Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.
Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.
Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Bara yang Tak Padam
Angin gunung berdesir perlahan, membawa aroma asap dari istana yang terbakar di kejauhan. Di tebing terpencil yang menghadap lembah luas, seorang wanita berdiri diam mengenakan jubah merah darah yang berkibar melawan langit senja. Matanya tertutup kain merah, bukan karena buta, melainkan karena ia memilih untuk tidak melihat dunia yang terus berubah sementara dirinya tetap abadi—terikat pada kutukan batu api.
Seraphyne, sang pemilik batu, telah hidup lebih dari dua abad. Waktu tak lagi menggores kulitnya, namun luka di dalam hatinya tetap membusuk, tak pernah sembuh sejak malam itu—malam ketika rajanya, satu-satunya lelaki yang pernah ia cintai, meregang nyawa di medan perang karena pengkhianatan.
Ia telah memohon. Bersimpuh di hadapan api purba yang menyala dari batu sihir tertua di dunia. Batu itu mampu mengabulkan keinginan siapa pun... dengan satu syarat, nyawa sebagai ganti.
Namun batu itu tidak menukar nyawa rajanya dengan nyawanya sendiri. Ia justru memilih Seraphyne sebagai penjaga abadi—sang pemilik. Ia tak mati. Ia tetap hidup, menyaksikan dunia yang terus berputar tanpa keadilan.
Kini, dua ratus tahun telah berlalu. Kerajaan telah runtuh, silsilahnya lenyap, dan hanya nama batu api yang tetap ditakuti dan diburu.
Sore itu, Seraphyne turun ke perkampungan militer di kaki pegunungan, menyamar sebagai penyembuh keliling yang matanya tertutup kain putih. Dia juga merubah jubahnya menjadi warna putih dengan rambut yang biasa ia uraikan tapi kini disanggulnya. Orang-orang memanggilnya 'Sang penyembuh buta dari Utara'. Hal itu selalu dia lakukan setiap tanggal 16, sebagai pengingat bahwa di tanggal itu dia pernah kehilangan segalanya. Ia turun bersama Ramord—gagak hitam yang bisa berubah wujud menjadi manusia. Dia mendapatkan Ramord saat ia terpilih menjadi pemilik batu api.
"Tuanku..."
Seraphyne berhenti saat Ramord memanggilnya. Meskipun matanya tertutup kain putih, tapi Ramord dapat merasakan tajamnya tatapan dari tuannya.
"Maaf... Puan Ephyra..."
"Ada apa?" tanya Seraphyne sambil melanjutkan langkahnya.
"Sampai kapan kita akan melakukan hal ini? Bukankah kau juga merenggut nyawa orang yang menginginkan hal mustahil, tapi kenapa kau juga menyembuhkan orang lain?"
Seraphyne menghembuskan napas kasar. "Kita sudah melakukan ini selama 200 tahun dan kau masih belum mengerti juga, Ramord?" pria di belakangnya hanya menggelengkan kepala.
"Orang yang aku renggut nyawanya adalah orang berhati tamak, mereka serakah, rela mengorbankan hal yang berharga di hidup mereka demi kehidupan yang abadi. Sedangkan orang yang aku sembuhkan adalah orang yang memiliki hati lembut, mereka adalah korban dari yang berhati tamak." jelas Seraphyne yang membuat Ramord menganggukkan kepalanya.
"Aku paham. Jika seperti itu, bukankah sebenarnya kau tidak jahat? Kenapa di mata manusia kau dianggap iblis?"
"Karena aku memiliki batu api."
Ramord tidak lagi menyahut. Dia memilih diam dan mengikuti tuannya sampai ke perkampungan militer.
Seraphyne tak berniat menemukan siapa pun. Tapi takdir selalu memiliki jalannya sendiri. Langkahnya terhenti ketika pandangannya bertabrakan dengan seorang lelaki muda yang memancarkan aura kuat dan ketegasan alami. Rambutnya gelap, matanya teduh, dan senyumnya—senyum yang dulu hanya milik rajanya.
“Panglima Alvaren,” bisik seorang prajurit saat lelaki itu berjalan melewatinya.
Seraphyne menggenggam lengan jubahnya erat. Darahnya berdesir. Napasnya tercekat.
Itu dia.
Bahkan setelah dua abad, jiwanya tak berubah. Raja yang ia cintai telah kembali—namun bukan sebagai raja, bukan sebagai suaminya. Ia bahkan tak mengenalinya.
