya masuk setengah hari." Naren tersenyum.
Ia meraih koper di tangan istrinya dan mengenggam tangan wanita itu menuju mobil.
"Enak ya punya suami, pulang liburan saja dijemput," celetuk teman Nadira.
"Iya dong, suami aku kan cinta banget. Takut istrinya diambil cowok lain." Nadira tertawa. "Kapan-kapan kita ketemu lagi." ia melambaikan tangannya sebelum masuk ke mobil.
Saat perjalanan pulang, Nadira membicarakan banyak hal pada Naren. Bahkan membelikan oleh-oleh untuk suami dan anak-anaknya. Naren bahagia Nadira tidak melupakan ia dan anak-anaknya saat berlibur. Tetapi kepalanya mulai pusing sebab pengeluaran bulan ini sangat banyak.
Jika tidak pintar-pintar mengelola keuangan maka uang tabungan mereka akan habis begitu saja. Padahal kebutuhan tetap berjalan ada atau tidaknya pemasukan.
"Aku cuma ninggalin mas tiga hari loh, kok mas kayak nggak ke urus gitu? Mas sakit selama aku pergi?"
"Nggak sayang."
"Syukurlah. Aku sudah nggak sabar sampai di rumah dan bertemu anak-anak. Mau peluk mereka sepuasnya."
"Kangennya sama anak-anak saja?"
"Ih kangen sama mas juga, nanti peluk ciumnya di kamar."
Naren tertawa kecil. Senyuman di wajah Nadira tidak ingin Naren hilangkan hanya karena masalahnya.
Sesampainya di rumah Naren membantu Nadira menurunkan beberapa koper yang isinya sudah pasti belanjaan.
"Di dalam ada ibu yang menjaga anak-anak."
"Pantas saja nggak ikut sama mas."
"Mas masih banyak pekerjaan di kantor dan sepertinya akan lembur jadi nggak usah ditunggu pulangnya."
"Iya, hati-hati mas." Nadira melambaikan tangannya.
Naren pun melakukan hal yang sama sebelum melajukan mobil meninggalkan rumah mereka. Ia juga ingin melepas rindu dan melihat kebahagian anak-anaknya. Namun, ia mendapatkan jadwal interview sore ini.
Berharap interview nya kali ini tidak berujung penolakan seperti yang sudah-sudah.
Namun, harapannya tidak sebesar itu mendapatkan pekerjaan di bidang yang sama setelah namanya buruk di perusahaan Alexander Group. Perusahaan yang mempunyai jaringan luas di kota tersebut.
"Loh Naren?"
Naren yang baru saja keluar dari ruangan interview tersenyum pada seseorang yang baru saja menyebut namanya.
"Lagi interview?"
"Iya nih."
"Loh bukannya kamu kerja di Alexander Group? Mana posisisnya lumayan lagi."
"Iya, tapi ada sesuatu yang membuatku berhenti."
"Sayang sekali. Semoga diterima ya di perusahaan ini. Aku ke sana sebentar." Teman sekolah Naren akhirnya berlalu.
"Aamiin," gumam Naren dan meninggalkan perusahaan.
Sembari menunggu panggilan lainnya, Naren menyalakan aplikasi online untuk mencari orderan hingga tengah malam.
Sebenarnya cepat atau lambat Nadira akan tahu bahwa dia dipecat sebab penghasilan sebagai sopir online tidak akan sebanyak jaginya menjadi manajer keuangan.
Hingga malampun menjelang Naren tidak kunjung mendapatkan orderan dan ia merasakan tubuhnya pegal-pegal. Mungkin karena tidak terbiasa bekerja terlalu keras.
"Alhamdulillah!" Naren berseru ketika ia mendapatkan satu orderan. Tanpa menunggu lama ia menuju ke alamat sesuai maps.
"Sesuai titik ya mas," ujar sang penumpang langsung masuk ke mobil dan memejamkan matanya.
"Dek?"
"Hm."
"Kalau naik transportasi online apalagi malam-malam perhatikan dulu sekitar," ujar Naren.
"Kenapa memangnya?" Wanita itu membuka matanya.
"Sekarang rawang kejahatan dek."
"Makasih mas sudah diingatkan." Wanita itu segera berlutut dan memeriksa jok belakang juga bagasi semuanya aman tidak ada yang mencurigakan.
"Mas boleh foto wajahnya nggak? Mau saya kirim ke ayah saya, siapa tahu masnya salah satu penjahat," ujar wanita itu. Langsung mengarahkan kamera dan mengambil angel kiri.
"Kalau mas macem-macem ayah saya akan menemukan mas meski bersembunyi di ujung duniapun."
Naren mengulum senyum melihat reaksi berlebihan penumpang pertamanya.
"Begitu kan Mas?"
"Iya dek," jawab Naren.
Setelah pembicaraan itu, tidak ada lagi suara yang terdengar sebab penumpang wanita tidur di jok belakang tanpa khawatir sedikitpun, padahal bisa saja memang yang bersamanya adalah orang jahat.
Naren pulang ke rumah saat jarum jam menunjukkan angka 12 malam. Ia mengira semua orang sudah tidur, ternyata ada satu wanita yang masih terjaga dan menunggu dirinya pulang.
"Mas yakin pulang selarut ini karena lembur?" tanya Nadira.
"Iya Sayang."
"Mas sekarang sudah mulai bohong ya sama aku. Apa memang sudah dari dulu?" Nadira menatap Naren dengan mata memerah.
"Jawab aku mas!" bentaknya.
"Jawaban apa yang harus mas berikan Nadira? Sementara mas nggak tahu kebohongan apa yang kamu tuduhkan," jawab Naren dengan suara rendah.
Jantung pria itu berpacu sangat hebat ketika istrinya melemparkan wajahnya kertas yang telah kusut.
"Mas di pecat karena korupsi dan itu sebelum aku liburan. Kenapa sih mas harus bohong sama aku?" Nada suara Nadira masih saja tinggi.
"Ngapain sih mas harus korupsi? Kalaupun korupsi banyakin saja sekalian biar kita kaya!"
"Nadira mas nggak korupsi. Kamu pernah dapat uang melebihi gaji dan bonus mas di perusahaan?"
"Mungkin saja untuk wanita lain."
.
.
.
.
.
.
Tarik napas kita lanjut besok
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren