#TURUN RANJANG
Tiga tahun pasca sang istri meregang nyawa saat melahirkan putranya, Zeshan tetap betah menduda dan membulatkan tekad untuk merawat Nadeo sendirian tanpa berpikir sedikitpun untuk menikah lagi.
Namun, hal itu seketika berubah setelah Mommy-nya datang dan berusaha meluluhkan hati Zeshan yang telah berubah sebegitu dinginnya. Berdalih demi Nadeo, Amara menjanjikan akan mencarikan wanita yang pantas untuk menjadi istri sekaligus ibu sambung Nadeo.
Zeshan yang memang terlalu sibuk dan tidak punya kandidat calon istri pasrah dan iya-iya saja dengan siapapun pilihan Mommy-nya. Tanpa terduga, Mommy Amara ternyata merekrut Devanka, adik ipar Zeshan yang mengaku sudah bosan sekolah itu sebagai calon menantunya.
*****
"Ingat, kita menikah hanya demi Nadeo ... jangan berharap lebih karena aku alergi bocah bau ingus." -Zeshan Abraham
"Sama, aku juga alergi om-om bau tanah sebenarnya." - Devanka Ailenatsia
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
PLAGIAT/MALING = MASUK NERAKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 02 - Dugaan Sementara
"Sssshhh, Kak Zeshan ... pelan sedikit, sakit!!" Devanka menggigit bibir demi menahan agar tidak berteriak lebih heboh lagi.
"Kamunya jangan banyak gerak, aku makin susah."
"Kakak nggak ngerasain, ini tuh sakit sumpah."
"Siapa suruh pakai anting-anting begini? Kamu mau manggung atau gimana?" kesal Zeshan setelah berhasil melepaskan rambut Devanka yang terlilit di antingnya.
Entah seheboh apa dia mandi, apa mungkin goyang kepala sampai rambutnya kemana-mana begini, Zeshan juga tidak mengerti. Dia menghela napas panjang sembari memandangi Devanka yang kini menggosok-gosok telinganya.
"Jangan banyak tingkah, aku paling tidak suka perempuan caper ... paham?"
Devanka menggangguk, tangannya masih menahan handuk yang melilit tak begitu rapih lantaran buru-buru. Belum sempat mengucapkan terima kasih, Zeshan sudah berlalu pergi.
Sikapnya benar-benar berubah, Devanka merasakan betul perbedaan Zeshan sejak kakaknya meninggal dunia. Pria yang dulunya begitu hangat dan kerap bercanda, kini begitu dingin dan lebih irit bicara.
Bahkan, sejak mereka masuk kamar Zeshan belum mengajaknya bicara. Baru setelah tragedi anting nyangkut di rambut barusan Devanka mendengar suara Zeshan, itu juga disertai secuil amarah.
"Jangan banyak tingkah," gumam Devanka menirukan cara bicara Zeshan dengan sedikit emosi. "Siapa juga yang caper? Yang namanya nyangkut ya nyangkut," tambahnya lagi.
Dituduh bertingkah dan cari perhatian padahal tidak, jelas saja Devanka murka. Dia juga bingung kenapa bisa nyangkut segala, jika Zeshan berpikir dia habis goyang kepala atau bertingkah sebelum mandi, jelas salah besar.
"Kalau bukan karena mau diusir Kanjeng Mami, aku tidak akan pernah mau menikah dengan duda itu ... mending nunggu lamaran Hero saja," ujar Devanka mencebikkan bibir.
Menyedihkan sekali memang hidupnya, hanya karena tidak mau lanjut kuliah lantaran bosan berkutat dengan buku pelajaran, maminya justru merencanakan pernikahan tanpa Devanka duga.
Dia ingin berontak, ingin kabur dan sempat meminta Hero, sang kekasih untuk melamarnya segera. Akan tetapi, Hero yang masih duduk bangku kuliah tidak bisa menjanjikan apa-apa hingga Devanka hanya punya dua pilihan saat itu, menjadi istri Zeshan atau diusir dari rumah.
Khawatir hidupnya luntang-lantung tanpa arah jika nekat melawan, Devanka menerima permintaan sang mami pada akhirnya. Lagi pula, dia menyayangi Nadeo dan mendiang kakaknya, jadi anggap saja balas budi karena semasa hidup Talita begitu menyayanginya, bahkan lebih dari maminya sendiri.
.
.
Jika di dalam kamar mandi Devanka tengah ngomel-ngomel sendiri, di sisi lain Zeshan tengah diomeli malaikat kecilnya hanya karena belum mandi. Dan, hal itu berhasil membuat Zeshan tertawa sampai menangis.
"Daddy nanis?" tanya bocah tampan yang kini tengah duduk di pangkuan Zain.
Melihat mata bulat sang putra, ingin rasanya Zeshan pulang malam ini juga. "Hem, Daddy kangen sama Deo," jawab Zeshan kemudian tersenyum simpul.
"Deo engaa tapi," jawab Nadeo sembari menggelengkan kepala kemudian disambut gelak tawa oleh pria yang tengah memangku putranya.
"Kenapa? Deo tidak sayang Daddy berarti?"
