Tiga gadis desa yang memiliki pemikiran sama, tidak mau menikah muda layaknya gadis desa pada umumnya. Mereka sepakat membuat rencana hidup untuk mengubah citra gadis desa yang hanya bisa masak, macak dan manak di usia muda, menjadi perempuan pintar, santun, dan mandiri.
Nayratih, dan Pratiwi terlahir dari keluarga berada, yang tak ingin anak mereka menikah muda. Kedua orang tua mereka sudah berencana menyekolahkan ke luar kota. Terlebih Nayratih dan Pratiwi dianugerahi otak encer, sehingga peluang untuk mewujudkan citra perempuan desa yang baru terbuka lebar.
Tapi tidak dengan, Mina, gadis manis ini tidak mendapat dukungan keluarga untuk sekolah lebih tinggi, cukup SMA saja, dan orang tuanya sudah menyiapkan calon suami untuk Mina.
Bagaimana perjuangan ketiga gadis itu mewujudkan rencana hidup yang mereka impikan? ikuti kisah mereka dalam novel ini.
Siapkan tisu maupun camilan.
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ADU MULUT
Kepalan tangan Mina menunjukkan betapa marah gadis itu pada keputusan orang tuanya, secara sepihak menentukan masa depan Mina tanpa mau mendengar pendapat Mina.
Memang pikiran keduanya ingin perekonomian keluarga segera naik, perjodohan Mina dianggap satu-satunya cara untuk mengangkat derajat keluarga. Padahal belum tentu juga, bisa jadi setelah menikah Mina sangat dibatasi berhubungan dengan keluarga, sangat mungkin terjadi karena calon suami Mina tentu sudah memberikan uang yang tak sedikit pada kedua orang tua Mina.
Hufh, gini amat nasib Mina.
Kalau boleh memilih tentu ia tak mau dilahirkan dalam keluarga ini. Terlalu mendewakan uang dengan berbagai cara. Harusnya kalau mau lancar perekonomian, ya harus kerja keras. Lihat ayahnya saja berangkat kerja malas-malasan, padahal ikut menggarap sawah orang. Ibu juga begitu, kalau punya uang lebih langsung beli baju. Padahal belum tentu ada kondangan.
Mina ingin memutus rantai kemiskinan keluarga. Bayangannya ia merantau ke kota atau bahkan menjadi TKW, tak apa. Setidaknya ia berjuang mandiri dulu, tanpa bergantung pada orang lain.
"Alhamdulillah, Yah. Setidaknya dapur kita bisa mengepul terus ini," ucap ibu bahagia sembari melihat lembaran uang merah.
Miris, Mina ingin menangis, menjerit ketika melihat pola tingkah orang tua seakan menjual dirinya pada Pak Camat yang baru beberapa bulan lalu ditinggal istrinya, karena kecelakaan. Bayangkan saja soal usia, sudah terpaut sangat jauh. Bahkan dengan ayahnya saja, tua Pak Sul, ya Allah gusti, kok tega mereka hanya karena uang.
"Puas?" sindir Mina dengan tegas. Kedua orang tua Mina langsung terdiam, mungkin ada perasaan bersalah. Ini masih siang bolong, Mina sudah tak tahan ingin menumpahkan seluruh amarah yang terpendam.
"Min..Mina, kapan kamu datang?" tanya ibu terbata, spontan beliau menoleh ke arah jendela, berharap Pak Sul masih ada di sekitar rumah.
"Tak penting kapan Mina datang, asal ayah dan ibu tahu, aku gak mau nikah dengan Pak Sul!" Mina mulai emosi, dan tahu reaksi sang ayah.
Beliau langsung berdiri dan meletakkan lembaran uang itu ke meja dengan kasar. Ayah mendekati Mina.
Plak
Sebuah tamparan mendarat di pipi Mina.
"Ya Allah, Ayah!" teriak Ibu histeris, tak menyangka sang suami tega menampar putri sulungnya.
"Sudah, Yah!" tarik Ibu menjauhkan sang suami di hadapan Mina.
"Gak bisa, Buk. Dia sudah keterlaluan, dia sudah menolak laki-laki berapa kali. Kurang ajar memang. Kita selama ini sabar, menuruti keinginannya untuk sekolah dulu, menolak lamaran beberapa laki-laki, sekarang dia sudah lulus, Pak Sul melamar malah ditolak. Goblok!"
"Iya, Yah, sudah, jangan menampar Mina juga!"
"Anak ini kalau gak dikerasin, selalu saja ngelunjak!" ucap Ayah dengan berapi-api sambil menunjuk Mina.
"Kamu pikir kamu mau kerja dulu, merantau itu bakalan langsung punya uang? Enggak! Kamu ini dikasih di depan mata kekayaan malah ditolak. Sikapmu kayak gini merugikan ayah sama ibu, pikir kalau mau menolak Pak Sul!"
