Arumi Bahira, seorang single mom dengan segala kesederhanaannya, semenjak berpisah dengan suaminya, dia harus bekerja banting tulang untuk membiayai hidup putrinya. Arumi memiliki butik, dan sering mendapatkan pesanan dari para pelanggannya.
Kedatangannya ke rumah keluarga Danendra, membuat dirinya di pertemukan dengan sosok anak kecil, yang meminta dirinya untuk menjadi ibunya.
"Aunty cangat cantik, mau nda jadi mama Lion? Papa Lion duda lho" ujar Rion menggemaskan.
"Eh"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Sepanjang perjalanan menuju ke rumahnya Reza, terus membayangkan wajah Bella. Jika benar Arumi selingkuh, lantas kenapa wajah putrinya itu sangat mirip dengannya? Sebuah pertanyaan terus berputar-putar di benak Reza.
Kening Reza berkerut dalam, matanya yang sembab menatap jalanan dengan pikiran yang melayang jauh ke masa lalu. Bayang Bella, putri kecilnya, menghiasi pikirannya, membuatnya semakin terpuruk dalam kebimbangan.
Arumi, mantan istrinya, memiliki rahasia yang menyiksa hati Reza, dan wajah Bella yang begitu mirip dengannya menambah beban pikiran.
Saat itulah, suara bising motor yang mendadak menderu dari belakang memecah lamunannya. Dengan refleks, Reza menoleh ke kaca spion, hanya untuk melihat lampu motor yang menyilaukan menerobos dengan kecepatan tinggi. Instingnya mendorongnya untuk menghindari tabrakan, namun dalam kepanikan, tangannya yang gemetar membanting setir ke kiri dengan kasar.
"AWAS..." teriak Erika, dengan suara penuh kepanikan dari sisi penumpang.
Suaranya terdengar seperti belati yang menikam telinga Reza, menambah tekanan pada detik-detik yang sudah tegang.
Dengan suara keras yang memekakkan telinga, mobil mereka menabrak pohon besar di pinggir jalan. Kaca depan berderai, dan suara logam yang penyok menyatu dengan jeritan karet ban yang mencoba menemukan pijakan di aspal licin.
Reza dan Erika terdorong ke depan oleh kekuatan benturan, tetapi sabuk pengaman menahan mereka dengan kuat.
Dalam keheningan yang tiba-tiba, hanya suara nafas terengah-engah yang terdengar di antara deru nadi yang terpacu adrenalin. Reza memandang Erika, matanya mencerminkan rasa syukur karena masih bisa saling menatap dalam keadaan hidup, meskipun di tengah reruntuhan.
Erika masih dengan napas yang terengah-engah, merasa marah. Dia memandang tajam ke arah Reza yang duduk di kursi pengemudi. Suasana dalam mobil menjadi tegang, hanya suara deru mesin yang terdengar.
"Kamu ini, bagaimana sih? Harusnya kamu lebih hati-hati, kita bisa saja celaka karena kelalaianmu!" lanjut Erika, suaranya meninggi, jantungnya masih berdebar kencang.
Reza hanya bisa menghela napas, merasa bersalah atas kejadian yang hampir menimbulkan kecelakaan itu.
"Maaf sayang. Aku tadi benar-benar tak sengaja. Aku memang seharusnya lebih berhati-hati" ucapnya, suaranya lembut, berusaha menenangkan istrinya.
Erika menggigit bibir, mencoba meredakan emosinya. "Ini bukan hanya tentang mengemudi, tapi tentang keselamatan kita, mas. Aku tidak mau jika sesuatu yang buruk terjadi hanya karena kamu tidak mau bilang jika kamu lelah atau mengantuk," katanya, matanya berkaca-kaca, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
Reza mengangguk, memahami kekhawatiran istrinya. "Aku janji, lain kali aku akan lebih jujur tentang kondisiku. Aku tidak ingin mengecewakanmu lagi, apalagi membahayakan kita." Reza meraih tangan Erika, mencoba memberi kepastian dan kenyamanan.
Erika melihat ke dalam mata Reza, mencari tanda ketulusan. Dia menghembuskan napas lega, mencoba melepaskan ketegangan. "Baiklah, aku percaya padamu. Tapi tolong, jangan ulangi lagi," ucapnya, suara gemetar.
Reza mengangguk dengan serius, "Tidak akan, aku berjanji." Mereka berdua kemudian melanjutkan perjalanan, kali ini dengan hati yang sedikit lebih ringan, tapi dengan pengertian yang lebih dalam tentang pentingnya kejujuran dan kehati-hatian dalam setiap langkah mereka.
Langit berubah mendung tebal menggantung di atas kota. Erika melirik ke arah Reza, yang tampaknya sangat tenang meski mobil mereka baru saja mengalami kerusakan. Rasa frustrasi tergambar jelas di wajah Erika, namun Reza hanya mengusap pelipisnya seolah mencoba mengusir kepenatan.
“Ayo kita lanjut naik taksi, mobil ini biar nanti orang bengkel yang mengurusnya” ucap Reza, suaranya terdengar tegas namun berusaha menenangkan.
Dia melepas seatbelt yang melilit tubuhnya dan membuka pintu mobil. Angin dingin langsung menyambutnya, membuatnya merapatkan jaketnya. Erika mengangguk perlahan. Dengan gerakan yang agak tergesa-gesa, ia juga melepas seatbeltnya dan keluar dari mobil. Meski hatinya diliputi kekhawatiran, ia berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya.
Reza melambaikan tangannya di tepi jalan, dan tak lama sebuah taksi kuning meluncur mendekat. Dia membuka pintu belakang dan mengangsurkan tangan untuk membantu Renata masuk terlebih dahulu. Setelah itu, ia menyusul masuk dan menutup pintu dengan hati-hati.
“Ke jalan Xx pak,” ucap Reza kepada sopir taksi setelah memastikan pintu tertutup rapat. Sopir itu mengangguk singkat dan segera memasukkan alamat ke dalam GPS sebelum melajukan mobilnya.
Perjalanan itu terasa berat bagi Erika, tapi Reza terus berusaha mengalihkan perhatiannya dengan cerita-cerita ringan dan beberapa candaan untuk mengurangi ketegangan. Sementara itu, di luar, jalanan mulai dipenuhi rintik hujan yang perlahan menguat, menambah dramatis suasana sore mereka yang tak terduga.
******
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya di ruang makan keluarga Reza. Cahaya lampu yang hangat menyinari setiap sudut ruangan, menciptakan bayangan yang lembut pada wajah setiap anggota keluarga yang berkumpul.
Namun, suasana hangat tersebut seketika menegang saat Anggun, memulai percakapan yang tidak terduga.
Dengan suara yang mencoba terdengar santai, Anggun menatap Erika, menantunya, "Kamu sudah isi belum Er? Ini sudah hampir tiga tahun lho kalian menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga," tanyanya, seolah-olah itu pertanyaan biasa.
Erika yang sedang menikmati makan malamnya, tersedak sejenak. Dengan wajah yang mulai memerah, ia mencoba menjawab sekenanya, "Belum," suaranya tersekat, sambil terus mengunyah makanannya yang tiba-tiba terasa hambar.
Anggun, yang tidak menyadari dampak kata-katanya, melanjutkan, "Jangan-jangan kamu mandul, dulu Arumi tidak sampai satu tahun sudah hamil, tapi kamu sampai sekarang belum hamil juga" ucapnya, mencoba membandingkan Erika dengan mantan pacar Reza.
Wajah Erika semakin memerah, ia merasakan tekanan di dadanya. Reza, yang duduk di sampingnya, merasakan ketegangan itu. Ia menatap ibunya dengan tatapan yang tajam, "Ma, tolong jangan membicarakan hal itu di meja makan," ujarnya, mencoba meredam situasi. Namun, kata-kata Anggun sudah seperti pisau yang menghujam perasaan Erika.
Dengan suara yang gemetar, Erika berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, "Mama yakin Arumi hamil dengan Reza? Bukankah waktu itu mama bilang Arumi hamil karena selingkuhannya" tanya Erika sinis.
Reza menatap ibunya menunggu jawaban darinya.
Anggun menjadi gugup, ia merasa terjebak dengan ucapannya sendiri. Jika dulu Arumi akan diam saja ketika dirinya menindasnya, tapi tidak dengan Erika. Dia berani melawan melawan ibu mertuanya itu.
"Maafkan Mama, Er, mama tidak bermaksud membanding-bandingkan mu dengan Arumi" katanya lembut, berusaha memperbaiki keadaan.
Namun, suasana sudah terasa berbeda. Makan malam yang seharusnya menjadi momen kekeluargaan kini menjadi arena pertempuran emosi yang tak terlihat.
Anggun merutuki dirinya karena hampir keceplosan di hadapan putranya.
"Menantu sial*lan, hampir saja Reza tahu tentang rahasia yang selama ini aku sembunyikan" umpat Anggun dalam hati.
Sementara Erika tersenyum senang, karena berhasil membungkam mulut ibu mertuanya di hadapan keluarga suaminya.
"Kamu bisa menindas wanita bod*h itu, tapi tidak denganku ibu mertua" ucap Erika dalam hati.
seharusnya ganti tanya Arumi
bagaimana servisku jg lbh enakan mana sm clara wkwkwk
Alvaro menyesal menghianati clara
kok minta jatah lagi sama arumi
itu mah suka al