NovelToon NovelToon
Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: ila akbar

‎Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
‎Menjalin hubungan dengan duda ❌
‎Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
‎Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Beberapa saat setelah Ibu Resti selesai dimakamkan, suasana di pemakaman mulai lengang. Hanya tersisa dua sosok yang masih berdiri di sana, enggan beranjak.

Mawar menatap batu nisan yang baru saja didirikan, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Hatinya seakan terkoyak, penuh dengan duka dan amarah yang bercampur menjadi satu. Dengan suara lirih, ia berbisik di antara isak tangisnya, “Ibu... Mawar janji. Mawar akan membuat Tante Lusi membayar semua ini. Mawar akan membalas semua penderitaan yang Ibu alami.”

Di sampingnya, Anjani masih duduk bersimpuh di depan makam ibu mereka, tangannya mengusap lembut batu nisan seolah ingin menyentuh ibu mereka sekali lagi. Tatapan matanya kosong, tenggelam dalam kenangan yang kini hanya tersisa dalam ingatan. Dengan napas berat, ia akhirnya bangkit, lalu merangkul pundak Mawar, mengusapnya dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan meski dirinya sendiri tengah rapuh.

“Mawar, hari sudah hampir malam... ayo, kita pulang,” ucapnya pelan, suaranya bergetar menahan kesedihan yang masih bergelayut di dadanya.

Mawar tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap terpaku pada nisan ibunya, seakan enggan berpisah. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, ia menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan. “Iya, Mbak...” jawabnya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. Dengan langkah berat, mereka berjalan meninggalkan makam ibu mereka, meninggalkan bagian dari hati yang kini terkubur bersama wanita yang telah melahirkan dan mencintai mereka sepenuh jiwa.

Sesampainya di rumah, Mawar dan Anjani mengadakan tahlilan kecil untuk mengenang kepergian ibu mereka. Karena keterbatasan biaya, mereka hanya mampu mengundang tetangga dekat. Namun, doa-doa tetap dipanjatkan, mengiringi kepergian sosok yang begitu mereka cintai.

Setelah para tetangga berpamitan dan rumah kembali sunyi, kesedihan kembali menyelimuti suasana. Kehilangan itu terasa semakin nyata.

Anjani duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menembus pekatnya malam. Cahaya bulan yang temaram seakan menambah kesan muram dalam kesunyian. Sementara itu, Mawar duduk di tepi ranjang ibu mereka. Tangannya meraba kain seprai yang masih memiliki sisa hangat keberadaan sang ibu. Perlahan, ia bangkit dan berjalan menuju meja kecil di samping tempat tidur.

Tatapannya jatuh pada sebuah bingkai foto yang sudah mulai usang. Ia mengambilnya dengan hati-hati, mengusap debu yang menempel di permukaannya.

Foto itu diambil tujuh belas tahun yang lalu. Dalam gambar tersebut, tampak sosok kedua orang tuanya, Pak Tama dan Ibu Resti, yang masih sehat, tersenyum bahagia di antara dua putrinya, Mawar dan Anjani yang masih kecil. Mereka berempat tampak begitu ceria, seakan dunia saat itu hanya dipenuhi kebahagiaan, tanpa ada luka dan penderitaan.

Mawar menatap foto keluarga itu lebih lama, membiarkan kenangan lama menyelinap ke dalam pikirannya. Namun, seketika dadanya sesak, air matanya jatuh semakin deras. Kenangan indah itu kini hanyalah serpihan masa lalu yang tak akan pernah kembali. Pak Tama dan Ibu Resti, kedua orang tuanya, kini telah tiada.

Mawar menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dengan tangan gemetar, ia hendak meletakkan kembali bingkai foto itu di atas meja. Namun, saat pandangannya menelusuri permukaan meja, matanya menangkap sesuatu. Sebuah kotak kayu kecil, lusuh dan berdebu, terselip di dalam laci. Hatinya berdebar. Dengan penuh rasa penasaran, ia meraihnya dan membuka kotak itu perlahan.

Di dalamnya, terdapat sebuah buku kecil dengan sampul yang telah kusam. Jari-jarinya menyentuh permukaan buku itu, merasakan tekstur halus yang telah menua oleh waktu. Seketika, ia sadar… ini bukan sekadar buku biasa. Ini adalah diary milik ibunya.

Dengan hati-hati, Mawar membukanya. Halaman pertama masih utuh, meski beberapa lembar tampak mulai menguning. Saat ia membalik halaman pertama, sesuatu jatuh dari dalamnya—selembar foto hitam putih yang sudah mulai memudar. Di foto itu, tampak Ibu Resti muda, tersenyum cerah sambil menggandeng seorang gadis kecil yang tak lain adalah adiknya, Lusi.

Mawar terdiam, menatap wajah ibunya yang terlihat begitu bahagia dalam foto itu. Perlahan, jemarinya mengusap gambar ibunya, seolah ingin merasakan kehangatan yang telah lama hilang. Pandangannya lalu beralih ke wajah Lusi. Rasa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya. Senyum Mawar berubah, bukan lagi senyum haru, melainkan senyum yang penuh makna.

Tanpa ragu, ia mulai membuka lembar demi lembar diary itu. Setiap kata yang tertulis di dalamnya seperti membawanya ke masa lalu, ke kehidupan ibunya yang belum pernah ia ketahui.