"Kenapa kalian gak mau sedikit saja memberi aku kebebasan buat menentukan masa depanku sendiri. Kalau aku kerja, uangku juga buat keluarga, aku gak akan egois membiarkan keluarga kita terus kekurangan!"
"Berapa lama? Emang kamu nyari kerja langsung dapat? Sudahlah, ikuti saja aturan ayah sama ibu, kamu tidak akan menyesal."
"Bahkan kamu harusnya bersyukur mendapat suami seperti Pak Sul, beliau sudah tua, habis ini! Eh Astaghfirullah," ibu langsung menutup mulut, keceplosan.
"Licik!" sahut Mina, meski pelan tapi terdengar menusuk.
"Gak usah munafik, apa yang diucapkan ibu kamu benar! Makanya ayah langsung menyetujui lamaran Pak Sul, tanpa meminta persetujuan kamu. Tidak seperti laki-laki yang melamar kamu sebelumnya, harta mereka masih belum sebanyak Pak Sul!"
Mina menggeleng tak percaya, efek mendewakan uang bisa mengubah kepribadian ayah dan ibunya seperti ini.
"Kapan nikahnya?" tanya Mina tiba-tiba, otaknya sudah menyusun rencana untuk membatalkan pernikahan ini, dengan cara yang baik pasti. a yakin Pak Sul orang berpendidikan yang punya pemikiran jangka panjang.
"2 minggu lagi," jawab ayah enteng, tanpa rasa bersalah. Mina hanya bisa memejamkan mata. Kepalanya semakin pusing memikirkan perjodohan ini, sangat tidak masuk akal. Tak mau berdebat lebih, ia memilih masuk kamar. Menangis sejadi-jadinya.
Risma melihat semuanya, ia pun ikut menangis. "Mbak!" ucapnya sembari mengelus pundak Mina yang naik turun.
"Aku padahal punya rencana biar keluarga kita keluar dari kemiskinan. Aku akan bekerja keras untuk itu, agar kamu, ayah dan ibu tak perlu kesusahan lagi. Kalau aku punya uang lebih akan aku tabung, agar kamu juga bisa sekolah lebih tinggi dari Mbak! Tapi ayah dan ibu, tega!" Risma semakin sesenggukan, di saat Mina dalam kondisi susah begini masih memikirkan nasib sang adik. Sungguh baik hati, tapi takdir masih belum berjalan baik.
"Kalau Mbak gak mau nikah, biar aku saja!" ucap Risma kemudian. Bantal yang menutipi wajah Mina lantas dilempar begitu saja. Ucapan Risma seperti petir dalam siang bolong.
"Gila kamu, Ris!" ucap Mina langsung terduduk.
"Aku gak pa-pa, Mbak!"
"Ris, Mbak saja gak mau nikah muda. Kenapa kamu berpikir seperti ayah dan ibu sih! Sudah gak zaman kita nikah muda sekarang. Kita mandiri dulu baru berpikir menikah, Risma!"
Gadis remaja itu menggeleng, sembari mengusap air mata di pipi, Risma pun mengaku. "Aku sudah capek dengan kehidupan rumah ini, Mbak! Aku sudah capek kelaparan! Aku gak mau bermimpi soal masa depan, aku lebih menerima apa yang ada di depanku, termasuk menikah muda."
"Ya Allah, Ris! Kenapa kamu pendek sekali mikirnya!"
Risma kembali menggeleng, "Aku capek, Mbak! Setidaknya kalau menikah dengan Pak Sul, aku tidak akan kelaparan. Pak Sul sendiri orangnya baik, gak ada ruginya kalau aku menikah dengan beliau."
"Ris, pikirkan dengan masa depanmu. Kamu berhak menikmati masa muda kamu, berkarya, bukan menikah, Ris!"
Risma menepuk tangan sang kakak dengan lembut, "Aku lebih siap menikah muda, daripada berjalan dengan impian yang belum tentu terwujud."
"Kamu belum mencoba, Risma. Pernikahan juga gak sebagus kamu bayangkan, dengan usiamu yang masih labil seperti ini. Jangan pernah merendahkan harga dirimu hanya karena kelaparan! Tolong, Ris. Jangan menggantikan Mbak, aku akan menemui Pak Sul untuk mencari jalan keluar bersama!"
"Mbak, tapi?"
"Soal ayah ibu gak usah dipikirkan dulu, Mbak harus menyelesaikan sebelum jumat. Lebih cepat lebih baik!"
"Kalau buntu?"
"Ya terpaksa, Mbak menerima. Apalagi orang tua kita sudah mendapatkan uang dari beliau."
"Mbak, mbak yakin. Beneran aku gantikan gak pa-pa! Aku benar-benar sudah capek dengan keadaan di rumah ini. Kalau menunggu aku SMA belum tentu jodohku nanti seperti Pak Sul."
"Plis, jangan mendewakan harta, Ris."
"Aku gak munafik, Mbak aku butuh harta. Aku sudah capek miskin, kalau Mbak besok mau ke Pak Sul aku ikut!"
"Jangan gila kamu!" sentak Mina.