NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:973
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10: Mimpi buruk I

Setelah menempuh perjalanan yang panjang, mobil yang dikendarai oleh Razka akhirnya sampai di sebuah bangunan villa yang megah dan kokoh. Villa itu memiliki gaya klasik yang elegan, meski tetap terurus dengan sangat baik. Bangunannya mengusung konsep kayu yang hangat, namun tetap memancarkan kesan modern lewat kaca-kaca besar yang menghiasi hampir seluruh sisi bangunan, memberi sentuhan kesegaran yang kontras dengan keanggunan desainnya yang tradisional.

"Akhirnya sampai juga," ujar Razka, suaranya terdengar lelah. Ia mematikan mesin mobil dan melemparkan pandangannya ke depan. Matanya yang sudah berat itu mulai terpejam, sejenak merasakan kelelahan setelah mengemudi sendiri sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Bogor. Jalanan yang padat dan macet menambah berat tubuhnya yang sudah lelah. Di sampingnya, Nayara terlelap tidur pulas, rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, memberi kesan damai pada ekspresinya.

Vina, yang awalnya berencana ikut, akhirnya batal mengantar. Dia terpaksa kembali ke kampus karena harus menghadiri kelas yang tak bisa ditinggalkan.

Keheningan dalam mobil hanya terputus oleh suara hembusan napas Razka yang mulai berat. Ia menoleh ke sisi Nayara yang tidur dengan tenang, wajahnya yang tampak lelah memberi petunjuk betapa wanita itu sangat kehabisan tenaga.

Perlahan, Razka melepaskan tangan dari kemudi dan merebahkan diri di kursi mobil. Ia memutuskan untuk tidur lebih dulu, menunggu Nayara terbangun dengan sendirinya. Meski sebenarnya ia bisa saja menggendong Nayara dan membawanya masuk ke villa, ia tahu ada beberapa orang yang bekerja di sana yang bisa membantunya membuka pintu. Namun, ia memilih untuk tidak mengganggu tidur sahabatnya. Sepertinya Nayara sangat membutuhkan tidur itu, tubuhnya yang kelelahan tampak begitu rapuh dalam tidur.

Suasana di dalam mobil pun perlahan menjadi sunyi, hanya terdengar suara detakan jam mobil yang monoton. Razka membuka sedikit pintu mobil, berharap udara luar yang sejuk bisa sedikit mengurangi kelelahan tubuhnya. Ia tahu, membiarkan pintu mobil terbuka sedikit bisa berisiko, namun ia tidak ingin mematikan mesin yang sudah mulai berdesing lelah. Baginya, menjaga sahabatnya tidur dengan tenang jauh lebih penting.

Dan begitu, keduanya terlelap dalam diam, masing-masing tenggelam dalam dunia mimpinya, tanpa menyadari betapa lama waktu berlalu.

••

"Mamah di mana Papa?" ucap seorang gadis yang masih mengenakan seragam SMA itu. Suaranya terdengar lembut, namun ada kekhawatiran yang tersirat dalam nada bicaranya.

Wanita berusia 45 tahun yang masih terlihat sangat cantik, meski ada kerutan halus yang menunjukkan pengalaman hidupnya, menatap anaknya dengan senyum hangat.

"Iya, sayang, sudah datang," jawab Maria, suaranya menenangkan, namun ada sedikit kesedihan yang terpendam di matanya, seolah-olah dia tahu ada sesuatu yang sedang terjadi.

Gadis cantik itu—Nayara—terlihat lelah. Wajahnya yang sangat mirip dengan ibunya, dengan mata cokelat besar yang menyimpan banyak cerita, kini memancarkan kepenatan. Ia duduk di tepi ranjang, perlahan menarik nafas panjang.

"Akhh, lelahnya… Kenapa Mama di sini?" Ucapnya, suaranya sedikit serak, seolah-olah kata-kata itu harus dipaksakan keluar.

Nayara, meski wanita dewasa yang bisa dibilang cukup mandiri, tetap manja pada kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Ia selalu merasa nyaman dalam pelukan kasih sayang ibu yang penuh perhatian, meskipun dia pintar dan sangat dihormati di kalangan teman-temannya. Bahkan, Nayara pernah mendapatkan beasiswa prestisius, tetapi dengan hati yang besar, dia menolaknya, memberikan kesempatan itu kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Menurutnya, keluarga Harrison yang kaya raya tidak membutuhkan bantuan semacam itu.

"Iya, Mama sedang ingat dengan kakek nenekmu. Jadi mama meminta izin pada Papa untuk main ke sini. Nanti kalau mama sudah tidak ada lagi, sering-sering lah main ke sini," ujar Maria dengan wajah yang sendu.

"Ih, kenapa mama bicara seperti itu? Memangnya Mama mau ninggalin Nayara sendiri di dunia yang kejam ini? Mama tidak boleh pergi lebih dulu, harusnya Nayara yang pergi lebih dulu," jawab Nayara, suaranya bergetar, penuh ketakutan. Dia lalu mendekat, mencium pipi ibunya dengan lembut, seolah tak rela melepaskan setiap detik kebersamaan mereka. Maria tertawa pelan, namun tertawa itu terdengar cemas dan pahit.

"Haha... jangan bicara seperti itu, sayang. Anak mama belum pantas bicara tentang kematian," ujarnya, berusaha mencairkan suasana, meski hati kecilnya merasa perasaan itu datang terlalu dekat dengan kenyataan yang tak bisa dia hindari.

Namun, meskipun ibunya mencoba menenangkan, Nayara merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati. Sebuah perasaan yang tak bisa dia jelaskan. Perasaan yang membuatnya takut akan hal-hal yang tak terduga.

“Aku tidak suka jika Mama membahas hal seperti itu,” ucap Nayara dengan nada serius, tatapannya menajam dan ekspresi wajahnya berubah menjadi tegas. Namun, Maria hanya membalas dengan senyum lembut, lalu menggandeng tangan putrinya menuju meja makan yang telah tertata rapi.

“Duduklah, Sayang. Mama sudah memasak banyak. Semua ini adalah masakan kesukaanmu. Mama sengaja membuatnya karena Mama tahu kamu sangat menyukai makanan ini,” ucap sang ibu penuh kelembutan. Ia mengambil satu piring, lalu dengan telaten mulai mengisinya dengan berbagai lauk-pauk yang beraroma sedap. Gerak-geriknya penuh kasih sayang, seperti ingin menghapus jejak ketegangan dari percakapan sebelumnya.

Nayara tersenyum tipis, lalu duduk dengan posisi santai namun sopan. Ia memandangi hidangan di depannya sejenak, sebelum akhirnya bersuara dengan nada manja.

“Mah, Nayara boleh tanya sesuatu?” tanya nya.

“Tentu boleh, Sayang. Mau tanya apa? Biar Mama jawab kalau Mama tahu,” ucap Maria sambil menatap lembut ke arah anak perempuannya, suaranya hangat seperti pelukan yang menenangkan. Nayara menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya penuh rasa ingin tahu.

“Mama pasti tahu soal ini… Menurut Mama, menikah itu menyenangkan tidak?” tanya nya yang mana pertanyaan itu membuat Maria sedikit terdiam. Ia tersenyum tipis, lalu meletakkan sendok di tangannya sebelum menatap anaknya dengan mata yang dalam.

“Pertanyaan kamu, menikah itu menyenangkan atau tidak?” tanyanya sembari menghela napas perlahan sebelum melanjutkan.

“Tergantung. Tergantung pada siapa pasanganmu. Jika kamu menikah dengan pria yang bisa memahami segalanya tentang dirimu, mencukupi segala kebutuhanmu, mampu merangkul saat kamu jatuh, dan bisa menjadi teman yang selalu mendukung tanpa syarat… maka menikah itu sangat menyenangkan.” Nada suara Maria berubah perlahan menjadi serius, dengan sorot mata yang kini tak lagi menatap Nayara, melainkan menerawang jauh ke arah jendela, seolah sedang mengingat sesuatu yang menyakitkan.

“Tapi… ketika kita menikah dengan pria yang tidak bertanggung jawab, tidak sejalan dengan kita, tidak paham akan aturan dan arti dari ikatan suci itu sendiri, maka itulah bencana sesungguhnya. Hidup kita sebagai perempuan bisa jadi sia-sia. Mengorbankan diri untuk melayani mereka tanpa pernah mendapat penghargaan apa pun.” Maria terdiam sejenak, lalu kembali menatap Nayara. “Jadi, semuanya tergantung pada apa yang kita pilih, dan apa yang kita perjuangkan,” ujarnya pelan namun mantap.

Nayara menatap ibunya dalam-dalam. Ada kekhawatiran dan pemahaman yang mulai terbentuk di balik bening matanya. Ia mengangguk pelan, lalu berkata lirih.

“Pada akhirnya, semuanya tentang pilihan, ya, Mah.” ujar Nayara yang membuat Maria membalas anggukan itu sambil tersenyum, meskipun di balik senyumnya, ada luka lama yang sepertinya masih belum sepenuhnya sembuh.

"Kenapa tiba-tiba sekali membahas tentang pernikahan? Apa kamu ingin menikah siapa calonmu?" tanya sang ibu dengan wajah yang benar-benar bingung karena pertanyaan sang Putri yang tiba-tiba.

“Calon apa, Mah? Aku kan masih terlalu muda!” protes Nayara, suaranya tergagap-gagap karena mulutnya penuh makanan. “Begini ceritanya, Mah… aku punya teman perempuan yang dijodohkan oleh orang tuanya. Ayahnya meniatkan dia untuk menikah dengan anak dari rekan kerja—seorang pria asing—sedangkan teman itu sudah memiliki kekasih. Menurut Mama, apakah mereka akan benar-benar bahagia? Karena dari yang aku amati, kelihatannya biasa-biasa saja.” Maria tersenyum kecil, lalu menyodorkan segelas air kepada sang Putri.

“Minum dulu, sayang. Jangan pernah berbicara saat sedang mengunyah; itu tidak baik, apalagi untuk anak perempuan. Dengarkan Mama baik-baik, sayang. Semua hubungan rumah tangga tidak hanya memerlukan cinta. Selain cinta, kenyamanan, saling menghargai, dan kemampuan memahami satu sama lain juga sangat penting dalam kehidupan suami-istri. Menikah bukanlah ajang perlombaan—jangan terburu-buru. Jodohmu dan jodoh kita ada di tangan Tuhan. Jika memang dia jodohmu, maka tidak ada yang bisa memisahkan kalian. Namun, jika dia bukan jodohmu, maka segala hal tidak akan berubah meski mereka saling mencintai,” jelas sang ibu dengan tegas.

