Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26. BERTEMU KEMBALI
Hari-hari pemulihan itu berjalan perlahan, seperti alunan musik klasik yang lembut. Setiap pagi cahaya matahari menembus tirai kamar rawat, memberi kehangatan yang menenangkan. Lucia mulai belajar duduk sendiri, meski kadang rasa nyeri masih membuatnya meringis. Dan di setiap momen itu, Evan selalu ada di sisi, dengan sabar menuntun dan memastikan tak ada hal kecil sekalipun yang terlewat.
"Pelan-pelan, jangan terburu-buru," ucap Evan suatu pagi, tangannya menyangga punggung Lucia.
"Aku merasa seperti bayi yang baru belajar duduk," gumam Lucia sambil tertawa kecil.
"Ya, tapi bayi tidak secantik dirimu," jawab Evan tanpa ragu.
Lucia menoleh, kaget sekaligus geli. "Astaga, sejak kapan kau pandai merayu?"
Evan pura-pura serius. "Sejak punya pasien yang keras kepala."
Tawa Lucia pecah, menggema di kamar itu, dan bagi Evan, suara itu lebih berharga daripada apa pun.
Tak lama kemudian, Clara masuk membawa sekeranjang buah yang lebih besar dari tubuhnya sendiri. "Lucia, My Dear?! Aku datang membawa vitamin alami! Kau harus cepat pulih supaya tidak ada alasan untuk terus dimanja Evan."
"Hey, aku tidak memanjakan. Aku hanya merawat," protes Evan.
Deren yang masuk di belakang Clara menambahkan dengan wajah pura-pura polos, "Kalau itu bukan memanjakan, lalu apa namanya? Aku sampai iri. Seandainya ada yang menyuapiku makan bubur hangat setiap pagi."
Clara memotong cepat, "Oh tenang saja, Babe. Kalau kau sakit, aku bisa menyuapi tapi dengan banyak paprika biar cepat sadar."
"Kau tidak ada romantisnya," gerutu Deren pada sang istri.
Lucia tertawa sampai matanya berair. "Kalian berdua tidak berubah, selalu saja bikin suasana ramai."
Hari-hari berikutnya pun penuh warna. Clara sering datang dengan berbagai cerita konyol dari luar, mulai dari tetangganya yang memelihara ayam berbulu ungu karena pewarna, sampai tentang supir taksi online yang salah mengantar ke alamat rumah kosong. Deren, dengan gaya khasnya, selalu jadi sasaran ejekan karena wajahnya yang tak bisa menyembunyikan reaksi kaget setiap kali Clara membuat lelucon.
Evan, meski sering menggeleng karena tingkah mereka, diam-diam berterima kasih. Ia tahu, tawa yang tercipta di ruangan itu menjadi obat terbaik untuk Lucia.
Sore hari, saat udara mulai teduh, Evan mendorong kursi roda Lucia ke balkon kecil rumah sakit. Angin lembut berembus, membawa aroma bunga dari taman di bawah.
"Rasanya seperti kembali bernapas setelah lama tenggelam," ucap Lucia sambil menutup mata menikmati hembusan angin.
Evan menatapnya dengan sorot lembut. "Aku ingin kau selalu bisa merasakan itu, kebebasan, ketenangan, tanpa rasa sakit."
Lucia membuka mata, menatapnya balik. "Denganmu di sini, aku merasa segalanya mungkin."
Evan hanya terdiam, namun genggaman tangannya pada jari Lucia menjawab lebih banyak daripada kata-kata.
Di hari keempat pemulihan, dokter mengizinkan Lucia mulai berjalan pendek di dalam kamar. Evan tampak lebih gugup dibandingkan Lucia sendiri.
"Aku bisa, Van. Jangan khawatir berlebihan," kata Lucia sambil mencoba berdiri, berpegangan pada lengannya.
"Kalau kau jatuh sedikit saja, aku akan menyalahkan diri sendiri seumur hidup," jawab Evan cepat.
"Dasar ...." Lucia menggeleng, tapi senyum di bibirnya tak hilang.
Langkah pertamanya memang pelan dan goyah, namun keberhasilan itu membuat Clara bertepuk tangan seperti anak kecil. "Lihat! Seperti bayi yang baru belajar jalan! Eh, tapi ini versi elegan, tentu saja."
"Kalau begitu aku harus kasih hadiah mainan, ya?" celetuk Deren, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Clara.
Lucia tertawa sampai pipinya memerah. "Tolong, jangan bandingkan aku dengan bayi. Nanti Evan makin overprotective."
Evan justru menatap Lucia penuh bangga. "Aku tidak peduli kalau kamu disebut bayi. Yang penting kau sehat."
Semua tertawa bersama, menciptakan suasana yang membuat luka operasi terasa jauh lebih ringan.
Hari berganti, hingga suatu sore yang cerah. Setelah melewati latihan berjalan di kamar, Lucia meminta keluar sejenak ke taman rumah sakit. Dokter mengizinkan, tentu saja dengan syarat ditemani Evan.
"Jangan lama-lama, jangan terlalu jauh," pesan Clara, pura-pura seperti ibu yang cerewet.
