Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 2.
Hening sejenak. Suara desir angin malam menyusup masuk, menyelinap dari celah kayu jendela tua, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Menggoyangkan tirai tipis seperti bisikan rahasia malam.
“Tuan Menir...” ucap lirih Kodasih
“Hmmm..” Gumam suara berat nan lirih, nyaris tak terdengar, seperti takut memecah keheningan malam yang rapuh.
Kodasih membuka matanya perlahan, dan dalam cahaya lampu minyak yang redup, ia melihat wajah tuannya, Tuan Hendrik Van Der Vliet alias Tuan Menir.
Tatapan mata yang dingin namun menyimpan gejolak yang tak bisa ditebak. Wajah lelaki Belanda itu tampak lelah, namun matanya memancarkan sesuatu yang lain, entah rindu, entah luka yang tak pernah sembuh.
“Tuan baru datang?” tanya Kodasih pelan, seraya mencoba bangkit, menyandarkan tubuh pada bantal besar di belakangnya.
Tuan Menir tetap diam, lalu duduk di tepi tempat tidur. Dia masih mengenakan jas warna putih yang sedikit kusut. Tangannya mengusap rambut Kodasih dengan lembut, seperti ingin meyakinkan dirinya bahwa perempuan itu sungguh bisa dipegangnya.
Kodasih merasakan telapak tangan Tuan Menir yang sungguh dingin. Dia menoleh menatap wajah Tuan Menir yang terlihat sangat pucat, bibir nya membiru dan jas putihnya ada banyak noda tanah basah.
“Tuan kedinginan? Tuan kehujanan?” tanya Kodasih masih terus menatap wajah Tuan Menir yang pucat pasi.
Tuan Menir hanya mengangguk pelan dan tidak mengucapkan kata kata.. pandangan matanya sangat tajam ke arah Kodasih..
“Apa Tuan mau wedang jahe atau bajigur, untuk menghangatkan tubuh Tuan?”
Tuan Menir hanya menggeleng gelengkan kepala nya. Tangan Tuan Menir membuka kancing jas putihnya yang kusut.
Kodasih tersenyum tipis , dia tertunduk malu, karena tahu apa yang akan dilakukan oleh Tuan Menir nya. Dan apa yang harus dia lakukan.
Tuan Menir tetap diam.
Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang pucat, hanya napasnya yang terdengar makin berat, seperti tertahan di dada. Matanya tak beranjak dari wajah Kodasih, menelusuri tiap lekuk ekspresi perempuan itu yang kini gelisah dalam diam.
Jas putih kusut Tuan Menir telah terlepas dan jatuh begitu saja di atas lantai kamar yang remang remang.
Kodasih yang masih terbaring di atas tempat tidur, menarik selimutnya hingga leher.
Sorot mata Tuan Menir telah memerintahkan nya. Bukan dengan suara, bukan pula dengan isyarat tangan, tapi dengan tatapan yang terlalu dalam untuk bisa dijelaskan.
Dada Kodasih di balik selimut mulai naik turun. Kedua tangannya memegang erat ujung selimut.
Kodasih menatap Tuan Menir yang kini duduk setengah bersandar. Di sinar lampu redup, wajah tuannya tampak asing namun akrab , ada luka di sana, ada rindu yang tak diberi nama.
Tuan Menir mengangkat tangannya perlahan, menyentuh dagu Kodasih, diangkat sedikit dengan lembut. Lalu Tuan Menir mendekatkan wajahnya..
“Tuan, tubuh Tuan sangat dingin. Apa Tuan sakit?” ucap lirih Kodasih yang merasakan tangan, wajah juga hembusan nafas Tuan Menir teramat sangat dingin.
Tuan Menir hanya menggeleng geleng kepala, lalu dicium bibir Kodasih lembut namun penuh gairah..
“Kenapa Tuan sangat dingin sekali..” gumam Kodasih di dalam hati saat merasakan bibir dan juga lidah Tuan Menir sedingin es batu..
Kodasih terdiam. Matanya memejam saat ciuman itu mendarat di mulut nya, lambat, seolah waktu berhenti di antara desir angin malam dan gemetar lampu-lampu minyak yang tergantung di teras rumah tuan besar itu. Tapi dinginnya.. ya, dinginnya seperti mengalir dari jiwa Tuan Menir sendiri. Bukan hanya dingin tubuh, tapi seperti kehampaan yang mencengkeram.
Ketika ciuman itu usai, Tuan Menir tetap diam. Ia hanya menatapnya, mata kelabu kehijauan yang seolah bukan milik dunia ini. Tatapannya dalam, namun terasa begitu jauh… terlalu jauh.
Kodasih menelan ludah, tangannya bergerak refleks menyentuh dada Tuan Menir, mencari denyut yang meyakinkan. Tapi tidak ada. Hanya napas dingin yang mengembus dari tubuhnya.
“Tuan… apakah ini nyata?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Tuan Menir masih tak menjawab. Ia hanya menyentuh pipi Kodasih, jemari panjang dan pucat membelai seperti kabut menyentuh pagi.
Perlahan, ia meraih ujung selimut yang masih tergenggam di tangan Kodasih. Tanpa sepatah kata, ia masuk ke dalam selimut tebal yang cukup untuk menyelubungi dua tubuh insan yang berbeda itu, beda kasta, beda benua, dan dari entah beda berapa batas lainnya.
Mereka menyatu dalam keheningan. Tak ada kata, hanya desah napas… yang dingin.
🌸🌸🌸
Keesokan pagi nya, setelah subuh, dua pemuda pribumi berlari lari kecil menyusuri jalan berlumpur. Rumput rumput dan pohon pohon kopi masih basah oleh sisa hujan semalam. Embun menggantung di ujung daun, dan kabut tipis menggeliat di antara batang-batang kayu.
“Kang, apa berita itu sudah pasti?” tanya pemuda yang lebih kecil. Tubuhnya pendek, wajahnya masih sangat muda. Usianya kira-kira baru empat belas tahun.
“Sudah pasti, Jo. Aku dengar langsung dari Pak Wiro, pemimpin pasukan rakyat,” jawab Kang Pono, pemuda yang lebih dewasa. Tubuhnya tinggi dan tegap. Tatapannya tajam, tapi ada gelisah yang tak bisa ia sembunyikan.
“Aku harus segera memberi tahu Kodasih. Meskipun dia punya radio transistor, tapi belum ada siaran resmi di radio tentang ini.” Ucap Kang Pono lagi.
Arjo menarik napas, lalu dengan nada bercanda berkata, “Apa Kang Pono masih mencintai Nyi Kodasih? Sudahlah, Kang, cari perempuan lain saja. Masih banyak yang gres, Kang...”
Kang Pono tersenyum getir. “Kamu masih kecil, Arjo. Belum tahu tentang perasaan hati.”
Langkah mereka makin cepat. Tujuan mereka jelas: Loji Besar di ujung perkebunan. Rumah megah milik Tuan Menir yang selama ini menjadi simbol kekuasaan dan ketakutan.
Kini loji itu senyap.
Kabar itu sudah berembus ke desa-desa: Tuan Menir, si pemilik tanah sekaligus perwakilan pemerintahan kolonial, tewas dihukum mati oleh orang orang pribumi di kota Semarang.
Sesaat kemudian, mereka sudah berdiri di halaman loji yang luas. Tanahnya masih basah dan licin. Jantung kedua pemuda itu berdegup kencang, seolah menggetarkan udara pagi yang dingin.
“Kang, kalau berita yang kamu bawa itu salah… nyawamu bisa jadi taruhan,” bisik Arjo pelan, nyaris tak terdengar.
Kang Pono menyentuh dadanya. Detak jantungnya liar. “Aku tahu, Jo. Tapi ini... ini sepertinya benar.”
Pintu loji megah itu tiba-tiba terbuka. Muncul sosok Mbok Piyah, pembantu tua yang sudah puluhan tahun mengabdi di rumah itu. Tangannya membawa ember berisi air dan sebuah sapu pel.
Mata Mbok Piyah melebar. Ia berhenti, menatap dua pemuda itu dengan curiga dan heran.
“Pono? Arjo? Kalian pagi-pagi begini sudah ke sini? Mau minta sumbangan? Apa ada penduduk yang mau mati kelaparan?”
Kang Pono mendekat beberapa langkah. Napasnya masih terengah. “Mbok... kami bawa kabar penting. Di mana Nyi Kodasih?”
Mbok Piyah memicingkan mata. “Nyi Kodasih belum bangun. Kabar penting apa? Perasaan ku kok tidak enak.”
Kang Pono mengangguk pelan. “Firasat itu benar, Mbok... Tuan Menir... dia sudah mati.”
Mbok Piyah menjatuhkan sapu dan embernya. Air tumpah membasahi lantai teras. Wajahnya pucat seketika.
Akan tetapi tiba tiba mereka bertiga dikagetkan oleh suara keras dari dalam loji itu....
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk