Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Dila..." Aminah terperangah, menunduk memandangi air teh di lantai yang sudah menyatu dengan pecahan gelas. Aminah beralih menatap putrinya, tentu tahu jika Dila kaget karena mendengar percakapan di ruang tamu.
"Maaf Bu" Dila ke belakang ambil alat untuk bersih-bersih, tidak lama kemudian kembali hendak membersihkan lantai. Namun, diambil alih bu Aminah.
"Biar Ibu saja" ucapnya lalu menyuruh putrinya agar membuat minuman yang baru.
Dila tidak membantah sang ibu, menyeret kakinya ke dapur dengan perasaan tidak menentu. Ia tidak pernah sekalipun bermimpi digigit ular, tapi mengapa tiba-tiba tuan Ahmad membahas tentang perjodohan.
"Pasti anak Tuan Ahmad mempunyai kelainan, hingga tidak ada wanita yang mau. Jika tidak, mana mungkin rela menjodohkan anaknya dengan aku yang hanya anak supir" Dila bermonolog di pinggir kompor hingga beberapa detik kemudian, sampai lupa tujuan ke dapur.
"Dila" bu Aminah sampai menyusul ke dapur, mungkin karena lama, tapi tidak berkata-kata lagi lalu kembali ke depan.
"Maaf Bu" ucap Dila, tapi sudah tidak terdengar oleh Aminah. Dila secepatnya membuat minuman lalu membawanya ke ruang tamu.
"Silakan diminum Tuan" Dila meletakkan gelas teh di depan tuan Ahmad dan juga bapak ibunya.
"Duduk di sini saja Nak, ngobrol- ngobrol" titah tuan Ahmad tulus.
"Terima kasih Tuan" Dila hanya tersenyum sembari membungkuk meninggalkan tempat itu.
"Dila baru saja tiba Tuan, maaf jika putri saya belum bisa bergabung" pak Umar mengatakan jika putrinya belum istirahat. Dan masih didengar oleh Dila yang masih bersembunyi di belakang lemari televisi. Dalam hati gadis itu berharap tuan Ahmad segera pulang. Ia tidak tega memandangi pak Umar yang berkali-kali memegangi pinggang tampak menahan sakit.
Dila kembalikan nampan di dapur sebelum ke kamar, niatnya untuk merebahkan tubuhnya di kasur pun terlaksana. Badan lelah itu sebenarnya ingin istirahat, tapi otak tidak mau kompromi.
Ia masih memikirkan perbincangan bapak dan tuan Ahmad, tentu khawatir jika pak Umar sampai menerima tawaran itu. Di tempat tidur yang sunyi, Dila menatap kosong ke langit-langit kamar. Hingga satu jam kemudian akhirnya memejamkan mata.
"Kakaaak..." Seru seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu nyelonong masuk. Gadis berjilbab itu berlari ingin cepat menyambut sang kakak. Suara teriakan dan langkah kakinya yang beradu dengan lantai terdengar berisik, hingga Dila bangun lalu duduk dengan cepat.
"Suara kamu dipelankan sedikit apa Najwa, ya Allah..." Dila memandangi adiknya dengan mata kecil. Kepalanya mendadak pusing kerena kaget.
"Kak Dila kok nggak senang melihat aku pulang sih..." Najwa cemberut, ia pikir kakaknya tidak kangen kepadanya. Sebab Dila tampak datar tidak berseru riang menyambut kedatangannya, padahal sudah delapan bulan tidak bertemu.
"Bukan begitu Najwa" Dila tentu kangen sekali dengan adiknya, tapi karena ngantuk hingga tampak cuek.
"Aku seneng, Kakak sudah pulang" Najwa naik ke tempat tidur lalu memeluk kakaknya.
"Kamu nggak pakai deodoran, ya" Dila memencet hidungnya.
"Masa sih Kak?" Najwa mengendus pangkal lengan, menanggapi dengan serius. Padahal tidak demikian, Dila hanya ingin bergurau.
"Lupakan tentang ketiak, bapak sakit sudah lama?" Tanya Dila serius.
"Sudah seminggu, Kak" Najwa mengatakan jika sebenarnya pak Umar tidak boleh memberi tahu Dila, tapi Najwa nekat karena panik dan bingung.
"Yang kamu lakukan sudah benar, Dek" Dila menanyakan banyak sekali tentang kesehatan pak Umar dan ibu Aminah.
"Sudah beberapa bulan ini Bapak memang sering sakit-sakitan, Kak" Najwa menceritakan tentang sakit pak Umar yang sudah lama, tapi tidak beliu rasakan. Pak Umar tetap saja bekerja hingga sakitnya semakin parah.
Kakak adik itu bercerita banyak hal, hingga kantuk yang Dila rasa pun telah hilang.
"Dek, kamu pernah melihat anaknya Tuan Ahmad?" Dila ingin mendengar cerita Najwa, seperti apa putra Ahmad. Ia penasaran saja, jangan-jangan yang ia pikirkan tentang kelainan itu benar. Bukan apa-apa, hanya tidak percaya saja jika pemilik perkebunan yang kaya raya itu mempunyai niat untuk menjodohkan putranya jika bukan karena ada sesuatu.
"Pernah Kak, kenapa gitu?" Najwa mengerutkan kening, tumben sekali kakaknya ingin tahu tentang putra tuan Ahmad, padahal biasanya selalu cuek jika Najwa membahas tentang laki-laki.
"Jawab dulu, Najwa" desak Dila.
"Wuih... kalau kakak serius mau tahu, orangnya tampan sekali" Najwa senyum-senyum, ia ingat pertemuanya dengan putra tuan Ahmad ketika ikut pak Umar ke perkebunan ketika libur sekolah tiga bulan yang lalu.
"Ada apa sih Kak? Nah-nah, jangan-jangan ada sesuatu" Najwa cengengesan menggoda Dila.
"Nggak apa-apa, Dek. Lebih baik kamu ganti pakaian, gih" Dila memberi saran, ia juga mengatakan ingin istirahat sebentar.
Najwa pun meninggalkan kamar, membiarkan kakaknya istirahat.
Angin sore berhembus pelan, membawa aroma bunga melati dari taman kecil belakang rumah. Namun, tak satupun keindahan itu mampu menghapus awan kelabu yang menggantung di hati Dila, kala sang bapak menyampaikan sesuatu yang tidak ingin Dila dengar.
Flashback On.
Baru tadi siang mendengar suara ibu yang penuh kelembutan, tapi sekarang memanggilnya dengan ketegasan. "Bapak kamu menunggu di ruang keluarga."
Dila mengangguk mengikuti bu Aminah, tampak dari ruang tamu sang bapak sudah menunggu di ruang keluarga. Walaupun kakinya lumpuh, wajah pak Umar masih mengandung ketegasan.
"Duduk Nak" titah pak Umar di atas kursi roda, tatapan matanya seperti ingin menyampaikan sesuatu yang penting.
Dila pun duduk di sebelah sang ibu berhadapan dengan pak Umar. Ia pegang tangan sang bapak, mencium punggungnya lembut.
Pak Umar tersenyum kecil, namun tulus. "Bapak dan Ibu ingin kamu bertemu dengan calon suami kamu, Nak. Tuan Ahmad sudah sepakat ingin menjodohkan kamu dengan putranya."
Dila terpaku. Calon suami? Bahkan namanya pun belum pernah ia dengar. Jelas hatinya menolak, tapi lidahnya kelu. Ia terlalu terkejut untuk protes, menatap sang bapak yang saat ini sudah tidak berdaya, terlalu sedih untuk menangis saat ini.
Dila menunduk, air matanya mulai jatuh satu persatu. Bukan benci kepada orang tuanya, tapi kecewa, kenapa masa depannya harus ditentukan oleh orang lain?
Dila mencengkeram kalung kecil di lehernya pemberian sang ibu waktu kecil. Mencoba mencari rasa tenang di antara gelombang ketidakpastian masa depanya. Ia kini merasa asing, walaupun di hadapan kedua orang tuanya sendiri. Dila merasa sepi untuk yang kedua kali dalam hidupnya. Yang pertama, ketika cintanya dengan Abdullah bertepuk sebelah tangan. Lalu sekarang, tiba-tiba saja kedua orang tuanya ingin menjodohkan dengan pria yang belum ia kenal. Mereka tidak berteriak, tidak memaksa kasar, tapi kata-kata sang bapak seperti batu yang menghantam dadanya.
Flashback Off.
"Kak Dila, Bapak Kak" Najwa menggoyang pundak Dila yang termenung di taman kecil.
"Bapak kenapa?" Dila berlari lebih dulu ke kamar pak Umar, diikuti Najwa.
"Dila... tolong dengar kata-kata bapak Nak, bapak tahu cinta pertama kamu adalah aku bapakmu, tapi bapak merasa sebentar lagi akan pergi meninggalkan kalian. Dan sekaranglah, saatnya kamu harus mempunyai suami yang bisa melindungimu, ibu, dan juga adik kamu."
"Bapaaakkk... hiks hiks hiks, jangan bicara begitu..." Dila menangis tersedu-sedu.
...~Bersambung~...
mengapa dulu tidak jujur sama orang tua jika sudah menikah agar tidak menghancurkan perasaan orang lain
jangan sampai balikan lagi ke Abdul apalagi kalau masih mempertahankan silfia.
usir ajh dri rumah biar tau kelakuan istrinya
usir ajh dri rumah biar tau kelakuan istrinya
pokoknya ditunggu banget kelanjutannya author