"Cayang."
"Bohong, Deo nggak sayang Daddy, 'kan?"
"No!! Deo Cayang Daddy."
"Apa? Nggak?"
"Ih!!! Cayang dibilangin!!!"
Nadeo yang mewarisi sikap tak sabaran dari garis keturunan kakeknya itu mulai unjuk gigi. Pantang ditanya lebih dari dua kali, dia akan naik darah dan marahnya Nadeo adalah sesuatu yang Zeshan tunggu setiap kali mereka bicara.
"Daddy tuli yaaaa?"
"Hahahah tidak, cuma kurang jelas," jawab Zeshan mempermainkan Nadeo yang tampaknya mulai gusar.
"Cama ajah!!"
"Ilis aja kupingnya Daddy ...."
"Bikin cambel nyam-nyam," celotehnya terputus-putus dan Zeshan yakin untuk yang ini ada yang mengajarinya.
Benar saja, usai Nadeo benar-benar berontak dan melepaskan diri, kini pria yang merupakan cerminan dari dirinya itu tergelak.
"Stres!! Kau yang mengajarinya begitu?"
"Tidak, Deo sendiri."
"Aku mengenalnya dan selama ini dia tidak pernah begitu, pasti kau gurunya," tuduh Zeshan yakin betul jika memang Zain biang keladinya.
"Sudahlah, itu tidak penting ... sekarang aku tanya mana istrimu?"
"Mandi," jawab Zeshan singkat, padat dan terlihat jelas jika tak suka Zain tanya tentang itu.
"Kau akan melakukannya malam ini, 'kan?"
"Kau mau mati, Zain?" Zeshan melayangkan tatapan kesal ke arah Zain yang masih saja memancing emosinya.
"Hahaha ... aku cuma tanya, kalau memang iya aku sudah masukan pelummas ke kopermu, ada pengaman juga untuk jaga-jag_"
"Bodo amat!!" sentak Zeshan kemudian memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.
.
.
Demi Tuhan, dia benar-benar membenci Zain sepanjang hari ini. Kepala Zeshan sampai sakit, dia melemparkan ponsel ke tempat tidur dan beranjak untuk memeriksa benda yang Zain maksudkan.
Namun, di saat yang sama ternyata Devanka juga berjalan menuju koper yang membuat Zeshan ketar-ketir dibuatnya. Untuk pakaian mereka memang lepas tangan, semua disiapkan Mommy Amara dan hanya ada satu koper kecil berisikan pakaian mereka untuk satu malam di hotel.
"De-Devanka!!"
"Iya, Kak? Kenapa?" tanya Devanka menatap bingung Zeshan yang kini menahan pergelangan tangannya.
"Kamu mau ngapain?" Zeshan bingung hendak mengatakannya, saat ini tidak ada yang ingin Zeshan lakukan kecuali menyembunyikan benda itu sebelum Devanka melihatnya.
Devanka yang masih bingung maksud Zeshan tak segera menjawab. "Mau cari baju, kenapa memangnya?"
"Biar aku saja, kamu tunggu di sini."
Mendapati pria itu mendadak jadi baik sampai bersedia bersedia mencarikan pakaian ganti untuknya jelas saja Devanka curiga. Akan tetapi, dia tidak sudi untuk bertanya. Kekesalan dianggap caper beberapa saat lalu masih ada, jadi mana mungkin Devanka bersedia.
Sementara Zeshan kini tengah fokus dengan isi koper dan memang benar adanya Zain memasukkan benda-benda tak berguna itu, tepatnya untuk saat ini. Tak hanya itu, Zeshan juga menemukan catatan menyebalkan yang bisa dipastikan tulisan tangan saudaranya.
"Semoga berhasil, jangan lupa baca doa ... kalau mau dapat perempuan posisinya di_"
Belum selesai Zeshan baca, dia sudah meremuk kertas kecil itu hingga tak berbentuk. Sementara pengaman yang letaknya disengaja paling atas, Zeshan sembunyikan di sela-sela pakaiannya.
"Memalukan, dia benar-benar ingin membuatku malu atau bagaimana?" gumam Zeshan kemudian mengambil asal pakaian untuk sang istri malam ini.
Asal ambil tentu saja, karena memang hanya ada satu baju yang tidur, satunya gaun untuk dipakai siang hari. Tanpa memastikan bentuknya, Zeshan segera memberikannya pada Devanka yang sejak tadi menunggu dan hendak berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Awalnya semua baik-baik saja, tidak mencurigakan hingga panggilan sang istri menghentikan langkahnya.
"Kenapa, Dev?"
Devanka terlihat gugup, tapi perlahan mendekat seperti hendak mengadu padanya. "Kak, apa tidak ada baju lain selain ini?"
"Tidak ada, pakai saja yang ada lagian cuma tidur," pungkas Zeshan sebelum kemudian benar-benar berlalu dan meninggalkan Devanka yang kini panas dingin.
"Tidak!! Tidak mungkin cuma tidur kalau sudah disuruh pakai baju begini ... Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Sejujurnya aku belum siap, kalau sampai besok beneran nggak bisa jalan gimana?"
.
.
- To Be Continued -