Aurelia Nayla, gadis pendiam yang terlihat biasa saja di mata teman-teman kampusnya, sebenarnya menyimpan misi berbahaya. Atas perintah sang ayah, ia ditugaskan untuk mendekati Leonardo—dosen muda yang terkenal dingin dan sulit disentuh. Tujuan awalnya hanya satu: membalas dendam atas kematian ibunya.
Tapi semua berubah saat Lia menyadari, kode rahasia yang ia cari tak hanya terkait kematian, tapi juga masa lalu yang jauh lebih kelam dan rumit. Apalagi ketika perasaannya mulai goyah. Antara kebencian dan cinta, antara kebenaran dan kebohongan, Lia terjebak di dunia penuh tipu daya… termasuk dari orang yang selama ini ia percaya.
Akankah Leo dan Lia tetap saling menghancurkan, atau justru saling menyelamatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak yang tertinggal
Pagi itu langit kampus tampak suram, seperti menyimpan firasat yang belum sempat disampaikan. Langkah Aurelia bergema di lorong gedung administrasi. Di tangannya, map formulir kelas tambahan terkepal erat. Tapi isi pikirannya tidak sedang membahas kelas apa pun.
Wajah Leo terus membayang. Tatapannya kemarin—dingin, penuh kendali—membekas kuat. Bukan hanya karena pria itu adalah target misi, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang… tidak biasa. Setiap gerak dan kata-katanya terasa seolah memiliki makna tersembunyi.
Aurelia berhenti di depan pintu kantor dosen. Ia tarik napas, lalu mengetuk dengan mantap.
“Masuk,” jawab suara berat dari dalam.
Saat pintu terbuka, Leo sedang duduk di belakang meja. Kemeja lengan panjangnya tergulung hingga siku, dan tatapan matanya langsung menembus Aurelia dalam sekejap.
“Aurelia, ya?” suaranya tenang, tapi tak sepenuhnya ramah.
“Iya, Pak. Saya diminta mengantarkan ini.” Ia menyerahkan map tanpa berani menatap terlalu lama.
Leo menerimanya, membuka sekilas, lalu mengangguk. “Cepat. Biasanya mahasiswa baru menunda sampai diingatkan.”
Aurelia tersenyum kecil, tapi tidak langsung pergi. Matanya menyapu ruangan—berharap menemukan sesuatu. Tapi ruang itu bersih nyaris steril. Tidak ada foto pribadi, tidak ada benda sentimental. Yang ada hanyalah rak buku penuh volume tebal dan beberapa catatan tulisan tangan dengan aksara asing.
Terasa ganjil. Terlalu netral untuk ruangan seorang dosen yang karismatik.
“Masih ada yang kau perlukan?” tanya Leo, memperhatikannya tanpa ekspresi.
“Saya… hanya penasaran, Pak.”
“Penasaran?”
Aurelia menelan ludah. “Kenapa Bapak memilih jadi dosen? Maksud saya, dengan penampilan dan... aura Bapak, saya kira Bapak lebih cocok jadi peneliti rahasia atau... bahkan semacam agen.”
Leo memandangnya beberapa detik, lalu tersenyum samar—senyum yang tidak hangat, melainkan penuh pertimbangan.
“Karena jadi dosen memberiku akses. Dan, lebih penting lagi, anonimitas.”
Jawaban itu membuat Aurelia terdiam. Entah jujur atau sedang bermain kata.
Leo berdiri perlahan, lalu berjalan ke rak buku di sampingnya. Ia mengambil satu buku tua dengan huruf Latin di sampulnya.
“Kau suka membaca?” tanyanya, tanpa menoleh.
“Kalau bukunya tidak terlalu membingungkan, saya suka,” jawab Aurelia jujur.
Leo menoleh, menatapnya. “Sayangnya, sebagian besar kebenaran tidak datang dalam bentuk yang mudah dipahami.”
Kata-katanya terdengar seperti pelajaran… atau peringatan. Aurelia diam, tapi pikirannya berpacu. Buku itu—judulnya tidak asing. Ia pernah melihatnya di koleksi terlarang milik Dario. Buku tentang simbol-simbol kuno.
Petunjuk? Atau jebakan?
Leo kembali ke mejanya, membuka halaman-halaman buku itu. Tanpa berkata apa pun lagi. Bagi Aurelia, percakapan telah berakhir. Tapi dalam hatinya, permainan baru saja dimulai.
---
Malam harinya, angin mengetuk jendela asrama seperti pertanda. Di kamarnya yang redup, Aurelia duduk dengan ponsel di tangan. Satu pesan muncul dari nama yang membuat napasnya berat: Dario.
> “Sudah lihat tubuhnya? Ada simbol?”
Ia mengetik cepat.
> “Belum. Tapi ruangannya bersih mencurigakan. Dan dia punya banyak buku tentang kode dan simbol aneh.”
Balasan datang seketika.
> “Kau harus lebih dekat. Dekati dia. Dapatkan kepercayaannya. Jangan lupa siapa yang kau bela.”
Aurelia menatap pesan itu lama. Ibunya. Satu-satunya alasan kenapa ia menuruti semua ini. Tapi perlahan, rasa ragu mulai menyusup dalam keyakinan.
Sementara itu, di tempat lain, Leo duduk sendiri dalam temaram lampu. Di tangannya, selembar surat tua yang mulai rapuh dibaca untuk kesekian kali.
Jika aku mati, jangan percaya siapa pun. Bahkan wanita cantik sekalipun.
Ia mendongak, menatap jendela. Samar, wajah Aurelia muncul di pikirannya. Dan entah mengapa, surat itu terasa lebih nyata malam ini.
---