Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 2
Langit senja mulai meredup saat Rania melangkah gontai menuju ke rumahnya. Setiap langkah terasa berat, seolah dunia menimpakan seluruh bebannya di pundak. Begitu memasuki rumah, Rania langsung menuju ke dalam kamarnya tanpa menyapa siapapun. Pintu kamarnya ditutup rapat, mengisolasi dirinya dari dunia luar.
Di dalam kamar yang remang remang, Rania berdiri terpaku menatap bayangannya sendiri di cermin. Kedua matanya sembab dan wajahnya pucat pasi, mencerminkan badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.
Perlahan ia merosot ke lantai, punggungnya bersandar pada dinding kamarnya yang dingin. Air mata yang sejak tadi tertahan, akhirnya mengalir deras membasahi pipinya.
Tangannya meraih bingkai foto di meja kecil sebelah tempat tidur. Sebuah foto keluarga yang diambil beberapa tahun lalu, saat semuanya masih terasa normal. Rania menelusuri wajah wajah yang ada di dalam foto itu dengan ujung jarinya, merasakan nostalgia yang menusuk hati.
Suara hatinya berbisik lirih, "Kenapa hidupku menjadi segelap ini ya tuhan? Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?"
Malam itu terasa begitu panjang, Rania terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri, mengingat kembali pertemuannya dengan Arzandra Adrasta. Ancaman pernikahan paksa dan pemasangan chip pelacak di tubuhnya membuat Rania merasa seperti burung dalam sangkar emas. Kebebasannya direnggut tanpa ampun.
Ketika fajar menyingsing, Rania masih terjaga. Kedua matanya menatap langit langit kamar, dengan tatapan matanya yang kosong tanpa ekspresi. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Rania pun bangkit dengan enggan dan membuka pintu.
Seorang pria berjas rapi, dengan ekspresi yang datar dan profesionalisme yang kaku, berdiri ambang pintu.
"Nona Rania, saya asisten tuan Adrasta. Saya ditugaskan oleh tuan Adrasta untuk mengantar anda pergi ke klinik."
Rania menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Rania mencoba mencerna kenyataan bahwa hari ini tubuhnya akan ditandai dengan jejak tak kasat mata-sebuah chip pelacak yang akan mengikatnya lebih erat pada Arzandra Adrasta.
Rania mengangguk pelan, lalu berbalik masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil tas kecilnya. Sebelum meninggalkan kamar, pandangan Rania kembali tertuju pada foto keluarga di meja. Dengan berat hati, Rania melangkah keluar mengikuti asisten Adrasta menuju ke mobil hitam yang terparkir di depan rumah.
Perjalanan menuju klinik berlangsung dalam keheningan yang menyesakkan, pikiran Rania dipenuhi pertanyaan dan ketakutan yang tak terucapkan. Rania menatap ke luar jendela mobil dan menyaksikan kota Jakarta yang mulai sibuk dengan aktivitas pagi. Namun pikirannya melayang entah kemana.
Setibanya di klinik, Rania langsung disambut oleh perawat yang langsung mengantarnya ke ruang prosedur. Ruangan itu terlihat bersih, hampir terlalu steril, dengan aroma antiseptik yang menusuk hidung. Seorang dokter wanita paruh baya dengan senyum tipis menyapanya.
"Silahkan duduk, nona Rania. Proses pemasangan chip pelacakannya akan dilakukan dengan cepat dan tidak akan menyakitkan. Kami akan menanamkan chip kecil tepat di lengan atas anda. Ini hanya memerlukan anestesi lokal."
Rania mengangguk lemah, membiarkan dokter melakukan apa yang harus dilakukan. Jarum suntik menyentuh kulitnya, dan dalam hitungan menit pemasangan chip pelacak itu selesai dilakukan. Namun, rasa dingin menjalar dari titik implantasi seolah menandakan bahwa Rania benar benar berada di bawah kendali Rafael.
Setelah pemasangan chip pelacak dilakukan, Rania keluar dari klinik dengan asisten Adrasta yang masih menunggunya.
"Tuan Adrasta ingin bertemu dengan nona, sekarang."
Rania menghela napas panjang dan mencoba mengumpulkan keberanian. Ia kembali masuk ke dalam mobil menuju pertemuan yang mungkin akan menentukan nasibnya selanjutnya.