Hamdan seorang siswa SMA kelas dua. Sedari kecil sudah tinggal di Panti sehingga dia tidak pernah tahu akan keberadaan orang tuanya.
Hamdan sangat suka silat tapi dia tidak punya bakat.
Setiap kali latihan, dia hanya jadi bahan ledekan teman-temannya serta omelin Kakak pelatihnya.
Suatu hari Hamdan dijebak oleh Dewi, gadis pujaan hatinya sehingga nyawanya hampir melayang.
Tak disangka ternyata hal itu menjadi asbab berubahnya takdir Hamdan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penghinaan
"Tubuh aku lain dari pada yang lain, Kak. Dengan balsem, rasa sakit di tubuh aku bisa sembuh."
"Huh. Terserah kamu lah kalau begitu."
Yati ngeloyor pergi.
Dia sangat faham sifat Hamdan sedari kecil.
Dia anak yang pendiam. Tak suka cari keributan.
Tapi dia juga keras hati. Akan mempertahankan pendapatnya jika dia merasa hal itu benar.
Sehingga tak jarang dia akan berselisih faham dengan orang lain gara-gara sifatnya itu.
Setelah istirahat yang cukup, Hamdan mulai membersihkan pekarangan rumah. Rumput yang mulai panjang dicabutinya lalu dibakar.
Setelah selesai bersih-bersih, Hamdan segera mandi.
Lepas maghrib, mereka akan belajar mengaji dengan Haji Umar. Ini merupakan kegiatan wajib. Tak ada toleransi bagi mereka yang sengaja tak mau ikut.
Cahaya bulan menerobos melalui celah ventilasi. Cuaca semakin dingin.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam.
Hamdan belum bisa tidur. Dia resah dengan keadaan dirinya sendiri.
Hamdan sekamar bertiga dengan anak yatim lainnya. Teman sekamarnya masih kecil. Mereka berdua masih kelas tiga SD.
Hamdan bangkit.
Memar ditubuhnya sudah mulai pulih. Dia sudah tidak merasakan nyeri sedikit pun.
Dia tak habis pikir dengan dirinya. Sudah hampir dua tahun dia belajar silat tapi ilmu pukulan dan tendangan dasar saja masih sering salah seolah-olah tubuhnya tidak menerima ilmu bela diri.
Pada hal, jika menyangkut pelajaran lain, ota*nya tidak ada masalah.
'Apa benar aku tidak punya bakat dalam ilmu silat?' Semangat Hamdan menjadi lemah.
'Tapi bagai mana mungkin? Aku ingin menjadi kuat. Aku ingin ikut bertanding mewakili sekolah bahkan aku ingin bertanding mewakili Kabupaten.'
'Jika terus begini bagai mana aku bisa menjadi kuat?'
Hamdan menjambak rambutnya dengan geram.
Dia berdiri. Lalu mengambil posisi push up.
Hamdan mulai push up hingga kedua tangannya tak mampu lagi menumpu berat tubuhnya.
Nafas Hamdan terengah-engah.
Bukannya berhenti, dia malah melanjutkan dengan gerakan sit up.
Hamdan terus menyiksa dirinya sendiri hingga ke batasnya.
Tubuh Hamdan dibasahi oleh keringat.
Untung saja kedua anak itu tidur dengan nyenyak sehingga tidak ada yang mempertanyakan prilaku Hamdan yang abnormal itu.
...****************...
Masa sekolah adalah masanya anak-anak muda untuk bersuka cita.
Masa sekolah adalah masa pubertas.
"Lihat! Lihat! Itu si Dewi."
"Dia cantik sekali."
"Selain cantik, dia juga kaya. Coba kamu lihat mobilnya. Bukan kah itu mobil keluaran terbaru?"
"Kalau saja aku bisa jadi pacarnya. Aku rela tak makan selama setahun."
"Kalau itu yang terjadi, maka tanggal hari ini di tahun depan akan menjadi peringatan kemat*anmu."
Hamdan baru saja sampai di gerbang sekolah saat terdengar obrolan para siswa sekolah SMA Selat Panjang.
Dia langsung menoleh ke arah Dewi.
Pandangannya sangat rumit.
Setiap kali melihat sosok Dewi, tubuh Hamdan langsung kaku. Nafasnya pun sesak. Dia benar-benar tersihir oleh kecantikan Dewi yang aduhai.
"Duk...!"
Minggir kau bocah!"
Hamdan langsung terjajar ke pintu gerbang karena didorong oleh seseorang.
"Hei! Jangan cari pasal!"
Hamdan meradang.
"Kenapa? Tidak senang?"
"Memang aku tak senang." Hamdan berang.
Pemuda itu bergerak maju.
Tangan kanannya secepat kilat menarik kerah Hamdan.
"Coba kamu ulangi sekali lagi!"
"A-aku ti-dak s-senang."
Hamdan berusaha menarik nafasnya yang terasa sesak akibat kerah bajunya mencekik leher.
"Ooo kamu tak senang ya. Ambil ini!" Pemuda itu mendorong Hamdan hingga memepet ke gerbang.
Hamdan meronta untuk melepaskan diri tapi tak bisa.
Dia mencoba menendang. Karena jaraknya terlalu dekat tentu saja tendangannya tidak akan berhasil.
Namun saat dia mengangkat kakinya, lututnya tanpa sengaja mengenai area terlarang pemuda yang bernama Rangga itu.
Rangga meringis menahan sakit.
Tangannya bergerak cepat.
"Plak!!! Plak!!!"
Tangan kirinya menampar wajah Hamdan, kiri-kanan.
Keributan itu sontak mengundang siswa lain mendekat. Mereka ingin tahu apa yang terjadi.
Ternyata Dewi juga penasaran. Dia dengan perlahan melangkah pergi, melihat situasi.
Wajah Hamdan sudah babak-belur. Dia tidak mampu melawan tapi dia juga tidak akan menyerah.
Pada hal yang dilawannya adalah Rangga. Siswa terganteng kelas tiga dan juga atlet bela diri sejenis karate.
"Siswa bod*h mana yang berani cari gara-gara dengan si Rangga itu?"
"Entah lah. Wajahnya bengkak jadi sulit dikenali."
Hamdan ingin melawan tapi tidak mampu.
Rangga sedikit pun tidak memberikan kesempatan.
"Apa yang terjadi, Rangga?"
Rangga menghentikan tindakannya.
"Eh, Dewi. Mengapa kamu ada di sini?" Rangga tersenyum manis. Tidak nampak lagi ekspresinya yang garang tadi.
"Siswa ini memandang kamu hingga meneteskan air liur. Aku rasa, dia punya pikiran kotor terhadap kamu sehingga aku berinisiatif memberikan sedikit teguran terhadapnya."
"Eh, siapa sangka dia malah melawan. Jadi terpaksa aku harus memberikan pelajarannya sedikit."
"Benar kah?" Mata Dewi membulat.
Dia memandang ke arah Hamdan.
"Siapa kamu?"
Hamdan berdebar melihat Dewi sedekat ini.
Dia melupakan rasa sakitnya saat melihat wajah pujaan hati yang sedang memandang ke arahnya.
"Jawab pertanyaannya, bocah!"
Rangga menendang kaki Hamdan.
"Eh, bukan kah dia si Hamdan. Siswa kelas dua. Dia sekelas sama kita, Dewi."
Seorang siswi menjelaskan kepada dewi. Dia adalah gadis cantik berkulit putih.
Namun dibandingkan dengan sang Dewi, kecantikannya seolah-olah memudar.
"Ooo jadi ternyata ini si Hamdan. Siswa yang tak naik tingkat selama dua dalam kegiatan ekskul silat."
"Jadi ini si bod*h yang tidak punya bakat bela diri itu."
"Siswa seperti dia bermimpi ingin mendapatkan Dewi. Dia terlalu banyak bermimpi."
"Kamu Hamdan?"
Di bawah pesona Dewi, Hamdan hanya bisa mengangguk.
"Mau kah kamu menjadi pacarku?"
Hamdan mengerjap tak percaya. Dia hanya bisa ternganga.
Para siswa yang lain pun sangat terkejut.
"Dewi??"
"Ha ha wajah mu itu membuat aku mau munt*h." Dewi terkekeh. Dia tahu banyak orang yang menyukainya tapi dia tidak menyangka ada orang yang senaif siswa di hadapannya ini.
"Kamu Hamdan kan? Mengingat kita adalah teman sekelas, aku akan memberikan sebuah nasehat kepadamu."
"Sebaiknya kamu cuci muka dan berkaca terlebih dahulu sebelum menyukai seseorang."
"Orang seperti kamu, jangan kan untuk menjadi pacar aku, sedangkan untuk membawa sepatu aku saja tidak layak."
Setelah berkata begitu, Dewi langsung berlalu diikuti oleh siswa yang lain.
Sambil berjalan, mereka memandang Hamdan dengan pandangan cemooh.
"Ha ha....Hamdan...Hamdan..."
"Kasihan sekali kamu ya. Kamu ini ibarat pungguk merindukan bulan. Jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan Dewi."
"Kamu harus melewati aku dulu sebelum berani merayu Dewi."
Hamdan ditinggal sendirian. Baru sekarang dia merasakan sekujur tubuhnya sakit semua.
Hamdan meringis menahan sakit. Dia hanya bisa menggertakkan giginya menahan marah. Bukan marah kepada Dewi, tapi marah kepada Rangga.
Karena hatinya sudah terpaut kepada Dewi, ucapan Dewi yang penuh penghinaan itu dianggapnya hanya angin lalu.
Hamdan benar-benar telah terbius.