Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Beberapa saat kemudian, pintu kamar diketuk.
Seorang perawat masuk, diikuti oleh seorang dokter wanita muda yang tersenyum ramah.
“Selamat pagi, Ny. Nayla,” sapa sang dokter. “Kami sudah mendapatkan hasil evaluasi pascaoperasi Anda. Dan ada beberapa hal yang ingin kami bahas.”
Reyhan segera berdiri dan membantu Nayla duduk tegak.
Dokter itu melanjutkan penjelasannya dengan tenang. “Kondisi Anda cukup baik. Fungsi hati perlahan mulai menyesuaikan dengan tubuh Anda. Namun, karena adanya kehamilan, kami akan menyesuaikan pengobatan agar aman untuk janin. Kami juga akan terus memantau pertumbuhan bayi Anda.”
Nayla menatap Reyhan, lalu mengangguk pelan ke arah dokter. “Jadi... aku bisa mempertahankan kehamilan ini?”
“Untuk saat ini, tidak ada indikasi yang mengharuskan pengguguran,” jawab dokter itu tegas. “Selama Anda menjaga kondisi dan terus melakukan pemeriksaan rutin, kami yakin semuanya bisa dilalui dengan baik.”
Setelah dokter dan perawat keluar, Reyhan menarik napas lega.
“Kita akan melewati ini, Nay,” katanya lembut, meraih tangan Nayla. “Kita akan pulang ke Indonesia dalam beberapa minggu ke depan. Tapi sebelum itu… aku ingin kita menikmati waktu ini, di tempat yang jauh dari semua tekanan. Hanya kita bertiga.”
Nayla mengangguk, matanya memancarkan rasa syukur yang mendalam. “Terima kasih, Rey… untuk semuanya.”
“Jangan bilang terima kasih,” Reyhan tersenyum, “karena mulai sekarang… hidup kita bukan tentang saling membalas. Tapi tentang saling menjaga.”
Nayla meremas jemari Reyhan. Ia merasa lebih kuat. Bukan hanya karena tubuhnya yang mulai pulih, tapi karena ada cinta yang tidak pernah pergi dari sisinya.
Dan cinta itu... kini tumbuh di dalam dirinya, dalam bentuk yang paling kecil dan paling berarti.
***
Pagi itu udara terasa hangat, berbeda dengan hari-hari pertama mereka di rumah sakit. Di ruang rawat yang sudah mulai terasa seperti kamar pribadi, Nayla duduk di sofa, ditemani Mama dan Papa yang sedang membacakan hasil pemeriksaan kehamilan dari dokter.
“Nayla sehat, bayi juga kuat,” ucap Mama dengan senyum lega. “Dokter bilang kondisimu membaik. InsyaAllah ini awal yang baru.”
Pak Adnan mengangguk. “Alhamdulillah. Kamu kuat, Nak. Lebih kuat dari yang kamu kira.”
Reyhan masuk dengan membawa dua gelas jus segar. “Semuanya harus minum, ya. Terutama kamu, Nayla. Vitamin dari buah lebih baik untuk kamu dan si kecil.”
Nayla menyambut gelas dari Reyhan sambil tersenyum. “Iya, Pak Suami.”
Reyhan mendekat, duduk di sisi Nayla sambil menggenggam tangannya.
“Dokter bilang kalau pemulihan kamu berjalan sangat baik,” ucap Reyhan pelan namun jelas. “Kita bisa bersiap pulang ke Indonesia dalam waktu dekat.”
Mata Nayla berbinar. “Pulang?”
Reyhan mengangguk. “Ya. Tapi tetap dengan kontrol berkala. Kita akan tinggal dekat rumah sakit besar. Semua sudah kuurus. Kamu nggak perlu mikir apa-apa.”
Pak Adnan berdiri dan menepuk bahu Reyhan dengan bangga. “Papa titip Nayla dan cucu Papa, ya, Rey.”
Reyhan menoleh, menatap mertua yang kini bukan hanya ayah dari istrinya, tapi juga orang yang menyelamatkan nyawa istrinya.
“Terima kasih, Pa. Saya janji akan menjaga Nayla seumur hidup saya.”
Nayla tersenyum, menggenggam tangan suaminya lebih erat.
“Dan kita akan hidup lebih jujur mulai sekarang, ya?” ucap Nayla pelan, matanya mengarah ke Mama dan Papa. “Aku janji nggak akan menyembunyikan apa pun lagi.”
Mama tersenyum dan merangkul Nayla. “Kami nggak pernah minta kamu sempurna, Nak. Kami cuma ingin kamu bahagia dan tahu bahwa kamu nggak sendiri.”
Tangis haru pun pecah kembali di ruangan itu. Tapi kali ini bukan karena takut, bukan karena sakit. Tapi karena kebahagiaan dan rasa syukur.
Untuk hidup baru.
Untuk kesempatan kedua.
Dan untuk cinta yang akhirnya benar-benar utuh.
***
Tiga minggu kemudian, keluarga kecil itu tiba kembali di Indonesia. Meski masih harus melakukan kontrol berkala dan menjaga pola makan serta istirahat, Nayla terlihat jauh lebih sehat. Wajahnya lebih cerah, dan perutnya mulai menonjol sedikit, tanda kehidupan baru tumbuh di dalam dirinya.
Rumah orang tuanya yang sempat ia tinggalkan selama masa pengobatan kini menjadi tempat pertama yang mereka kunjungi. Mama dan Papa menyambut dengan pelukan hangat dan air mata syukur.
"Selamat datang kembali, Sayang," ucap Mama sambil menempelkan keningnya ke dahi Nayla. "Kami bangga padamu."
Pak Adnan berdiri di belakang mereka, menatap putrinya dengan tatapan teduh, lalu menatap Reyhan yang berdiri menggandeng tangan Nayla.
"Kalian sudah melewati ujian besar," katanya. "Sekarang waktunya kalian membangun kembali hidup kalian, dengan bahagia."
Reyhan tersenyum. "Terima kasih, Pa… Ma. Untuk semua pengorbanannya."