"Tenang, aku akan jaga lebih baik daripada satpam rumah sakit," jawab Evan sambil menuntun Lucia dengan hati-hati.
Lucia menoleh pada Clara dan Deren yang melambaikan tangan. "Kalau begitu, doakan aku tidak diceramahi terlalu banyak di taman nanti."
Clara tertawa keras, Deren ikut menimpali, "Kalau dia mulai ceramah, pura-puralah pingsan, Lucia."
Dengan tawa yang masih tersisa, Lucia melangkah bersama Evan menuju taman yang dipenuhi bunga bermekaran. Ia tak tahu, senja hari itu akan mempertemukannya dengan bayangan masa lalu yang paling ingin ia lupakan.
Taman rumah sakit sore itu dipenuhi cahaya emas yang jatuh dari langit senja. Angin membawa aroma lembut bunga kamboja dan mawar yang ditanam rapi di sepanjang jalan setapak. Burung gereja hinggap di ranting, mencuit seolah ikut memberi iringan. Semua terasa damai, hingga seolah semesta sengaja menyiapkan panggung untuk sebuah pertemuan yang tak pernah terduga.
Lucia melangkah perlahan di sisi Evan. Tangannya bertumpu pada lengan lelaki itu, sementara langkah-langkahnya masih ragu, namun penuh tekad. "Aku tidak percaya aku bisa berjalan sejauh ini setelah beberapa hari lalu bahkan duduk pun sulit," katanya dengan senyum tipis.
Evan menunduk sedikit, menatapnya penuh bangga. "Aku percaya padamu sejak awal. Kau jauh lebih kuat daripada yang kau kira, Love."
Lucia tertawa kecil. "Entah kenapa, setiap kali kamu bilang begitu, aku merasa memang benar-benar bisa kuat."
Evan tidak menjawab, hanya menggenggam tangan Lucia lebih erat.
Mereka berdua berjalan di antara lorong bunga, menikmati ketenangan. Lucia sempat berhenti sejenak untuk menghirup dalam-dalam udara segar, merasakan hidup mengalir kembali di tubuhnya yang rapuh. Senyum lembut terukir di wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak operasi, ia merasa benar-benar pulih.
Seorang pria berjalan cepat, langkahnya tergesa-gesa seakan mencari sesuatu. Jas hitamnya kontras dengan nuansa taman, wajahnya keras, sorot matanya liar berkeliling. Namun begitu pandangannya jatuh pada Lucia, langkah itu mendadak melambat.
Sosok itu terhenti, diam menatap ke arah Lucia. Dan justru saat itulah, perubahan terjadi. Mata yang tadinya tampak penuh buru-buru kini meredup, bibirnya mengendur, dan wajahnya menyimpan gurat sedih yang sulit disembunyikan.
Lucia terpaku. Napasnya tercekat, jantungnya berdentum kencang. Ia mengenali sosok itu meski waktu telah banyak berubah. Samuel Davidson.
Tubuhnya spontan gemetar. Luka lama, yang baru saja mulai tertutup, mendadak terbuka kembali. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, matanya mencari Evan.
"Evan?" Suara Evan hampir tak terdengar, bergetar.
Evan langsung merasakan kegelisahan itu. Ia menoleh, lalu melihat pria asing di kejauhan. Tatapannya mengeras seketika, tubuhnya refleks berdiri lebih dekat ke sisi Lucia, melindunginya.
"Sa-Samuel ...," ucap Lucia, hampir tanpa suara.
Nama itu meluncur seperti racun yang lama tersembunyi. Mantan suami yang dulu menjadikannya alat balas dendam, lalu membuangnya begitu saja tanpa belas kasihan. Semua luka lama menyeruak kembali: malam-malam penuh air mata, rasa hina karena dimanfaatkan, dan kehancuran yang pernah membuatnya hampir menyerah hidup.
Samuel tetap berdiri di tempatnya. Ia tidak mendekat, tidak juga berkata apa-apa. Hanya menatap, dengan wajah yang kini diliputi kesedihan samar, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, namun tertahan.
Lucia menunduk, genggaman tangannya pada lengan Evan semakin erat hingga buku jarinya memutih. Ketakutan jelas tergambar di wajahnya. Ia tidak sanggup menatap lebih lama.
Evan meraih bahu Lucia dengan lembut namun tegas. "It's okay, Love. Aku di sini. Kau aman bersamaku. Tidak ada yang bisa menyakitimu."
Ketika Evan menuntunnya menjauh, Samuel masih berdiri di sana, diam, wajahnya tenggelam dalam senja yang semakin pudar. Ada luka yang samar, ada penyesalan yang tak terucap, namun tak seorang pun tahu apa yang sesungguhnya ada di balik tatapan itu.
Suasana di taman berubah mencekam. Senja yang tadi indah kini terasa seperti tirai merah yang menutupi panggung pertarungan masa lalu dan masa kini.
Lucia menggenggam lengan Evan lebih erat, berusaha menenangkan dirinya yang hampir runtuh. Ia tak menyangka, justru di saat ia mulai merasakan kembali arti ketenangan, bayangan kelam bernama Samuel Davidson kembali hadir, mengacaukan segalanya.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih