Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 Saat Kota Masih Belum Terbangun
Langit Jakarta masih abu-abu saat Rembulan Adreyna membuka laptop di meja makannya. Jam digital di dinding menunjuk pukul lima tiga puluh. Kopi hitamnya masih mengepul, aromanya samar bercampur bau hujan yang tertinggal dari malam tadi. Suara azan subuh sudah lama lewat, tetapi matanya belum juga beristirahat sejak semalam.
Di layar, barisan email menumpuk seperti daftar dosa yang harus ditebus sebelum matahari naik. Kontrak pindahan gedung, pembaruan izin operasional, pembagian tim proyek untuk kantor cabang baru di Surabaya—semuanya menunggu tanda tangannya. Tujuh tahun kerja keras, dan sekarang semuanya berpindah dalam satu keputusan besar.
“Surabaya, huh…” gumamnya pelan, menatap jendela yang dipenuhi kabut embun. Entah mengapa, kata itu terdengar asing tetapi juga seperti rumah yang belum pernah dia datangi.
Pagi itu sunyi. Hanya suara detik jam dan kipas angin yang berputar malas. Rembulan menghela napas panjang, jemarinya yang lentik mengetik cepat di keyboard, mata fokus tetapi sesekali kosong. Sudah dua malam dia hanya tidur tiga jam—sisanya terpakai untuk memastikan semua dokumen pindahan clear. dia bukan tipe yang bisa menyerahkan sesuatu pada takdir. Segalanya harus rapi, selesai, dan sempurna.
Ketukan pelan di pintu apartemennya memecah kesunyian.
“Masuk saja, Li,” suaranya pelan tetapi jelas.
Tak lama kemudian, Liora Larasmita masuk sambil membawa dua gelas iced latte dan sekantong roti hangat dari kafe bawah. Rambut panjangnya diikat asal, kemeja putihnya tergulung sampai siku. Berbeda dengan Bulan yang terlihat lelah dan serius, Liora tampak seperti versi cerah dari pagi yang belum jadi terang.
“Gue yakin sangat lo belum tidur, kan?” katanya sambil menaruh minuman di meja.
Bulan hanya melirik sekilas, senyum tipis di ujung bibirnya. “Tidur tuh overrated kalau deadline pindahan udah di depan mata.”
Liora menggeleng pelan, duduk di seberang meja. “Gue serius, Bul. Lo bisa tumbang kalau maksa terus. tidak usah kayak CEO bayangan begitu, biar gue yang mikirin setengahnya.”
“Aku COO, Li, bukan hiasan. Lo tahu gue tidak bisa tenang kalau belum beres semua.”
Nada Bulan datar tetapi bukan dingin—lebih ke bentuk kelelahan yang disembunyikan dengan efisiensi.
Liora memandangnya beberapa detik, lalu tersenyum. “Lo masih sama kayak dahulu, ya. Selalu mau ngelindungin semuanya sendirian. Kadang gue lupa kalau di balik COO yang keras kepala ini masih ada anak sembilan belas tahun yang dahulu kerja sambil kuliah cuma biar adiknya bisa sekolah.”
Kalimat itu membuat Bulan berhenti mengetik. Ada jeda sunyi di udara.
dia menatap cangkir kopinya, lalu tersenyum tanpa benar-benar bahagia. “dahulu gue tidak punya pilihan, Li. Sekarang pun… kayaknya masih belum.”
Liora mendesah, kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Lo bakal punya pilihan, Bul. Di Surabaya nanti, segalanya mulai lagi dari awal. Mungkin itu kesempatan buat lo… belajar tidak terlalu keras sama diri sendiri.”
Bulan terdiam. Matanya menatap keluar jendela. Langit mulai berubah, garis jingga samar menyusup di antara kabut beton kota. Jakarta perlahan bangun—suara kendaraan pertama, klakson jauh, langkah-langkah manusia yang mengejar waktu.
dia menatapnya sesaat, lalu berkata pelan, hampir seperti berbisik, “Lo tahu tidak, Li? Kadang gue ngerasa hidup gue cuma kayak program yang terus jalan tanpa pernah dimatiin. Semua otomatis—kerja, tanggung jawab, target, deadline. tetapi ya… mungkin di Surabaya nanti, gue bisa nemuin ‘pause’-nya.”