“Tapi, Mah… teman-temanku mengatakan, jika seseorang menikah tanpa cinta, maka takkan pernah bahagia. Hubungan tanpa cinta itu tidak menyenangkan,” ucap Nayara, berusaha terdengar bijak seperti orang dewasa, sementara mulutnya tetap fokus pada makanannya. Maria tersenyum kecil, kemudian melanjutkan.

“Iya, begitulah, tetapi dengarkan Mama, sayang. Cinta memang penting, namun bukan segalanya. Bukti banyak orang yang menikah karena saling mencintai, justru berakhir bercerai. Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Kamu tahu, sekeras-kerasnya batu karang, suatu hari pasti akan terkikis jika terus diterpa ombak setiap hari. Lihatlah Mama yang berhasil meluluhkan hati Papamu. Mama menikah tanpa cinta, namun seiring waktu, semuanya berubah. Dan kamulah buah cinta kami. Mama sangat menyayangimu, Nayara, sampai kapanpun. Mama akan selalu menyayangimu, walaupun dunia membenci kita sekalipun.” Maria menatap ke arah lain, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang tertumpuk dalam hatinya agar tidak terbaca oleh sang anak.

“Ih, apaan sih, Mama. Memangnya siapa yang membenci kita? Semua orang menyayangi kita. Papa, Kakek, Nenek—semua orang menyayangi aku dan Mama!” seru Nayara dengan ekspresi tidak terima.

Maria hanya diam sejenak, menatap wajah cantik anak gadisnya. Wajah yang begitu mirip dengan dirinya di masa muda. Perlahan, ia mengusap lembut rambut Nayara, jemarinya bergerak pelan membelai kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. Senyum kecil tergambar di bibirnya, meski sorot matanya masih menyimpan semburat kesedihan yang samar.

"Berarti betul, temanku juga bisa bahagia seiring berjalannya waktu. Kalau Mama bisa, mengapa temanku tidak?” ujarnya.

“Iya, begitu, Sayang… Nanti kalau kamu menikah, pilihlah laki-laki yang baik… yang benar-benar menyayangimu. Yang tidak kasar. Mama akan menganggap dia seperti anak Mama sendiri.” katanya dengan suara lembut yang hampir terdengar lirih. “Dan nanti… kalau ada waktu, datanglah ke sini. Kakek dan Nenek pasti ingin melihat suami dari cucunya.” lanjut nya dengan nada suaranya bergetar halus.

“Oke, Mah. Tapi aku ingin menikah dengan orang yang tampan dan tentunya baik… seperti Papa,” ujarnya riang, matanya berbinar. Kalimatnya sederhana, namun begitu menusuk bagi Maria.

“Iya, Sayang… Kamu memang cantik, dan suamimu pasti akan tampan… dan b-baik… seperti Ayahmu…” jawabnya dengan suara hampir tercekat, namun tetap berusaha terdengar meyakinkan.

“Masakan Mama selalu enak! Aku tidak pernah menemukan makanan seenak ini di luar sana,” ucap Nayara tiba-tiba, memuji dengan tulus. Maria tersenyum lembut, namun kali ini senyumnya lebih menyesakkan. Ada rasa lega… dan juga luka.

“Iya?... Oh ya, Mama ingin mandi dulu. Kamu makanlah yang banyak, ya,” ucapnya sambil bangkit dari duduknya, mengusap tangan Nayara sebentar.

“Papa tidak ikut ma?” tanya Nayara dengan polos sebelum sang ibu benar-benar pergi.

“Sepertinya masih sibuk… Nanti Mama coba hubungi,” balas Maria sambil melangkah pelan menuju kamar. Suaranya terdengar datar, seperti berusaha menutupi sesuatu.

Begitu pintu kamar tertutup, suasana berubah sunyi. Maria berjalan perlahan ke arah ranjang, lalu duduk di tepi tempat tidur. Matanya mulai basah, dan dalam hitungan detik, air mata yang sejak tadi ditahannya tumpah deras. Isaknya tertahan di dada, namun tubuhnya gemetar.

Air mata itu mengalir bagaikan luapan sungai yang sudah terlalu lama terbendung. Suara tangisnya samar, hampir tak terdengar oleh siapa pun. Di antara isaknya, Maria berucap sendiri dalam lirih yang penuh luka…

“Kamu benar, Sayang… hubungan tanpa cinta itu tak akan pernah bahagia. Batu karang tak akan pernah hancur jika air laut itu sama sekali tak bisa menyentuh batu karang tersebut,” ucap Maria lirih, diiringi tangis yang tersedu sendu. Suaranya bergetar, seperti tercekik oleh emosi yang selama ini hanya bisa ia telan sendiri.

Tubuhnya menggigil pelan. Bahunya naik turun menahan isak. Tangannya yang gemetar meremas ujung selimut di atas pangkuannya, seolah menjadi satu-satunya pegangan agar ia tidak runtuh saat itu juga. Matanya merah, basah, namun pandangannya kosong—menatap ke dinding kamar yang hanya menjadi saksi bisu dari luka yang bertahun-tahun ia pendam.

Maria mengingat kembali semua yang telah ia simpan sendiri sebagai seorang istri… dan juga sebagai seorang ibu. Betapa selama ini ia menelan semua pil pahit sendiri, menyimpan aib rumah tangganya rapat-rapat, demi anak gadisnya. Di hadapan Nayara, ia selalu tampak tegar, tersenyum seolah segalanya baik-baik saja, hingga Nayara tumbuh dengan keyakinan bahwa kedua orang tuanya tidak pernah diterpa masalah.

Namun kenyataannya... hatinya hancur berkali-kali.

