Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Kehancuran yang Abadi
Langit bukan lagi biru. Sejak ratusan tahun lalu, atmosfer bumi berubah menjadi abu-abu kusam, terkontaminasi oleh sisa-sisa peradaban yang terus berulang kali runtuh dan dibangun kembali. Matahari jarang terlihat, tersembunyi di balik awan tebal polutan yang menggantung di angkasa seperti kain kafan raksasa yang menutupi planet yang sekarat.
Bumi, yang pernah menjadi rumah bagi miliaran makhluk hidup, kini hanyalah bayangan kelam dari kejayaannya yang lalu. Lahan hijau telah lama lenyap, digantikan oleh beton retak dan reruntuhan kota yang mati. Hanya sedikit yang tersisa, bertahan hidup di antara puing-puing peradaban yang tak henti-hentinya dihancurkan oleh tangan manusia sendiri.
Di tahun 3200, kehidupan bukan hanya sulit—ia nyaris mustahil. Hanya mereka yang kuat, cerdik, atau cukup beruntung yang bisa bertahan. Bagi yang lain, keberadaan hanyalah bentuk lain dari siksaan.
Pemerintahan yang Korup dan Kehancuran yang Berulang
Sejarah dunia adalah siklus yang berulang. Setiap kali peradaban mencapai puncaknya, ia jatuh. Bukan karena bencana alam, bukan pula karena perang besar, tetapi karena kerakusan manusia yang tak pernah berubah. Pemerintah berganti berkali-kali, namun korupsi tetap menjadi akar dari segala penderitaan.
Para elit yang menguasai dunia tinggal di kota-kota terapung di langit, di atas awan beracun yang membunuh siapa pun yang menghirupnya terlalu lama. Mereka adalah dewa-dewa palsu yang bersembunyi di balik perisai udara bersih.
Mereka menikmati kemewahan yang tak terbatas, udara bersih yang disaring dengan teknologi mutakhir, dan teknologi canggih yang seharusnya digunakan untuk menyelamatkan dunia—tetapi justru digunakan untuk memperkuat kekuasaan mereka.
Di bawah mereka, di permukaan bumi yang retak dan terbakar, rakyat jelata hidup dalam penderitaan. Mereka bekerja tanpa henti, menggali reruntuhan demi menemukan barang-barang sisa peradaban lama yang bisa dijual. Mata uang bukan lagi kertas atau emas, melainkan air bersih dan makanan sintetis yang hanya bisa dibeli dengan harga yang semakin melambung tinggi. Kehidupan adalah barter konstan dengan kematian.
Hukum adalah ilusi. Keamanan dijual kepada mereka yang bisa membayarnya, dan bagi mereka yang miskin, hidup adalah pertarungan tanpa akhir melawan kelaparan, penyakit, dan kekejaman manusia lainnya. Setiap sudut jalan adalah medan pertempuran, setiap hari adalah perjuangan untuk tetap hidup.
Sisa-Sisa Teknologi dan Ilusi Kemajuan
Meskipun dunia telah runtuh berkali-kali, teknologi tetap ada, namun hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ada mobil-mobil yang bisa melayang, tetapi hanya bisa dikendarai oleh mereka yang tinggal di langit. Ada robot pelayan, tetapi mereka tidak melayani manusia, melainkan para korporasi yang memperbudak dunia. Mereka adalah lambang ilusi kemajuan di tengah kehancuran.
Di tanah yang hancur, manusia yang tersisa hanya bisa menggunakan potongan-potongan teknologi lama yang mereka temukan di reruntuhan. Beberapa berhasil merakit senjata dari komponen usang, yang lain membuat alat penyuling air dari puing-puing pabrik yang sudah mati. Namun, tidak peduli seberapa keras mereka berusaha, mereka tetap berada di dasar rantai makanan dunia yang sudah bobrok.
Ilmuwan-ilmuwan terbaik dunia bekerja bukan untuk menyelamatkan bumi, melainkan untuk membantu para elit memperpanjang usia mereka, memperkuat kekuasaan mereka, dan memastikan bahwa rakyat jelata tidak pernah bisa memberontak. Pengetahuan dan inovasi telah dibajak untuk melayani keserakahan, bukan untuk kebaikan bersama.
Manusia yang Bertahan dan Harapan yang Hampir Punah
Di tengah kehancuran, masih ada mereka yang bermimpi. Segelintir kecil manusia masih percaya bahwa dunia bisa diperbaiki, bahwa mungkin ada tempat di mana kehidupan bisa dimulai kembali. Mereka adalah para penjelajah, para pemberontak, dan para pemimpi yang terus mencari jalan keluar dari neraka ini.
Beberapa dari mereka percaya pada legenda tentang "Tanah Baru"—sebuah tempat tersembunyi yang konon masih memiliki air bersih, tanah yang subur, dan langit yang masih bisa melihat matahari. Tidak ada yang tahu apakah tempat itu benar-benar ada, atau hanya dongeng untuk membuat orang-orang tetap berharap.
Namun, di dunia yang sudah mati ini, bahkan harapan sekecil apa pun bisa menjadi alasan untuk terus hidup.
Di langit yang dipenuhi debu dan reruntuhan, seorang anak kecil menatap bintang-bintang yang nyaris tak terlihat. Ia belum tahu bagaimana dunia ini bekerja, belum tahu tentang korupsi, kehancuran, dan keputusasaan. Ia hanya tahu bahwa ia ingin melihat matahari suatu hari nanti.
Dan mungkin, hanya mungkin, harapan kecil itu cukup untuk mengubah segalanya.