JURUS TERAKHIR TUANKU/ TUANGKU
Ribuan tahun lamanya, daratan Xianwu mengenal satu hukum: kekuasaan dipegang oleh pemilik teknik bela diri pamungkas.
Tuanku —seorang pewaris klan kuno yang tersisa—telah hidup dalam bayang-bayang kehancuran. Ia tidak memiliki bakat kultivasi, tubuhnya lemah, dan nyaris menjadi sampah di mata dunia persilatan.
Namun, saat desakan musuh mencapai puncaknya, sebuah gulungan usang terbuka di hadapannya. Gulungan itu hanya berisi satu teknik, satu gerakan mematikan yang diwariskan dari para pendahulu: "Jurus Terakhir Tuanku".
Jurus ini bukan tentang kekuatan, melainkan tentang pengorbanan, rahasia alam semesta, dan harga yang harus dibayar untuk menjadi yang terkuat.
Mampukah Tuanku, dengan satu jurus misterius itu, mengubah takdirnya, membalaskan dendam klannya, dan berdiri sebagai Tuanku yang baru di bawah langit Xianwu?
Ikuti kisah tentang warisan terlarang, kehormatan yang direbut kembali, dan satu jurus yang mampu menghancurkan seluruh dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Lanjutan
BAB 1: DEBU KLAN KUNO DAN KUTUKAN JURUS PAMUNGKAS (Lanjutan)
Jendral Zhuo dan kedua kultivator di sampingnya terdiam, menyaksikan Pangeran Sultan Sati mengangkat batu giok itu tinggi-tinggi. Lembah Siluman, yang biasanya hening, kini mencekam di bawah ketegangan yang mematikan.
"Keputusan yang bodoh," desis Jendral Zhuo, tetapi matanya memancarkan rasa puas yang tak terbantahkan. Bagi mereka, kematian Pangeran Sultan Sati dengan cara ini adalah sebuah tontonan yang sempurna, penutup bagi sejarah Klan Pangeran Sultan Sati.
Pangeran Sultan Sati mengabaikan mereka. Matanya tertuju pada batu giok putih yang dingin itu. Ia bisa merasakan energi purba berdenyut di dalamnya, energi yang bukan Qi, bukan spiritual, melainkan esensi murni dari kehancuran yang tak terhindarkan. Batu giok itu bergetar pelan di tangannya, seolah menyambut pengorbanan terakhir.
Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan memikirkan Lin Kai, yang tubuhnya tergeletak hanya beberapa meter darinya. Ia memikirkan ayahnya, ibunya, dan klan yang ia bahkan tidak sempat mengenalnya. Tujuh tahun hidup dalam ketakutan dan penghinaan telah berakhir.
Jika ini adalah satu-satunya cara untuk membunuh kalian, biarlah.
Pangeran Sultan Sati menempelkan batu giok putih itu ke dahinya.
Seketika, rasa sakit yang tidak wajar menyambar tubuhnya. Bukan sakit fisik dari luka, melainkan sakit batin dari hantaman jutaan kenangan yang terkubur. Ia mendengar jeritan leluhur, merasakan pedihnya penghancuran benteng, dan melihat bayangan masa lalu yang kelam.
Itu adalah Kutukan Jiwa.
Batu giok itu menyerap jiwanya dan, sebagai gantinya, melepaskan gelombang energi murni yang terkompresi langsung ke dalam tubuhnya, melewati Dan dan Akar Spiritual yang tidak ia miliki. Energi itu adalah Jurus Terakhir Tuanku.
Tubuh kurusnya yang lemah mulai membesar. Otot-ototnya mengencang dengan kekuatan yang baru, rambut hitamnya berkibar meski tidak ada angin, dan sepasang mata cokelatnya berubah menjadi emas murni yang memancarkan cahaya ganas.
Udara di sekeliling Pangeran Sultan Sati mulai mendidih. Sebuah aura yang begitu kuat dan mendominasi meledak keluar dari tubuhnya, menghancurkan sisa-sisa reruntuhan Pilar Kemuliaan menjadi butiran debu.
Para kultivator Klan Naga Hitam terhuyung mundur. Jendral Zhuo, yang sombong sesaat lalu, kini memasang ekspresi terkejut.
"Energi ini... mustahil!" teriak Jendral Zhuo, suaranya sedikit pecah. "Ini melebihi... tingkat Raja Kultivasi! Dia bahkan bukan kultivator!"
Pangeran Sultan Sati membuka matanya yang keemasan. Pandangannya kosong, dipenuhi energi yang terlalu besar untuk ditampung oleh jiwa manusia. Ia bergerak. Bukan berjalan, melainkan melayang perlahan, kakinya tidak menyentuh tanah. Batu giok itu telah jatuh ke tanah, cahayanya meredup, misinya selesai.
"Tiga menit," suara Pangeran Sultan Sati terdengar serak, tetapi mengandung resonansi yang menghancurkan. Suaranya bukan lagi suara seorang pemuda, melainkan suara ribuan arwah yang menuntut balas dendam.
"Kalian membunuh Lin Tua."
Hanya tiga kata, tetapi getaran yang dihasilkannya membuat dua kultivator di samping Jendral Zhuo mengeluarkan darah dari telinga mereka. Mereka segera menyadari, mereka tidak berhadapan dengan sampah tanpa akar spiritual, tetapi dengan manifestasi amarah klan kuno.
"Serang! Hentikan dia! Cepat!" raung Jendral Zhuo, mencoba menutupi kepanikannya. Ia mengangkat kedua tangannya, memanggil energi gelapnya, dan sepasang cakar hitam raksasa muncul, siap untuk mencabik Pangeran Sultan Sati.
"Cakar Pembakar Jiwa!" teriak Jendral Zhuo.
Pangeran Sultan Sati tidak menggunakan teknik pernapasan, tidak ada formasi tangan, bahkan tidak ada ancang-ancang. Ia hanya mengangkat tangannya yang kini dipenuhi cahaya keemasan.
"Jurus Terakhir Tuanku: Satu Pukulan Pengembalian Debu."
Energi emas murni itu terkumpul di telapak tangannya, membentuk sebuah bola cahaya kecil yang terlihat tidak berbahaya. Namun, ketika Pangeran Sultan Sati mendorong tangannya ke depan, bola cahaya itu tidak meledak; ia hanya melewatinya.
Kontak itu hanya sepersekian detik. Cakar Pembakar Jiwa milik Jendral Zhuo yang besar dan mengancam seketika menghilang menjadi uap hitam. Dua kultivator di sampingnya, yang mencoba menyerang dari sisi, bahkan tidak sempat mendekat.
Pukulan itu tidak menghancurkan, tidak membakar. Pukulan itu membalikkan waktu.
Ketika energi emas itu menghantam mereka, tiga kultivator Klan Naga Hitam itu seketika menjadi muda, kemudian menjadi bayi, dan akhirnya menghilang. Mereka tidak mati, mereka tidak terluka—mereka dikembalikan ke keadaan sebelum mereka lahir, menjadi debu kosmis yang tak berarti.
Jendral Zhuo adalah yang terakhir. Sebelum ia bisa menjerit atau memohon ampun, ia merasakan tubuhnya berbalik, kesombongannya lenyap, dan ia kembali menjadi ketiadaan dalam sekejap mata.
Lembah Siluman kembali hening.
Pangeran Sultan Sati berdiri, tubuhnya memancarkan cahaya keemasan yang mulai bergetar hebat. Waktu yang ia miliki telah habis.
Ia menatap tempat Lin Kai terbaring. Dengan sisa kesadaran terakhirnya, ia berjalan mendekat. Darah Lin Kai masih hangat.
"Lin Tua..." bisiknya, suara emasnya meredup.
Tubuhnya mulai retak. Retakan itu muncul dari ujung jari kaki dan menyebar dengan cepat ke seluruh tubuhnya, seperti kaca yang pecah. Energi yang tidak tertahankan itu, Jurus Terakhir Tuanku, menuntut bayarannya.
Pangeran Sultan Sati tahu, sebentar lagi ia akan meledak, menjadi ketiadaan, seperti yang diramalkan Jendral Zhuo.
Namun, saat retakan mencapai jantungnya, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Batu giok putih yang tergeletak di tanah tiba-tiba memancarkan kilau terakhir.
Kilauan itu tidak emas, melainkan biru es.
Batu giok itu terbang dan menancap di dada Pangeran Sultan Sati, tepat di atas jantungnya.
Bukannya meledak, energi emas yang meretakkan tubuhnya tiba-tiba terisap masuk. Rasa sakitnya lenyap, tetapi kekuatannya juga ikut lenyap. Pangeran Sultan Sati ambruk berlutut, kelelahan total.
Ia melihat ke bawah. Batu giok itu telah menembus kulitnya, tertanam di dada kirinya, dan cahayanya telah padam. Itu kini hanyalah sebuah batu giok pucat yang tertanam di tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya dingin, tetapi anehnya, ia tidak mati.
Pangeran Sultan Sati jatuh ke samping, berbaring di samping Lin Kai. Ia seharusnya meledak. Mengapa ia selamat?
Ia merasakan Qi, pertama kali dalam hidupnya. Namun, itu bukan Qi-nya. Itu adalah Qi yang dingin, Qi yang sedih, Qi yang bukan miliknya. Batu giok itu telah memberinya kekuatan, membunuhnya, tetapi juga menyelamatkannya dari kehancuran total.
Aku adalah naga yang lahir tanpa sayap, pikirnya. Kini, aku adalah mayat yang menolak mati.
Ia menutup matanya, merasakan luka yang dalam di jiwanya karena kehilangan Lin Kai, tetapi ia tetap bernapas. Di Dadanya, batu giok putih itu berdenyut perlahan, sebuah pengingat akan kutukan dan kekuatan yang baru ia dapatkan. Jurus Terakhir Tuanku telah mengubah segalanya.
— AKHIR BAB 1 —