Perselingkuhan Anthony—suaminya, pria yang dulu ia cintai sepenuh hati—dengan wanita lain membuatnya mati perlahan. Luka yang ia pendam begitu dalam, karena meskipun hatinya berontak, mulutnya tak pernah sanggup berteriak. Ia ingin melawan, ingin menuntut keadilan. Tapi realita menampar keras: wanita itu kini sah menjadi istri kedua dari suaminya. Lebih menyakitkan lagi, wanita itu membawa seorang putri kecil yang memanggil suaminya "Papa."

Wanita mana yang tidak akan remuk?

Sementara itu, Nayara yang masih duduk di ruang makan, menatap piringnya yang kini terasa hambar. Hening menyelimuti ruangan. Dentingan sendok yang ia letakkan dengan kasar di atas piring menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Ia menghela napas panjang, menatap pintu kamar yang telah tertutup rapat.

“Sampai kapan Mama akan menutupi semua ini dariku…? Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi oleh kalian…” gumamnya pelan, namun sarat dengan perasaan terluka. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi jelas membawa getir.

Tatapannya kosong, namun ada kilatan kecewa dan marah yang tersimpan di sana. Nayara memang sudah tahu. Ia bukan lagi anak polos yang bisa dibohongi dengan senyum dan pelukan. Ia tahu, Ayahnya telah berselingkuh. Bahkan ia tahu jika kedua orang tuanya sering bertengkar di balik pintu, di tempat-tempat yang mereka kira tak terjangkau oleh telinga dan mata anak mereka.

Nayara cukup dewasa untuk mengerti semuanya.

Kedatangan wanita asing yang tiba-tiba tinggal bersama mereka, membawa serta seorang anak kecil, cukup menjadi bukti. Ia tidak sebodoh itu untuk tidak memahami siapa mereka. Tapi Nayara memilih diam. Ia pura-pura polos, menahan semua tanya dalam hati, seolah tidak tahu apa-apa. Dalam hati kecilnya, ia hanya berharap… semoga semua bisa kembali seperti semula.

Seiring berjalannya waktu.

Namun harapan itu, kini mulai terasa seperti angin—tak bisa digenggam, hanya menyisakan dingin yang menyelinap masuk ke dalam hati.

Saat tengah asyik melamun, pandangan Nayara kosong menatap ke arah cangkir teh di depannya yang sudah mulai mendingin. Angin sore yang menerobos masuk dari sela-sela jendela terasa lembut membelai pipinya, membuat hela napasnya terdengar lebih berat dari biasanya. Namun lamunannya buyar seketika saat ponselnya yang tergeletak di atas meja tiba-tiba bergetar keras, diiringi dering yang memecah keheningan ruangan.

Dengan sedikit kaget, Nayara meraih ponsel itu dan mengusap layar.

"Halo?" sapanya singkat, suaranya terdengar sedikit lelah namun tetap ramah.

"Haii... Nay! Kamu mau ikut?" tanya suara di seberang sana yang langsung dikenalnya sebagai Vina, sahabat dekatnya.

"Kemana?" tanyanya dengan nada penasaran, duduknya kini lebih tegak, mata mulai berbinar.

"Konser! Katanya di Bogor bakal ada konser dari musisi besar, loh!" ujar Vina dengan nada antusias yang menular. Kebetulan sekali. Dia memang sedang berada di kota itu, dan jika ada konser besar... rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan. Nayara memang penyuka konser—ia menikmati suasana gemuruh penonton, dentuman musik, dan cahaya panggung yang menari di udara.

"Wah... sungguh? Siapa?" tanyanya penuh antusias, nada bicara yang tadinya datar kini mulai bersemangat.

"It's Fabio, you know!" jawab Vina dengan tawa kecil, seolah nama itu cukup untuk membuat siapa pun tergoda datang.

"Ahhh... dia?! Kenapa aku tidak tahu?" Nayara mengerutkan alis, tangannya kini sibuk membuka browser di ponselnya untuk mengecek kebenarannya.

"Aku juga tahu dari Melda, jadi... Bagaimana? Kamu mau datang? Aku bisa jemput ke rumah atau kita bertemu di lokasi?" tawar Vina cepat, suaranya tak kalah semangat.

"Bertemu di tempat aja, aku sudah di Bogor,," sahutnya santai.

"Yah! Curang sekali! Kenapa tidak bilang kalau sudah di sana duluan?" protes Vina, nadanya dibuat seolah kecewa namun terdengar lucu, khas gaya bercandanya.

"Aku sebenarnya tidak niat datang ke sini, tapi Mama kebetulan sedang di villa Kakek-Nenek, jadi aku nyusul ke sini setelah pulang sekolah," jelas Nayara sambil menghembuskan napas pelan, tangannya memainkan ujung rambut yang terurai di bahu.

"Ouhhh... Baiklah, jadi bagaimana?" tanya Vina sekali lagi, ingin memastikan.

"Baiklah, kita pergi malam kan?" Nayara memastikan kembali sambil melirik jam di layar ponsel.

"Iya, jadi kita akan bertemu di sana. Sekarang aku pesankan tiketnya," ujar Vina dengan nada antusias, suara cerianya nyaris melompat keluar dari speaker ponsel.

"Baiklah, aku ikut saja," jawab Nayara pelan, mencoba terdengar bersemangat meski sorot matanya tidak menunjukkan antusiasme. Ada kekosongan di sana—ia memang tidak terlalu tertarik dengan konser kali ini, tetapi tak tega mengecewakan Vina yang begitu bersemangat sejak awal pembicaraan.

"Baiklah, see you in concert!" seru Vina riang, lalu menutup panggilan.

Setelah suara “klik” menandakan sambungan benar-benar berakhir, Nayara menatap layar ponsel beberapa detik, sebelum menurunkannya perlahan ke sisi meja. Ia bangkit dari sofa dengan langkah tenang, lalu berjalan menyusuri lorong menuju kamar ibunya.

Ketika sampai di depan pintu kamar, ia berhenti sejenak. Daun pintu tidak sepenuhnya tertutup. Dari celah kecil itu, Nayara bisa melihat sang ibu yang tengah tertidur di atas ranjang. Wajahnya tampak damai, beristirahat dalam diam yang begitu dalam. Nafasnya teratur, dan tubuhnya terselimuti dengan rapi.

Nayara masuk pelan-pelan, menjaga langkah agar tak menimbulkan suara. Sesampainya di sisi ranjang, ia membetulkan posisi selimut yang agak tergeser, lalu menunduk dan mengecup kening ibunya dengan lembut.

"Mama kuat sekali... Aku, kalau jadi Mama, mungkin tidak akan bertahan lama menghadapi laki-laki seperti Papa, percayalah, Mah... Naya sangat sayang sama Mama." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, namun sarat emosi.

Dia terdiam sejenak, menatap wajah ibunya yang tenang. Ada semburat haru dan kagum yang menari dalam matanya. Ia mengurungkan niat awalnya untuk memberi tahu soal rencana pergi ke konser malam nanti. Baginya, mengganggu waktu istirahat ibunya yang langka adalah hal yang tak perlu.

Dengan hati-hati, ia menarik gorden hingga cahaya dari luar meredup. Tangannya lalu memutar suhu AC, menyesuaikan agar ruangan cukup sejuk. Ia ingin memastikan ibunya bisa tidur lebih nyaman siang itu.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Nayara keluar kamar. Ia merogoh ponsel dari saku celana, membuka daftar kontak, lalu menekan nomor bernama “Papa”. Cukup lama nada sambung terdengar hingga akhirnya panggilan terjawab.

"Ada apa, sayang?" sambut suara berat dari seberang, penuh kelembutan yang sudah lama tidak ia dengar langsung.

"Papa... apa Papa sibuk?" tanya Nayara membuka percakapan, suaranya pelan tapi terdengar ingin diperhatikan.

"Iya, kalau sekarang sedikit sibuk. Tapi Papa pulang awal nanti sore. Kenapa? Apa kamu ingin sesuatu?" sahut sang ayah, Anthony, dengan suara yang hangat dan penuh perhatian, seperti biasa.

"Papa bisa datang ke Bogor?" tanya Nayara cepat.

"Bogor? Untuk apa?" tanya Anthony, kini terdengar bingung.

"Hanya main... Mama dan aku ada di sini juga," jawab Nayara singkat, berharap kehadiran ayahnya bisa sedikit menghangatkan suasana.

"Di villa Mamah?" tanya Anthony memastikan, nada suaranya kini lebih waspada.

"Iya. Apa Papa tidak tahu? Mama bilang sudah minta izin pada Papa," ucap Nayara polos, membuat Anthony terdiam sejenak. Suara dari seberang menjadi hening, dan Nayara mengernyit bingung, menanti reaksi selanjutnya. Beberapa detik yang sunyi terasa seperti menit, sampai akhirnya suara itu kembali terdengar, kali ini lebih lembut.

"Ah iya... Papa lupa," ucap Anthony.

"Jadi, Pa, bagaimana? Bisa, kan? Nay mohon..." bujuk Nayara lagi. Hatinya sedikit was-was, namun juga berharap. Di ujung sana, kembali terdengar jeda hening. Nayara nyaris menarik napas kecewa sebelum akhirnya terdengar suara yang ia tunggu.

"Iya... Papa akan datang setelah pulang kantor. Mungkin agak sore," ujar Anthony. Senyum langsung merekah di wajah Nayara. Matanya berbinar, dan ada rasa hangat yang mengalir dalam dadanya—sebuah kebanggaan kecil karena berhasil membujuk sang ayah.

"Serius?" tanyanya lagi, memastikan kalau itu bukan hanya janji manis yang akan dilupakan nanti.

"Iya, sweetheart," jawab Anthony penuh kasih.

"Nay tutup teleponnya, ya, Pa," ucap Nayara, lalu menekan tombol merah di layarnya sambil menghela napas panjang.

Setelah panggilan berakhir, Nayara memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Langkah kakinya terdengar lembut menapaki lantai villa yang bersih dan tenang. Setibanya di kamar, ia menggantung handuk di bahu dan berjalan menuju kamar mandi. Suhu air yang hangat membasuh tubuhnya perlahan, menyapu lelah dan penat yang masih tersisa setelah perjalanan panjang dari Jakarta ke Bogor. Uap tipis memenuhi ruangan, menyatu dengan aroma sabun yang segar dan menenangkan.

Selesai mandi, rambutnya masih setengah basah ketika ia membaringkan diri di tempat tidur. Ponsel ia genggam, matanya menelusuri layar tanpa benar-benar fokus pada apa yang ia lihat. Jemarinya menggulir aplikasi, sesekali membuka pesan atau sekadar melihat linimasa. Namun lelah yang tertumpuk sejak pagi mulai mengambil alih tubuhnya. Kelopak matanya terasa berat, dan tanpa disadari, layar ponsel yang masih menyala itu perlahan tergelincir dari genggaman, jatuh di samping bantal. Nayara tertidur pulas, tubuhnya tenggelam dalam kasur yang empuk, wajahnya damai, nafasnya teratur. Kelelahan membuatnya tak sadar waktu terus bergulir, mengalir diam-diam tanpa ia sadari.

