Soulmate
"Orang kecil di larang bermimpi." Kalimat asumsi itu sama sekali tak berlaku bagi Freya. Baginya, mempunyai kehidupan finansial baik atau tidak, semua orang berhak untuk bermimpi dan berusaha mencapainya.
Freya Davina, gadis berparas manis dengan kedua lesung pipi yang menjadi ciri khasnya, semakin menguatkan tekad agar bisa memiliki kehidupan yang mapan dan bisa membahagiakan sang bunda.
Sadar terlahir di keluarga yang terbilang sederhana dan jauh dari kemewahan, Freya pun sangat terobsesi dalam hal belajar. Ia sangat giat bahkan tak ada kata lelah di kamusnya. Selagi itu berguna demi masa depannya, Freya akan melakukan itu dengan sukacita.
Gadis berambut panjang sebatas punggung itu kini tengah sibuk mengerjakan beberapa soal latihan dari buku pelajaran. Jam kosong ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Freya tak ingin waktunya terbuang sia-sia begitu saja.
"Frey..." seseorang menepuk bahunya.
Dengan malas Freya mendongak sesaat, memastikan siapa yang berani mengusiknya.
"Ngapain sih Frey? sini gabung sama kita." tukas Hana, gadis berlensa yang duduk tepat di belakang kursi Freya.
"Ogah." sahut Freya lalu melanjutkan aktifitasnya kembali.
"Udah biarin aja si Freya pacaran sama soal-soal di buku. Nggak usah di ganggu." Risa yang duduk bersebelahan dengan Hana ikut menimpali.
"Emang apaan sih Frey yang lo kejar sampe segitunya lo belajar?" Andre menduduki kursi kosong di sebelah Freya.
"Cita-cita gue lah, apa lagi!" jawaban Freya selalu saja ketus.
"Tapi Frey, lo harus tetap menikmati masa muda lo. Jangan sampe demi masa depan yang lo sendiri belum tau kayak gimana, lo malah jadi ngerasa terbebani kayak gini." Andre memberi petuah.
"Gue nggak ngerasa terbebani kok Ndre. Gue happy malah bisa ngerjain soal-soal ini sendiri." ujar Freya dengan entengnya.
"Hadeh, udah lah Ndre. Freya sama kita itu pola pikirnya beda. Jadi nggak usah sok bijak gitu kalo ngomong sama si Freya." Kembali Risa mengingatkan sahabatnya.
Hana pun mengangguk, menyetujui ucapan Risa yang memang benar adanya.
Tengah asyik beradu argumen dengan gadis yang selalu menempati peringkat pertama di sekolah, yaitu Freya, seketika raut wajah Hana dan Risa tampak berubah saat seseorang mengetuk pintu kelas mereka.
Suasana kelas yang awalnya cukup hening, kini mulai kisruh. Beberapa siswi perempuan berteriak histeris. Ada pula yang sibuk merapikan rambut dan seragam sekolahnya berharap di lirik oleh lelaki yang tengah berdiri tepat di depan pintu kelas mereka.
"Freya Davina...." ujar lelaki itu lantang.
"Gila ya, Tara ganteng banget." Risa berbicara terang-terangan.
Sedang Freya tak menghiraukan panggilan tersebut. Matanya hanya tertuju pada buku di hadapannya. Di tambah lagi suara dari lelaki berparas tampan dan bertubuh jangkung itu tak sampai ke telinga Freya. Suara teriakan siswi lain di kelasnya lebih dominan dan berhasil menyamarkan suara lelaki itu.
"Tara... i miss you."
"Tara... calon suami gue."
"My darling Tara...."
"Tara... i love you. Lo mau nggak jadi pacar gue?"
"Huuuuuhhhh" seisi kelas bersorai heboh dengan pernyataan salah satu siswi.
Kesabaran Tara yang hanya setipis tisu, membuatnya tak tahan melihat situasi heboh di kelas Freya. Dengan sekuat tenaga, Tara pun mengebrak meja guru hingga membuat suasana kelas hening seketika.
"Freya Davina!!!" teriak Tara.
Tak hanya tersentak kaget, jantung Freya juga berdebar hebat mendengar Tara memanggilnya. Segera Freya bangkit dari duduknya.
"Lo ikut gue ke ruang komite. Sekarang!" pinta Tara.
Seisi kelas mulai saling berbisik, menatap Freya hingga gadis itu menghilang di balik pintu.
Sembari berjalan di belakang Tara, Freya berkali-kali mengusap dadanya yang masih berdebar. Entah karna efek suara Tara yang menggelegar tadi, atau karna ia juga terhipnotis akan pesona ketua osis berwajah sempurna seperti Tara.
"Jadi lo yang dapet beasiswa dari sekolah?!" Tara membuka suara.
"Iya. Kenapa?" Freya menyahut.
"Ketus banget lo. Nggak cocok sama muka lo."
"Maksud lo?!" Freya mengerutkan dahi.
Entah apa yang ada di pikiran Tara, hingga ia menghentikan langkah dan memutar tubuhnya agar bisa bersitatap dengan Freya.