Rabu, 1 Agustus 1993

“Namaku Resti. Aku tinggal bersama kedua orang tuaku dan adikku, Lusi, yang sangat aku sayangi. Kami hidup dalam kemewahan, dikelilingi oleh cinta dan kasih sayang. Kedua orang tuaku adalah pengusaha sukses yang memiliki segalanya. Namun, di balik itu semua, Ayah adalah sosok yang sangat keras. Ia punya satu aturan yang tak boleh dilanggar: tidak ada cinta sebelum kesuksesan. Baginya, jatuh cinta sebelum berhasil hanya akan membawa kehancuran.

Aku tahu aturan Ayah. Aku tahu larangannya. Tapi aku, aku justru memilih jalan yang berbeda. Diam-diam, aku menjalin hubungan dengan seorang pria yang sangat kucintai—Tama. Dia bukan lelaki dari keluarga terpandang, bukan pula pewaris kekayaan. Dia hanyalah anak seorang tukang ojek, pria sederhana yang memiliki hati seluas samudra.

Tama begitu penyayang, penuh perhatian, dan bertanggung jawab. Aku merasa aman bersamanya. Cinta kami begitu dalam, begitu tulus… hingga suatu hari, takdir menempuh jalan yang tak terduga.

Aku hamil.

Saat itu, usiaku baru 20 tahun. Sebuah kecelakaan kecil membuat kami lengah, dan aku mengandung anak dari pria yang kucintai.

Ketika kabar itu sampai ke telinga Ayah dan Ibu, dunia seakan runtuh. Amarah Ayah meledak seperti badai. Ia merasa terhina. Bagaimana mungkin putrinya yang terlahir dalam keluarga terhormat mengandung anak seorang tukang ojek?

Hari itu, aku dihadapkan pada dua pilihan yang memilukan:

Menggugurkan bayi dalam kandunganku dan tetap hidup dalam kemewahan… atau mempertahankannya, tetapi harus keluar dari rumah, meninggalkan segala kenyamanan, dan menerima kehidupan yang penuh kesulitan bersama Tama.

Aku memilih yang kedua.

Cintaku pada bayi yang tumbuh dalam rahimku lebih besar daripada ketakutanku menghadapi dunia. Aku pergi meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat perlindunganku, menggenggam erat tangan Tama, dan melangkah ke dalam ketidakpastian.

Tama segera menikahiku dengan sederhana. Kami tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil, hanya sepetak ruang yang cukup untuk berteduh. Awalnya, aku merasa kesulitan. Aku terbiasa hidup dalam kemewahan, memiliki segalanya tanpa harus bersusah payah. Namun, perlahan, aku belajar. Aku belajar hidup dengan sederhana, belajar menghargai setiap rupiah yang kami dapatkan, belajar bertahan dengan kasih sayang sebagai satu-satunya kekayaan yang kami miliki.

Dan ketika putri pertamaku lahir, dunia yang terasa berat mendadak menjadi lebih ringan. Anjani, bayi kecil yang cantik dan menggemaskan, membawa kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Aku menatap matanya yang bening, mendengar tangisannya yang nyaring, dan hatiku berkata, Aku tidak menyesal. Aku tidak akan pernah menyesal.

Meskipun kedua orang tuaku menentangnya. Meskipun mereka menganggap kehadiran Anjani sebagai aib.

Karena bagiku, Anjani adalah anugerah. Bersama Mas Tama dan putri kecil kami, hidupku terasa lengkap. Sederhana, tapi penuh cinta.

Mawar terus membaca, larut dalam kisah ibunya. Ia bisa merasakan betapa kuatnya cinta ibunya pada pria bernama Tama, bagaimana ia rela meninggalkan segalanya demi mempertahankan anak dalam kandungannya.

Kemudian matanya kembali bergerak mengikuti goresan tinta yang sudah mulai pudar.

Tiga tahun berlalu sejak kelahiran Anjani, dan kebahagiaan kami semakin sempurna saat putri kedua kami lahir.

Hari itu, aku menggenggam jemari mungilnya yang masih begitu rapuh, mengusap pipinya yang kemerahan, dan dalam hatiku berbisik, selamat datang, malaikat kecil.

Bayi mungil itu, dengan mata bening yang begitu jernih dan senyum polosnya yang seakan membawa cahaya baru dalam hidup kami.

Aku menamainya... Mawar—seindah bunga yang harum dan lembut, namun kuat meski tumbuh di tengah badai...

Mawar tersenyum samar saat membaca bagian itu. Ada sesuatu yang hangat mengalir di dadanya. Namanya, yang selama ini biasa saja baginya, kini terasa begitu istimewa.

Ibunya memilih nama itu dengan penuh cinta.

Untuk pertama kalinya, Mawar merasa begitu dicintai.

Sejak kehadiran Mawar, Mas Tama semakin menunjukkan bahwa ia bukan hanya suami yang baik, tetapi juga seorang ayah yang luar biasa. Ia bekerja lebih keras, berjuang tanpa kenal lelah demi memastikan aku dan kedua putri kami tidak kekurangan apa pun. Aku bisa melihat betapa besar cintanya kepada kami. Setiap pagi, sebelum berangkat mengojek, ia selalu mencium keningku dan membisikkan janji bahwa ia akan kembali dengan selamat.

Namun, janji itu...

Tidak pernah terpenuhi.

1
Aqilah Azzahra
semangat kak
Ila Akbar 🇮🇩: ♥️♥️♥️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!