...

Sementara itu, matahari mulai tenggelam perlahan di ufuk timur, menyisakan semburat jingga keemasan di langit Bogor yang mulai beranjak malam. Suasana villa begitu tenang dan damai, hanya suara angin yang sesekali menyusup di sela-sela pepohonan yang mengelilingi halaman.

Tiba-tiba, suara mesin mobil terdengar bergemuruh dari arah depan villa, memecah keheningan yang sempat memeluk suasana. Sebuah mobil mewah berwarna hitam menggelinding mulus di atas jalanan batu yang menghiasi pekarangan. Lampu depannya menyala, menyorot pagar villa yang terbuka perlahan.

Dari dalam mobil itu, seorang pria keluar dengan gerakan tenang namun tegas. Tangannya menggenggam jas dan tas kerja berwarna gelap. Wajahnya tampak berwibawa, dengan garis rahang tegas dan sorot mata yang tajam namun tenang. ANTHONY MAXWELL HARRISON—ayah Nayara—memancarkan aura elegan yang sulit untuk diabaikan. Meski usia telah menambahkan garis-garis halus di sekitar matanya, ketampanannya masih bersinar dengan pesona maskulin yang anggun dan berkelas.

Anthony melangkah masuk ke dalam villa. Sepatu kulitnya menyentuh lantai marmer dengan suara lembut namun pasti. Udara dalam ruangan terasa hangat, sedikit beraroma bunga dari diffuser yang menyala di sudut ruangan.

Pandangan matanya segera menangkap sosok seorang wanita cantik yang duduk di sofa ruang tamu. Rambutnya tergerai rapi, tubuhnya bersandar santai meskipun aura anggun tetap menyelubungi dirinya. Ia memegang ponsel, jemarinya sesekali menyentuh layar, namun sorot matanya kosong, seperti tak benar-benar memperhatikan apapun. Di hadapannya, televisi menyala menampilkan acara drama, namun tak ada satupun adegan yang menarik perhatiannya.

Wanita itu menoleh seketika, seperti merasakan kehadiran yang begitu dikenalnya. Matanya bertemu dengan sosok pria yang kini berdiri beberapa langkah dari pintu masuk—suaminya sendiri.

"Kenapa tiba-tiba pergi ke sini? Tidak ada izin ataupun bicara padaku? Apa sesulit itu menjalani hubungan tanpa menyampingkanku begitu saja?" bentak Anthony. Suaranya lantang, penuh amarah yang dia pendam sejak mendapat kabar Maria dan Nayara ada di Bogor tanpa sepengetahuannya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam ke arah istrinya, seolah menuntut jawaban yang masuk akal.

Maria hanya berdiri tenang di hadapannya, sorot matanya kosong, seperti wanita yang sudah terlalu lelah memaksa diri untuk peduli. Bahunya tegap, namun dingin memancar dari sikap tubuhnya.

“Aku hanya rindu pada orang tuaku,” ujarnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Nada suaranya terdengar sangat biasa, bahkan terlalu dingin untuk seorang istri yang sedang dipertanyakan keberadaannya.

“Tapi seharusnya kamu izin padaku! Apa yang kamu lakukan itu harus atas izin dariku! Apa sesulit itu meminta izin atau bicara? Setidaknya… hargai aku! Hargai keberadaanku sebagai suamimu!” Suara Anthony meninggi. Rahangnya mengeras, dan kepalan tangan kirinya gemetar di sisi tubuhnya. Emosinya meledak melihat bagaimana sikap Maria tak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah. Maria menarik napas dalam, lalu menatap Anthony lurus—tatapan yang tak lagi lembut seperti dulu.

"Dahulu aku menghargaimu. Menghormatimu sebagai suamiku, menganggapmu pasangan hidupku, sahabatku yang selalu aku banggakan pada semua orang." Suaranya mulai bergetar, bukan karena takut, tapi karena kecewa yang begitu dalam menyelinap di setiap katanya. Wajahnya menegang, matanya mulai berkaca-kaca.

“Tapi semenjak kau membawa wanita itu ke dalam ikatan pernikahan kita, aku kehilangan rasa hormatku padamu. Aku bertahan hanya untuk Nayara… bukan untuk dirimu. Jadi berhentilah meminta hak yang tidak akan mungkin aku berikan lagi padamu.” Ia berdiri, hendak melangkah pergi.

Langkahnya baru saja berpindah satu, saat tiba-tiba Anthony menyambar pergelangan tangannya, menariknya agar tetap berdiri di hadapannya. Tubuh Maria sedikit terhuyung, namun ia segera menegakkan punggungnya, menatap suaminya dengan sorot tajam.

“Aku sudah menyesali perbuatanku! Aku khilaf waktu itu! Stefani yang menggoda aku! Dan sekarang aku sudah menjauh darinya! Apa sesulit itu untukmu mengerti keadaan?” teriak Anthony. Suaranya bergetar, matanya tampak merah, penuh tekanan dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Maria menghela napas berat. Air matanya jatuh satu per satu tanpa ia tahan.