"Muka lo yang nge gemesin ini, nggak cocok ngomong ketus kayak tadi." Tanpa sungkan, Tara mencubit pelan kedua pipi Freya yang sedikit chubby.
Lalu seolah tak terjadi apapun, kembali Tara melanjutkan langkahnya menuju ruang komite yang berada di dekat lapangan sekolah.
Walau sesaat, sikap Tara barusan membuat jantung Freya kembali tak aman. Kali ini degupan jauh lebih kencang.
"Ayo, kenapa malah diem di situ!" Tara menoleh menyadari Freya masih berpijak di tempatnya.
Hanya mengangguk, Freya pun memperlebar langkahnya dan kembali mengikuti Tara.
Begitu tiba di depan ruangan komite, Tara langsung di sambut hangat oleh beberapa guru dan juga anggota osis lainnya.
Ternyata tak hanya Freya yang menerima beasiswa dari pihak sekolah. Ada 9 orang lainnya yang juga mendapatkan hal yang serupa dengannya. Baik berprestasi dalam bidang akademik maupun dalam bidang olahraga, pihak sekolah sudah mengeluarkan beasiswa untuk ke 10 siswa tersebut selama 2 tahun.
Dengan di pimpin oleh seorang ketua komite dan pastinya Tara selaku ketua osis, rapat perihal pembahasan masalah beasiswa pun di mulai.
"Selamat pagi, berhubung semua sudah berkumpul di ruangan saya, maka ada baiknya kita mulai rapatnya sekarang." Pak Wira selaku ketua komite berbicara.
"Langsung saja ke intinya, saya tidak ingin berlama-lama, alasan kalian di kumpulkan di ruangan saya adalah untuk membahas masalah beasiswa selama 1 tahun kedepan. Di karenakan beberapa donatur mengundurkan diri dan tidak lagi memberikan donasi ke sekolah kita, maka kuota untuk penerima beasiswa akan di kurangi hingga 60%." papar Pak Wira.
"60% pak?!" Surya membuka suara. Sebagai atlet renang dan penyumbang piala terbanyak untuk sekolah, Surya merasa tak terima.
"Iya, benar. Sekolah tidak bisa memberikan beasiswa seperti dulu lagi. Selain aturannya di perketat, kalian juga harus saling bersaing. Karna hanya 4 orang dari kalian lah yang akan memperoleh beasiswa hingga lulus sekolah. Masing-masing 2 orang untuk bidang akademik dan olahraga."
"Nggak bisa gitu dong pak!!" protes Irma.
"Terus gimana nasib yang nggak dapat beasiswa lagi pak?" Zoya menimpali.
Dalam sekejap saja ruangan komite berubah menjadi sasana aksi demo yang tak terelakkan. Mereka yang selama ini merasa sangat terbantu dengan adanya beasiswa dari sekolah, kini berat hati untuk menerima keputusan dari pihak sekolah yang terkesan semena-mena itu.
"Tenang!!!" Tara bangkit dari kursinya berusaha membuat suasana kembali kondusif.
"Kalo mau ngasih pertanyaan, jangan menyerbu gitu dong. Satu-satu. Supaya pak Wira nggak bingung." ujar Tara lagi.
Sementara yang lain sibuk mengajukan pertanyaan kepada ketua komite sekolah, Freya hanya terdiam. Bukan karna ia sangat optimis akan tetap mendapatkan beasiswa itu. Melainkan ada kekhawatiran di benaknya, bagaimana jika nasib baik tak memihaknya dan ia tak bisa mendapatkan beasiswa itu lagi.
Pikiran Freya pun menerawang jauh. Membayangkan setiap peluh yang harus menetes dari dahi sang bunda demi bisa mendapatkan beberapa lembar rupiah setiap harinya. Tak bisa Freya bayangkan, bagaimana susah payahnya sang bunda jika beasiswa itu tak lagi bisa ia dapatkan.
Freya tau betul bagaimana perasaan bundanya yang harus menjadi orang tua tunggal selama 10 tahun lebih. Selain berperan menjadi seorang ibu dan menggantikan sosok ayah baginya, sang bunda juga merupakan tulang punggung untuk keluarga kecil mereka.
Kini tak hanya menjadi overthinking, Freya juga merasa insecure terhadap kemampuannya.
"Saya rasa penjelasan saya sudah cukup jelas. Intinya kalian harus belajar lebih keras, lebih giat dan lebih rajin lagi. Ingat, tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Bahkan untuk mendapatkan beasiswa pun kalian butuh usaha." Pak Wira menyindir secara sarkastis dengan alih-alih memberi petuah.
"Pak." Roy mengacungkan tangan.
"Jadi kalau saya nggak mendapatkan beasiswa itu lagi, apa saya harus keluar dari sekolah?" tanyanya serius.
"Tidak, selagi kamu mampu membayar uang sekolah, kamu bisa tetap bersekolah di sini hingga lulus." jawab Pak Wira yang semakin menyudutkan ke sepuluh anak tak mampu secara materi itu.
