NovelToon NovelToon
Soulmate

Soulmate

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta pada Pandangan Pertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Karir / Persahabatan / Romansa / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: sJuliasih

Saling suka, nyatain perasaan, terus pacaran?! Nyatanya nggak semudah itu.

Buktinya aja Freya, si anak beasiswa. Dan Tara, sang ketos si anak donatur. Mereka cinlok, sama-sama suka, tapi terpaksa harus back street .

Alasannya klasik dan klise. Bokap Tara nggak setuju kalo anaknya itu pacaran, terlebih sama Freya yang beda kasta dengan keluarga mereka.

Hingga Tara pun harus kuliah ke luar negeri dan putus komunikasi sepihak dengan Freya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sJuliasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Setiap kali Freya melihat sang bunda, setiap kali juga hatinya merasa nelangsa. Di usia yang sudah menginjak kepala empat, tak seharusnya sang bunda bekerja membanting tulang sekeras itu. Seolah tak di beri pilihan oleh kehidupan, Tari, bunda Freya, terpaksa melakoni usaha kecil-kecilannya sebagai pemilik laundry.

Garasi kecil yang berada di samping rumah, Tari manfaatkan sebagai lahannya untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah. Walau letaknya jauh dari keramaian, setidaknya Tari bersyukur karena sudah memiliki beberapa pelanggan tetap.

"Kamu udah pulang Frey?" Tari menoleh ke arah pintu di mana Freya sudah berdiri di sana selama beberapa menit.

"Ud.. Udah bun, barusan aja." Freya memalingkan wajah seraya menyeka ujung matanya yang sedikit basah.

"Yaudah sana masuk. Pamali anak gadis berdiri di depan pintu." tukas Tari seraya merapikan baju-baju yang habis ia setrika.

Freya mengangguk walau Tari tak melihat.

"Ini mau di antar sekarang bun?!" Freya menatap tumpukan baju milik para pelanggan yang sudah tersusun rapi.

"Iya Frey, tapi kamu makan dulu sana. Bunda udah masakin makanan kesukaan kamu." Tari tak menoleh dan masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Memangnya bunda udah makan?"

"Ngapain mikirin bunda sih Frey. Udah sana kamu ganti baju, terus makan, makannya yang banyak biar kuat...."

"Kuat menghadapi kenyataan kan bun?!"

Tari menoleh memasang raut wajah bersalah. "Nah itu kamu tau. Udah sana keburu dingin itu lauknya." Meskipun begitu ia masih bisa melontarkan candaan di depan Freya.

Freya hanya menyengir lalu melangkah menuju ke kamarnya.

Usai menyantap makan siang, Freya yang tau akan tugasnya bergegas menemui Tari. Menanyakan beberapa alamat, kemana ia akan mengantarkan baju para langganan sang bunda.

"Udah kamu catet belum Frey alamatnya? Entar lupa lagi di tengah jalan." Tari mengingatkan.

"Aman bos." Freya pun lansung menyalakan mesin motornya.

"Yaudah, kamu hati-hati. Kalo udah selesai, langsung pulang." pesan Tari menaruh kekhawatiran.

Andai ia memiliki penghasilan lebih, mungkin ia akan menyewa jasa orang lain untuk membantu usaha kecil-kecilannya itu dan tidak lagi melibatkan Freya dalam urusan mencari nafkah.

"Pulang ke mana bun?"

"Ke rumah pak RT! Ya kerumah kita lah FREYA. Memangnya rumah kita ada berapa?!"

Freya pun tertawa lepas mendengar humor dari sang bunda yang terkadang menghibur hatinya.

Tak ingin berlama-lama bersantai, bergegas Freya melajukan motor maticnya menuju ke area komplek perumahan yang berjarak tak jauh dari rumahnya.

Di tengah perjalanan, sesekali Freya menengadah, menatap langit yang mulai berubah dan terlihat sedikit mendung. Gadis yang baru kemarin genap berusia 17 tahun itu semakin mempercepat laju motornya. Takut sewaktu-waktu hujan akan turun dengan tiba-tiba.

Dan benar saja sesuai dugaannya, setelah mengantarkan baju milik pelanggan sang bunda ke alamat yang terakhir, rintik-rintik hujan pun mulai turun satu persatu. Tanpa memperdulikan medan jalan yang akan ia lalui, Freya memacu motornya dengan sangat kencang. Seolah sangat yakin bahwa ia memiliki nyawa lebih dari satu.

Tanpa di beri jeda sedikit pun, rintik itu seketika berubah menjadi butiran kasar yang semakin lama semakin memburu untuk turun. Bau debu dari aspal mulai menguar. Kaos putih dan celana jeans yang di kenakan Freya akhirnya basah tanpa celah.

Pandangan Freya sedikit memburam karna air hujan memenuhi kelopak matanya. Hingga secara tak sengaja, motor maticnya menabrak sebuah batu berukuran cukup besar.

Kendaraan roda dua itu pun kehilangan kendali. Freya terjatuh bersamaan dengan motor kesayangannya.

Lutut Freya lah yang pertama kali bersentuhan dengan aspal. Ia meringis kesakitan di tambah lagi tubuhnya yang kecil harus menahan beban dari motornya.

Suasana jalan yang sepi membuat Freya cukup merasa putus asa. Berteriak pun rasanya percuma, hanya suara hujan yang terdengar nyaring. Namun bukanlah Freya namanya jika menyerah begitu saja pada keadaan.

Dengan sekuat tenaga, Freya berusaha menarik kakinya yang terhimpit motor. Ia mengerang, bersamaan dengan itu terdengar samar suara motor sport yang berhenti di sisi jalan.

"Lo nggak papa?!" suara seorang lelaki terdengar dari balik helm full face nya.

Tanpa menunggu jawaban dari Freya, lelaki yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam itu bergegas membantu Freya. Lalu membawa Freya ke sisi jalan.

"Lutut lo berdarah, kita ke rumah sakit ya!" suara lelaki itu terdengar tidak asing di telinga Freya.

"Nggak usah, gue nggak papa. Gue mau pulang aja." sahut Freya sambil menahan perih di lutut dan sikunya yang ternyata juga terluka.

"Gue anter!"

Freya menggelengkan kepalanya sembari menatap ke arah motornya yang kini sudah berada di dekat motor lelaki yang membantunya barusan. Sigap juga lelaki itu ternyata, batin Freya.

"Apaan lo nggak mau. Udah cepet naik.!" pinta lelaki itu lagi.

"Motor gue gimana?!" suara Freya sedikit bergetar.

"Bisa-bisanya lo mikirin benda mati itu. Pikirin diri lo dulu, Frey." bentak lelaki itu setelah membuka kaca helmnya.

'Tara!' Freya tak menyangka siapa sosok lelaki yang kini ada di hadapannya.

"Ini pake jaket gue." tiba-tiba Tara melepas jaketnya lalu ia tutupi tubuh Freya yang sudah basah itu.

Sekali ini Freya menurut dan mengindahkan ucapan Tara. Dengan perlahan, Freya menaiki motor Tara dan membiarkan lelaki berhidung bangir itu mengantarnya pulang.

"Nggak pegangan lo?"

Walau ragu dan merasa risih, Freya mulai melingkarkan tangannya di pinggang Tara. Membuat senyum lelaki itu mengembang sempurna di balik helm.

Andai waktu bisa berhenti, Tara ingin terus sedekat itu dengan Freya. Rangkulan tangan Freya terlalu nyaman, membuat Tara terlupa akan rasa dingin dari hujan yang terus menghujam tubuhnya.

Berpuluh-puluh menit berlalu, motor Tara akhirnya tiba di depan rumah Freya. Usai turun dari motor sportnya, dengan cekatan Tara membantu Freya yang kesulitan berjalan akibat insiden tak terduga tadi.

"Freya... Ya ampun, kamu kenapa basah kuyup begitu? Terus itu lutut kamu kenapa berdarah?" jelas Tari begitu khawatir melihat kondisi Freya.

"Freya jatuh tadi bun. Terus motornya Freya tinggal di jalan deket komplek perumahan." jelas Freya.

"Yaudah sekarang kamu ganti baju dulu. Habis itu biar bunda obati lutut kamu."

"Iya bun." Freya pun melangkah menuju ke kamarnya dan mengabaikan Tara yang sejak tadi bersamanya.

"Makasih ya, kamu udah mau nganterin Freya pulang." tukas Tari sembari menatap Tara yang baru saja melepas helm.

"Iya tante. Hm.. Soal motor Freya, tante nggak usah khawatir ya, karna motornya udah di bawa montir langganan saya biar di service dulu." jelas Tara.

"Yaudah kalo begitu, saya pamit ya tante." sambung Tara.

"Loh kenapa buru-buru?!"

"Nggak papa tante, lagian Freya juga harus istirahat. Saya pamit ya tan, titip salam sama Freya."

"Iya, sekali lagi makasih ya."

Tara hanya mengangguk, kemudian bergegas pergi meninggalkan kediaman Freya yang sederhana dan terasa sepi karna hanya dua penghuni saja yang tinggal di dalamnya.

***

"Yakin hari ini mau ke sekolah, Frey?" Tari menatap putrinya yang tengah menikmati sarapan.

"Yakin lah bun." sahut Freya singkat.

"Tapi kamu habis jatuh loh Frey. Memangnya lutut kamu udah nggak sakit?" Tari menatap lekat wajah Freya.

Freya tersenyum sebelum mengatakan. "Bun, Freya nggak mau nyerah cuma karna jatuh dari motor, apalagi sampe nggak datang ke sekolah. Bukannya bunda sendiri yang bilang, calon orang sukses itu nggak boleh lemah, dan harus berdiri lagi kalo jatuh. Misal pun nggak bisa lari, ya jalan santai juga nggak masalah. Yang terpenting nggak berhenti apalagi sampe putar balik."

"Kamu bener sayang. Yaudah habisin sarapan kamu, udah hampir jam 7 loh." ujar Tari menunjuk jam yang bertengger di dinding ruang tengah.

"Siap laksanakan." Freya memasang pose hormat hingga Tari hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya.

Karena motornya masih berada di bengkel langganan Tara, Freya pun memutuskan menaiki bus menuju ke sekolah. Walau sedikit kesulitan, namun itu bukan lah sebuah hambatan bagi Freya.

"Lutut lo kenapa Frey?" tanya Andre saat melihat lutut Freya di balut perban.

"Abis silaturahmi sama aspal gue semalem." jawab Freya seraya duduk di kursinya.

"Makanya jangan sok cosplay jadi Mark Marquez lo kalo lagi bawa motor."

"Ada apa nih ribut-ribut?" Hana yang baru datang bersama Risa langsung menghampiri tempat duduk Freya.

"Lo berdua liat deh lututnya si Freya, abis balap liar dia semalem sama Valentino Rossi." cercah Andre menunjuk ke arah lutut Freya.

"Astaga Frey." Risa menggelengkan kepala seraya menatap Freya yang memasang wajah polos tak berdosa.

"Udah ya guys, lutut gue itu cuma lecet dikit jadi nggak usah pada lebay."

Percakapan tak penting dan tak berbobot itu pun harus berakhir ketika bel berbunyi, menandakan jam pelajaran pertama akan di mulai.

Seperti hari-hari biasa, Freya tetap bersemangat dan antusias mendengar penjelasan dari gurunya. Berbeda dengan ketiga sahabatnya, yang entah sudah berapa kali menguap dan menyenderkan kepala di atas meja.

"Lo pada nyium bau sesuatu yang terbakar nggak sih?" Andre membuka suara setelah jam pelajaran usai.

"Nggak tuh." jawab Freya dan mendapat anggukan dari Hana.

"Masak sih? Kok baunya pekat banget ya di indera penciuman gue." sambung Andre.

Sementara Freya dan Hana sibuk mencari sumber bau tersebut.

"Astaga!!!" pekik Andre sok serius.

"Kenapa Ndre?" Risa tersentak.

"Ternyata itu sumber bau nya guys." Andre menunjuk ke arah Risa yang tampak frustasi.

"Mana sih?" Hana semakin bingung. Sementara Freya yang sudah tau maksud Andre hanya menghela nafas pelan melihat tingkah absurd sahabatnya.

"Lo nggak liat apa Han, kepulan asap yang keluar dari kepala Risa?"

Hana seketika terbahak. "Yaelah kirain apaan, taunya otak si Risa melepuh karna nggak sanggup menampung rumus fisika."

"Diem nggak lo?!" Risa berteriak kesal yang semakin membuat Hana dan Andre tertawa girang.

"Lo berdua jahat banget memang. Yaudah yuk Ris, mending kita ke kantin, siapa tau otak lo yang mampet itu bisa jadi encer." Freya menimpali dan mencoba merangkul bahu Risa.

"Lo sama aja tau nggak Frey." rengek Risa yang semakin terpojokkan.

Bukannya merasa iba, ke tiga sahabat Risa itu kembali menertawai ketidakmampuannya dalam mencerna rumus-rumus pelajaran eksakta. Terkesan tak punya hati memang, namun begitu lah mereka. Di luar terlihat jahat, beda lagi jika di dalam hati. Mereka sebenarnya saling peduli dan menyayangi satu sama lain.

**

1
korokoro
kaget banget Tara, jangan nakal main cubit pipi aja/Scowl/
Julia H: namanya juga modus kak🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!