Seraphyne membeku. Dunia seolah berhenti berputar saat Alvaren melintas tak jauh dari tempatnya berdiri. Sorot matanya yang dulu mengandung kelembutan kini memancarkan keyakinan seorang pemimpin muda. Suara langkahnya tegas, penuh wibawa. Tapi tidak ada kilasan pengakuan di wajahnya. Tidak ada keraguan atau pertanyaan yang menunjukkan ia mengenal wanita yang memandangnya penuh luka dan rindu.
Ia benar-benar tidak mengingatnya.
“Penyembuh dari Utara?” tanya seorang perwira yang membawanya ke kemah pusat. “Panglima ingin semua pasukan mendapatkan pemeriksaan sebelum bergerak ke timur. Kudengar Anda berpengalaman.”
"Tentu saja. Puan Ephyra merupakan penyembuh yang sangat berpengalaman. Orang yang kritis berbulan-bulan saja bisa sembuh berkat Puan Ephyra." jelas Ramord dengan bangganya.
Seraphyne menarik ujung baju Ramord. "Hentikan, kau terlalu berlebihan." bisiknya tapi Ramord mendengar itu sebagai ancaman. Dia langsung diam dan memundurkan langkahnya.
"Aku bisa membantu."
Langkahnya mengarah pada takdir yang tak pernah bisa ia tolak. Takdir yang dulu ia perjuangkan dengan darah dan air mata, yang kini memaksanya menghadapi bayangan masa lalu dalam wujud lelaki yang sama sekali tak lagi mengenalnya.
Di dalam tenda utama, Alvaren berdiri memandangi peta strategi. Wajahnya serius, tapi tak kehilangan kehangatan yang dulu membuat seluruh rakyat mencintai rajanya. Beberapa prajurit berdiri tegak, menunggu perintah.
Mata mereka bertemu. Dan sekali lagi, tak ada yang terjadi.
“Terima kasih telah datang, Penyembuh,” katanya ramah. “Pasukan kami kelelahan. Kehadiranmu sangat berarti.”
Suara itu. Nada itu. Itu adalah suaranya. Tapi tidak disertai ingatan.
Seraphyne membungkuk pelan. “Aku hanya menjalankan tugasku.”
Ia tidak menangis. Ia tidak mengamuk. Ia hanya diam—karena kutukannya adalah menyaksikan orang yang ia cintai hidup lagi… tanpa mengenalnya. Dan lebih menyakitkan dari kematian adalah dilupakan.
Malam itu, saat api unggun berkobar dan para prajurit tertidur, Seraphyne berdiri sendiri di pinggiran perkemahan, menatap ke arah bintang yang pernah menjadi saksi janji mereka berdua.
Ia berbisik ke langit, “Jika kau tidak mengenalku sebagai ratumu, setidaknya biarkan aku melindungimu kali ini… sebagai siapa pun aku di matamu.”
Dan di dalam dirinya, batu api yang tersembunyi di jantung bumi berdenyut pelan, menyadari bahwa permainan lama baru saja dimulai kembali.
"Puan," Ramord berjalan mendekati Seraphyne yang masih menatap langit. "Pria itu dia, kan?"
Terdengar helaan napas Seraphyne. "Maksudku, kau tampak terkejut tadi. Aku tidak pernah melihatmu seperti itu, Puan Ephyra." lanjut Ramord yang membuat Seraphyne langsung menatapnya.
"Apa kau tahu, Ramord? Aku tidak pernah meminta takdir yang seperti ini. Tapi setelah aku tersadar, ini adalah kutukan. Melihat orang yang aku cintai sama sekali tidak mengenaliku." ucap Seraphyne yang terdengar penuh kepiluan.
"Apa yang dikatakan Veyron benar. Hal ini pasti akan terjadi," Seraphyne kembali menatap langit. "Apa aku harus menerima takdir dan kutukan seperti ini, Ramord?"
"Aku akan kembali ke batu api purba dan meminta jawaban di sana, aku.."
"Ramord," Seraphyne menatap Ramord. "Dia tetap akan diam."
Ramord menghela napas. Benar. Dia pernah menemani Seraphyne ke batu api purba untuk meminta jawaban. Sampai 100 hari mereka disana tapi sama sekali tidak ada jawaban.
"Biarkan saja. Aku ingin melihat bagaimana dia memperlakukanku kali ini."