"Khilaf?" ucapnya lirih, lalu menatap Anthony dengan pandangan penuh luka yang terpendam begitu lama. "Tujuh belas tahun kamu menyembunyikan wanita itu di antara pernikahan kita… tujuh belas tahun kamu berbohong padaku… tujuh belas tahun kamu menyakiti dan membuatku terlihat seperti patung yang hanya bisa diam melihat semua kebusukan itu." Suaranya meninggi, tubuhnya bergetar karena luapan emosi yang nyaris tak tertahankan.

"Dan kamu bilang itu khilaf? Astaga, Tuhan… drama apa ini?" Ia mencoba menarik tangannya dari genggaman Anthony, namun cengkeraman itu terlalu kuat. Maria tetap berusaha, walau tahu dirinya kalah tenaga. Di matanya, bukan hanya rasa sakit yang terlihat—melainkan kehancuran.

"Stefani yang menggoda aku! Aku sama sekali tidak pernah berniat menduakanmu, Maria. Kalau saja bukan karena dia yang lebih dulu memancingku…" suara Anthony terdengar tegas, sedikit membentak, membuat udara di ruangan itu seolah menegang. Wajahnya mengeras, sorot matanya gelap, dan tangan yang masih menggenggam pergelangan Maria semakin erat. Tubuh Anthony bergerak maju sedikit, mempersempit jarak di antara mereka.

"Sekarang dia sudah tidak ada di sini. Apa salahnya memulai dari awal? Aku sudah berjanji akan berubah, dan asal kamu tahu… lahirnya Dewi adalah sesuatu yang sama sekali tidak aku harapkan!" Suaranya meninggi di akhir kalimat, seolah menyiratkan rasa sesak dan penyesalan yang telah lama membebaninya.

Maria menatapnya lama. Matanya menyipit, rahangnya mengeras, dan wajahnya kini dipenuhi kemarahan yang tidak bisa lagi dibendung.

"Dia menggoda mu?" tanyanya lirih namun tajam, seperti ujung belati yang menggores kulit. "Lalu kenapa kau tidak menolaknya, Anthony? Kau lupa kau sudah punya aku dan Nayara? Kau lupa janji-janji pernikahan yang dulu kau ucapkan dengan yakin di hadapan Tuhan?" Ia mengangguk pelan, namun itu bukan anggukan setuju—melainkan kecewa. Air matanya kembali jatuh, kali ini bukan karena sedih, tapi karena muak.

"Dan apa katamu? Khilaf? Entah berapa ratus kali kau bilang kalau kau khilaf, tidak sengaja, terpancing, tergoda… Kau pikir aku bodoh? Faktanya, kau juga menikmati itu, kan? Tujuh belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk seseorang yang lupa. Tujuh belas tahun, Anthony. Selama itu kau hidup dalam dua dunia, dan aku… aku harus bertahan dalam bayang-bayang kebohongan." Maria menatapnya dengan sorot menghujam. Napasnya memburu, dadanya naik-turun menahan amarah.

“Kau dan dia… tidak ada bedanya. Sama-sama tidak tahu diri.” Maria kembali mencoba menarik pergelangan tangannya.

"Lepaskan tanganku… sekarang!" ujarnya lantang, penuh amarah dan luka yang menumpuk. Tapi Anthony masih belum mengendurkan genggamannya. Wajahnya berubah gelap. Terpojok, tapi masih berusaha membela diri. Mata mereka saling menatap—panas, saling melukai dalam diam dan suara.

"LEPASKAN AKU, ANTHONY!" teriak Maria dengan suara melengking, seolah membuat burung-burung kecil yang bertengger di atap villa mengepakkan sayap ketakutan. Wajahnya memerah, tubuhnya bergetar menahan marah. Namun Anthony masih tak bergeming. Genggamannya justru semakin erat, seperti seorang pria yang putus asa tidak ingin kehilangan sesuatu yang sudah hancur.

"Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau mau dengar penjelasanku, Maria! Kau selalu merasa paling benar! Aku pria, Maria! Aku punya tekanan, punya beban, dan saat itu… aku lemah!" balas Anthony sengit. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun hebat. Sorot matanya gelap—bukan karena benci, tapi karena amarah dan luka yang tak terbendung.

“Lemah? Kau menyebut itu kelemahan? Jangan pakai alasan murahan untuk menutupi kebusukanmu, Anthony! Kau bukan lemah—kau memang brengsek dari awal!” Maria tertawa sumbang, suaranya serak tertahan amarah.

Tangannya bergetar ketika ia mendorong dada suaminya dengan seluruh tenaga yang tersisa. Genggaman Anthony terlepas seketika karena dorongan itu. Tubuh Maria mundur satu langkah, lalu ia menyeka air matanya kasar dengan punggung tangan.

"Aku membuang harga diriku selama bertahun-tahun hanya demi mempertahankan rumah tangga ini. Demi putri kita. Tapi kau…! Kau tidur dengan wanita yang bahkan hanya staf kantormu. Dan sekarang? Kau ingin aku memaafkan dan mengulang dari awal seolah semuanya tak pernah terjadi?" Suaranya pecah.

Anthony membanting tas kerja yang sedari tadi masih digenggamnya ke lantai marmer dengan keras.

BRAKK!

Suara benda itu menghantam lantai membuat ruangan seketika hening. Sorot matanya kini liar, seperti hewan buas yang terpojok.

"Aku laki-laki! Aku kepala keluarga! Aku punya hak untuk diperhatikan, Maria! Aku bisa kehilangan banyak hal… Tapi aku tidak akan kehilangan kehormatanku hanya karena kau tak bisa menahan emosimu!" bentaknya, telunjuknya teracung ke arah wajah istrinya, hal itu membuat Maria terkekeh getir.

"Kehormatan?" ulangnya sinis. "Jangan bicara soal kehormatan di depanku. Karena pria yang menjaga kehormatannya tidak akan menyentuh wanita lain selain istrinya. Dan kau… sudah kehilangan itu sejak kau menyentuh tubuh wanita jalang itu." Lanjut nya yang membuat Anthony memejamkan matanya sesaat, menahan amarah yang kian menggila. Ia meremas rambutnya frustasi, berjalan mondar-mandir seperti pria yang kehilangan akal.

"Aku sudah cukup! Kalau kau masih berniat menyalahkanku, menyebut dirimu suami yang dikhianati, silakan. Tapi dengar ini baik-baik, Anthony. Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Tidak hari ini. Tidak besok. Dan tidak sampai aku mati." teriak Maria kemudian, matanya membara.

Langkah kakinya mantap. Maria membalikkan badan, ingin pergi dari hadapan pria itu sebelum emosinya meledak lebih buruk. Tapi suara Anthony kembali menghentikannya.

"Jadi ini akhir menurutmu, hah? Kau pikir kau bisa pergi semudah itu?" Ujar Anthony yang membuat Maria menoleh pelan. Mata mereka kembali bersitatap.

“Bukan aku yang pergi… tapi rasa hormatku yang sudah lebih dulu meninggalkanmu.” balas nya.

"Aku sudah menjauh darinya! Aku sudah meninggalkannya! Aku berusaha memperbaiki kesalahan yang telah aku perbuat!" bentak Anthony, suaranya meledak bagaikan dentuman guntur di langit mendung. Wajahnya memerah, urat di lehernya menegang, dan bola matanya tampak bergetar menahan emosi yang sudah tak tertahankan.

Maria memejamkan matanya sejenak. Tubuhnya refleks mundur sedikit. Teriakan Anthony terlalu keras—terlalu menyakitkan untuk telinga dan hati yang sudah lama retak. Suasana vila yang sebelumnya tenang kini seakan bergetar oleh emosi dua manusia yang saling menyakiti.

Dengan kasar, Anthony kembali menarik tangan Maria, menyeret tubuh mungil wanita itu lebih dekat ke arahnya. Napas Anthony memburu, dadanya naik turun tak beraturan. Sementara Maria tetap menahan tubuhnya, mencoba melepaskan diri, tapi tak cukup kuat melawan genggaman tangan suaminya yang keras dan penuh emosi.

"Tidak ada gunanya memperbaiki bangunan yang sudah ambruk, sekalipun kamu berhasil memperbaikinya, semuanya tidak akan sama lagi." ucap Maria dengan suara serak, pelan, namun penuh ketegasan. Sorot matanya kosong, seperti sudah terlalu lelah menampung luka.

Wajahnya menegang, namun kini bukan karena amarah—melainkan karena kesedihan yang dalam, seperti kabut gelap yang menyelimuti relung hatinya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan suara yang mulai bergetar.

"Berhentilah memperbaiki... apa pun itu. Tidak berguna lagi sekarang, kamu sendiri tahu jika umurku sudah tidak lama lagi.” lanjutnya. Kalimat itu menampar kesadaran Anthony. Mata pria itu membelalak, jemarinya yang tadi mencengkram mulai melemah.

"Aku tidak mengapa... akan kubawa semua kegilaanmu bersamaku, aku tidak mau putri kita tahu… jika ayahnya segila itu, sudah cukup Nayara menganggap mu panutan nya,” ucap Maria, tersenyum getir. Air matanya mulai menetes, mengalir diam-diam tanpa suara. Ia menatap Anthony dengan pandangan sendu, bukan lagi penuh kemarahan, tetapi luka yang tak bisa diperbaiki oleh waktu atau penyesalan.

“Berhentilah berteriak-teriak… Naya sedang tidur di atas,” lanjutnya, suaranya melembut, nyaris berbisik. “Dan pergilah mandi… tidak perlu memperbaiki, tidak perlu meminta maaf... semuanya sudah terlambat.” lanjut nya sembari menghela napas pelan, lalu menunduk, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman sang suami.

“Untuk sekarang… teruslah berpura-pura baik-baik saja di hadapan Naya. Aku hanya ingin putri kita bahagia… Kumohon, lepaskan tanganmu,” ucapnya lirih, namun penuh kekuatan yang tersisa dari jiwa yang rapuh.

Anthony hanya bisa diam. Sorot matanya kosong, tubuhnya membeku. Jemarinya pun perlahan melepaskan genggaman itu. Ia membiarkan Maria melangkah menjauh, membiarkan punggung wanita yang dulu begitu ia banggakan kini meninggalkannya dengan luka yang ia ciptakan sendiri.

Anthony berdiri di sana, membisu. Terpaku dalam gelap yang samar-samar memeluk ruang tamu. Hanya deru napasnya yang tersisa, berat dan penuh sesal. Tertinggal dalam hening dan kesadaran bahwa luka yang ia ukir, tak akan pernah bisa dihapus—bahkan oleh penyesalan yang paling tulus sekalipun.

Tak ada kata yang bisa ia keluarkan, hanya diam yang menyelimuti, menyesakkan dadanya. Ia menghela napas panjang, seolah mencoba menelan semua kekeliruannya. Dengan langkah pelan, ia menyusul ke kamar, mengikuti saran Maria untuk mandi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!