Suasana hening sejenak. Baik Freya maupun siswa penerima beasiswa lainnya tampak tercenung dengan perkataan pak Wira barusan. Dari mana mereka bisa membayar uang sekolah yang jumlahnya jauh lebih besar dari pendapatan orang tua mereka. Hanya itu yang mereka pikirkan saat ini.
"Oiya satu lagi, minggu depan akan di adakan olimpiade antar sekolah. Jadi buat kalian berlima ( Freya, Irma, Loli, Emil dan Sigit ), kalian akan saya bagi masing-masing 1 orang untuk mata pelajaran Fisika, Kimia, Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dan kalian lah yang nantinya akan mewakili sekolah kita."
"Minggu depan? Kenapa mendadak gini sih pak? Kita kan belum ada persiapan apa-apa untuk mengikuti olimpiade." Irma kembali protes.
"Seharusnya siswa penerima beasiswa seperti kalian harus siap tempur kapan pun itu. Kalian memangnya ngapain saja selama ini? Hah?! Tidak belajar?! Jangan terlalu santai kalau kalian masih mau mendapatkan beasiswa!." Sekali ini ucapan Pak Wira benar-benar keterlaluan.
"Sudah, cukup pak. Saya rasa teman-teman yang lain juga sudah mengerti." Tara menjadi penengah.
Pak Wira pun menghela nafas kesal sebelum akhirnya menyuruh semua siswa keluar dari ruangannya, terkecuali Tara.
"Nggak habis pikir gue sama jalan pikirannya pak Wira." celetuk Emil dengan raut wajahnya yang terlihat kusut sama seperti isi kepala Freya saat ini.
"Tapi kan itu memang wewenang dari sekolah, Mil." Sigit menimpali.
Kelima siswa penerima beasiswa dalam bidang akademik itu berjalan beriringan menuju ke kelasnya masing-masing.
"Wewenang sih wewenang, tapi kalian nyadar nggak, cara pak Wira menyampaikan masalah beasiswa tadi itu secara nggak langsung malah menyindir kita. Memang sehina itu ya kita sebagai penerima beasiswa?!" Emil kembali mencurahkan beban yang tak mungkin ia lontarkan di depan pak Wira.
"Bener banget, gue juga ngerasanya kayak gitu." sahut Loli.
"Lo kenapa Frey? Diem mulu. Ngomong kek atau respon apa gitu." Emil menyikut lengan Freya.
"Hah?!" Freya tersentak.
"Aduh Frey, bisa-bisanya di situasi segenting ini lo cuma melamun doang dari tadi." Emil tak habis pikir.
"Gue kalo jadi Freya mah juga bakalan diem aja. Ngapain gue berisik, sementara gue udah yakin bakalan tetap dapat peringkat satu. Iya kan Frey?!" ujar Irma seolah tau betul isi kepala gadis di sebelahnya.
Freya hanya tersenyum kecut, ia sudah tak berminat untuk berbicara apalagi sampai berdebat.
Terkecuali Freya, para siswa berprestasi itu pun berpisah dan berjalan menuju ke kelasnya masing-masing. Sedangkan Freya hanya berdiri, mematung di tempatnya hingga bel berbunyi menandakan jam istirahat telah tiba.
"Freya...." Risa menghampiri sahabatnya yang hanya berdiri di sudut koridor.
"Kantin yuk. Hana sama Andre udah di sana." ajak Risa lagi.
Freya mengangguk, mengiyakan ajakan gadis berkulit kuning langsat itu.
"Gue iri sama lo Frey." Hana memberengut begitu Freya duduk di hadapannya.
"Iri kenapa lo?!" tukas Freya sambil menyeruput lemon tea yang sudah di pesan Andre sejak tadi.
"Enak banget lo mau ke ruangan komite aja sampe di jemput sama Tara segala." sambung Hana.
"Enak apanya, yang ada kepala gue nyut-nyutan abis dari ruang komite." Freya memijat pelipisnya.
"Memangnya kalian bahas apa sih Frey, kenapa lama bener?" tanya Andre yang duduk di sebelah Hana.
Freya menghela nafas pelan sebelum menjawab.
" Biasa lah masalah beasiswa."
"Cerita dong Frey, jangan lo pendem sendiri. Muka lo udah kayak orang tertekan gitu." Risa menimpali.
Karna mendapat desakan dari ketiga sahabatnya, Freya pun menceritakan semua hal yang terjadi di ruang komite tanpa terkecuali.
"Pokoknya, kalo lo ngerasa stres dan terbebani, jangan paksa diri lo Frey. Nggak masalah kok, kalo lo nggak dapet beasiswa lagi. Masih ada gue, Hana sama Andre. Lo tenang aja, kita bisa patungan buat bayar uang sekolah lo. Iya nggak guys?!"
Hana dan Andre serempak mengangguk. "Bener banget. Manfaatin kita Frey sebagai sahabat lo." ujar Andre.
Ada perasaan haru di hati Freya melihat kebaikan dari ketiga sahabatnya. Ia tau ke tiganya tulus untuk membantunya. Meskipun begitu, Freya tak mau membagi beban yang ia yakin akan mampu menanggungnya sendiri.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
korokoro
kaget banget Tara, jangan nakal main cubit pipi aja/Scowl/
2024-05-19
0