Laura, adalah seorang menantu yang harus menerima perlakuan kasar dari suami dan mertuanya.
Suaminya, Andre, kerap bertangan kasar padanya setiap kali ada masalah dalam rumah tangganya, yang dipicu oleh ulah mertua dan adik iparnya.
Hingga disuatu waktu kesabarannya habis. Laura membalaskan sakit hatinya akibat diselingkuhi oleh Andre. Laura menjual rumah mereka dan beberapa lahan tanah yang surat- suratnya dia temukan secara kebetulan di dalam laci. Lalu laura minggat bersama anak tunggalnya, Bobby.
Bagaimana kisah Laura di tempat baru? Juga Andre dan Ibunya sepeninggal Laura?
Yuk, kupas abis kisahnya dalam novel ini.
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 2. Ulah mertua dan adik ipar.
"Jangan tanam luka dihatiku, karena buahnya akan sangat menyakitkan.
Bila hati telah melafazkan rasa sakit
Itu akan kembali padamu, disuatu saat nanti."
Laura sedang menyuci baju Bobby, yang kena tumpahan air susu, saat memberikan putranya minum susu. Laura takut, semut akan mengerubungi pakaian itu. Makanya dia cuci langsung.
Saat Laura merendam sepasang baju itu, Luna datang ke tempat menyuci di samping rumah. Membawa setumpuk kain kotornya dan lansung meletakkan pakaian itu di dalam ember tempat Laura merendam pakaian, Bobby.
"Apa-apaan kamu, Luna?"
"Yah! Menambah cucian kakak," ucapnya enteng tanpa beban.
"Maksudmu, kakak yang mau menyuci pakaian kamu ini? Dasar tidak sopan!" gerutu Laura kesal.
"Lha, iyalah. Kakak 'kan pas nyuci jadi sekalian ajalah nyuci baju kotor aku."
"Kurang ajar kamu, ya. Kamu pikir kakak pembantumu di rumah ini. Urusan baju kotormu juga gak bisa kamu urus." hardik Laura.
Keributan kecil disamping ternyata kedengaran sampai ke dalam rumah. Bu Maya yang sedang mengambil air dingin di kulkas langsung berjalan menuju teras samping tempat menyuci.
"Ada apa, siang-siang begini udah ribut. Tidak malu apa didengar tetangga!" ucap Bu Maya tajam.
"Luna cuma minta tolong, Ma, sama kak Laura, menyuci baju kotor aku. Aku lagi banyak pr dan harus siap besok, tapi kak Laura tidak mau dan marah-marah," adu Luna. Merasa beruntung atas kedatangan ibunya.
"Ya, ampun Laura, perkara kecil itu aja kenapa mesti ribut. Apa salahnya kamu penuhi permintaan adikmu. Cuma nyuci baju sedikit aja udah protes. Suara kamu sampai kedengaran seisi komplek ini." tanpa merinci kebenaran aduan Luna, Bu Maya langsung mencak-mencak, mana pakai berkacak pinggang segala.
Laura menarik napas panjang, melihat ulah adik ipar dan ibu mertuanya.
Perkara kecil kata ibu mertuanya? Hal ini sudah berulang kali terjadi. Semakin hari Luna makin ngelunjak saja. Anak manja yang seharus lebih tahu diri menempatkan dirirnya.
Mereka numpang selama ini di rumahnya, tapi bersikap seolah yang empunya rumah. Tidak ibu mertuanya, adik iparnya juga ikutan bertingkah. Dibiarkan terus, Luna bisa akan bertindak lebih tak sopan lagi.
"Tidak bisa, Bu. Kali ini Luna sudah keterlaluan. Dia sudah sepantasnya bisa mengurus milik pribadinya."
Bola mata Bu Maya langsung terloncat mendengar jawaban Laura yang diluar dugaannya.
"Beraninya kamu ngomong begitu sekarang, ya! Apa kamu lupa, Luna itu adiknya Andre putra saya. Mestinya kamu yang tau diri, kalau kamu itu cuma orang lain!"
Laura hanya bisa mengelus dadanya. Ibu mertuanya terlalu memanjakan adik iparnya. Sehingga suka bertindak sesukanya.
Belum lagi sikapnya yang tidak punya etika. Dirinya dianggap seolah babu dirumahnya sendiri. Protes sedikit saja, ibu mertuanya akan marah. Bila mengadu pada suaminya, tanggapannya juga sama seperti ibu mertuanya.
Bahkan, lebih marah lagi, dari ibu mertuanya.
Jadi, diam adalah solusi terbaik. Tapi sampai kapan dia bisa diam terus, menerima perlakuan suami dan mertua serta adik iparnya.
Mertuanya dari hari kehari, makin leluasa menindasnya.
"Maaf, Bu. Untuk kali ini, Laura tidak bisa." Buru-buru Laura, meninggalkan ibu mertua dan adik iparnya.
Tapi ibu mertua, menjegal langkah, Laura. Sehingga Laura jatuh terduduk.
"Ibu, jahat!" beliak Laura, dia berdiri sambil mengusap pantatnya. Bu Maya tersenyum puas. Berbalik meninggalkan Laura. Tapi, Bu Maya kesandung kakinya sendiri, sehingga jatuh kejengkang.
"Itu balasan perlakuan Ibu, sama saya. Langsung bayar tunai." Laura melengos pergi. Luna bergegas menolong ibunya.
Bu Maya merasa tertampar dengan ucapan, Laura.
Hampir lima tahun mereka tinggal di rumah ini, baru kali ini Laura berani berucap kasar. Alih-alih menolongnya, malah pergi begitu saja.
Laura, masuk kekamarnya melihat Bobby. Tadi, Laura meninggalkan putranya di kamar, bersama suaminya yang kurang enak badan.
Baru lagi hendak membuka pintu, ibu mertuanya sudah menyusulnya. Laura segera menjauhi pintu. Takut suaminya akan terbangun yang akan memicu pertengkaran di rumah ini.
Sepertinya ibu mertuanya masih kesal, nampak dari raut wajahnya.
"Laura!"
Mau apalagi sih, ibu mertua ini? Monolog hati Laura.
"Plak!" sebuah tamparan tepat mendarat di pipi, Laura. "Itu, balasan akibat mulutmu tidak sopan, pada Ibu."
Laura mengusap pipinya yang terasa panas. Kali ini, kesabarannya sudah melewati batas.
"Sungguh, ibu sangat keterlaluan sekali!
Sekarang juga, Ibu pergi dari rumah ini!" teriak Laura lantang.
"Apa, hah! Kamu mau mengusir ibu, ya?Beraninya kamu!"
"Karena ini adalah rumahku!"
"Andre itu anak ibu.Ibulah yang telah bersusah payah melahirkan dan merawatnya sampai dewasa. Jadi, kamu adalah orang lain yang kebetulan jadi istri, Andre. Jadi kamu tidak berhak mengusir ibu dari rumah ini."
Laura tidak menyahuti lagi ucapan ibu mertuanya. Percuma saja, ibu mertuanya merasa paling benar dan tidak mau kalah.
"Maksud ucapanmu itu, apa. Menyuruh ibu diam saja, sementara kamu bertingkah seenaknya gitu?" Bu Maya, masih meradang. Dia benar- benar kesal akan ancaman Laura yang hendak mengusirnya dari rumah. Meski dia tau kalau rumah ini memang atas nama, Laura.
Karena, orang-tuanya yang telah membangun rumah ini, juga yang memodali usaha kafe anaknya dulu. Tapi Bu Maya tidak ingin terlihat lemah dihadapan menantunya, apalagi sampai ketakutan akibat ancaman itu.
"Laura tidak pernah bertingkah selama ini. Ibu dan Luna yang selalu bikin kacau. Menghasut Laura dengan bang Andre." Laura masih berusaha menjelaskan agar ibu mertuanya bisa menarik benang merah.
"Tentu saja, ibu mengadukan kamu ke Andre. Dia 'kan anak ibu. Dan saya ibunya. Sudah sejak lama ibu tidak menyukaimu. Bahkan pernikahan kalian tidak pernah ibu restui. Kamu itu istri pembawa sial. Tidak seharusnya kamu masuk dalam keluarga kami."
"Ibu! Ibu jahat sekali bicara seperti itu. Ibu tidak menghargai perasaan aku sebagai menantu ibu," ucap Laura tercekat.
Ada yang berdarah, jauh dilubuk hatinya. Luka yang tidak pernah mengering. Yang ditoreh tiap hari oleh ibu mertua, suami dan adik iparnya.
"Makanya kamu, tau diri! Jangan asal nyerocos. Mau sok-sokan mengusir ibu dari rumah ini. Bisanya malah kamu yang akan kena usir."
"Ada apa ribut-ribut, berisik tau. Mengganggu tidur orang saja," ucap Andre yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamar.
"Istrimu ini Andre bersikap tidak sopan sama, Ibu. Dia mau mengusir ibu dan Luna dari rumah ini. Karena rumah ini adalah rumah pemberian ayahnya. Kami tidak punya hak untuk tinggal disini!" Adu Bu Maya pada Andre.
"Beraninya kamu bicara seperti itu pada ibuku!" bentak Andre.
"Abang jangan dengar dari satu pihak saja. Bersikaplah adil antara aku dan ibu juga Luna." ucap Laura terpancing emosi. Karena lagi-lagi Andre selalu membela ibu dan adiknya. Tanpa pernah menelaah lebih dulu siapa yang salah. Siapa yang selalu cari keributan
"Kamu lihat sendiri 'kan, Andre. Kalau istri kamu itu, sudah tidak punya adab. Bicara seenaknya,sama sekali tidak ada hormatnya sama orang tua." ucap Bu Maya memanasi
Laura menatap suami dan Ibu mertuanya bergantian, keduanya ibarat monster yang akan siap menelannya setiap saat.
Meluluh lantakkan hidupnya, dalam sekejap. Dia merasa dirinya sudah tidak punya arti apa-apa lagi di rumah ini. Suami dan ibu mertuanya setali tiga uang memperlakukannya. *****