Liora tersenyum kecil. “Dan mungkin… akan ada seseorang yang akan pencet tombol ‘pause’ lo itu.”
Bulan mengerling tajam. “Lo mulai lagi nih modus matchmaking?”
“Hei, bukan modus! Gue cuma bilang… tsk, intinya siapa tahu Surabaya ngasih kejutan manis,” jawab Liora sambil tertawa kecil, nada suaranya ringan tetapi penuh makna.
Mereka berdua tertawa pelan, dan untuk pertama kalinya pagi itu terasa seperti benar-benar pagi—hangat, sederhana, tanpa tekanan.
Beberapa jam kemudian, apartemen itu berubah jadi lautan kardus dan koper. File dokumen, buku, dan tumpukan kabel charger memenuhi lantai. Bulan duduk bersila di tengah ruangan, rambut hitamnya sedikit berantakan, tetapi matanya hidup kembali.
“Gue baru sadar, tujuh tahun tinggal di sini, tetapi tidak banyak yang gue simpen buat diri sendiri,” katanya, menatap koper yang hanya terisi beberapa baju dan dua foto bingkai kecil.
Satu foto keluarganya—ayah, ibu, dan adiknya Lintang saat masih SD. Dan satu lagi foto tim awal PT Global Teknologi, saat kantor mereka masih di ruko kecil di bilangan Rawamangun. Foto itu yang selama ini menguatkan Bulan; foto itu pula yang mencambuknya agar bekerja lebih keras lagi.
Kemudian matanya berpindah lagi ke foto keluarganya. dia sempat melihat foto adik semata-wayangnya yang sedang tersenyum. Sejak hidupnya berubah, tujuan hidupnya hanya adiknya itu—hanya Lintang yang ada di pikirannya saat itu. Bahkan sampai saat ini Bulan belum pernah merasakan bagaimana jatuh cinta kepada seseorang, karena sampai saat ini yang ada di pikirannya hanya kerja—kerja, dan uang.
Sejak awal, prinsip hidupnya adalah: kalau kamu tidak punya uang, kamu akan diremehkan. Maka dari itu dia banting tulang, bagai kuda, sampai saat ini.
Liora menatapnya dengan lembut. “Itu bukti lo tidak pernah ngelakuin ini buat diri lo, Bul. tetapi buat orang-orang yang lo sayang.”
Bulan tersenyum samar. “Termasuk lo.”
“Gue tahu,” jawab Liora pelan, lalu menepuk bahunya. “Makanya, kali ini lo harus janji—di Surabaya nanti, lo tidak cuma hidup buat kerja, tetapi juga buat bahagia.”
Bulan menatap Liora, lalu mengangguk. “Janji.”
Di luar, matahari sudah naik tinggi. Langit biru Jakarta perlahan menggantikan kelabu. Di parkiran, dua koper besar dan sebuah kardus bertuliskan “Surabaya Office — Main Files” sudah siap diangkut. Angin pagi membawa aroma tanah basah dan sisa hujan semalam, seolah ikut mengantar mereka pada perjalanan baru.
Sebelum menutup pintu apartemen, Bulan menatap sekali lagi ke dalam ruangan kosong itu. Begitu banyak malam, lembur, dan air mata yang tertinggal di sana. Namun kali ini, dia tidak merasa kehilangan—hanya lega. Karena di ujung perjalanan ini, dia tahu… sesuatu sedang menunggunya. Entah pekerjaan baru, kehidupan baru—atau mungkin seseorang yang takdirnya sudah mulai ditulis bersamaan dengan langkah kakinya meninggalkan Jakarta.
**
Udara Surabaya pagi itu hangat dan lembap, seperti sapaan lembut dari kota yang baru saja terbangun. Di luar Terminal Kedatangan Domestik Bandara Juanda, riuh manusia menyatu dengan hembusan angin pagi. Troli-troli berderit pelan, suara roda koper beradu dengan lantai licin, dan aroma kopi dari kios kecil bercampur dengan bau logam pesawat yang baru mendarat. Orang-orang lalu-lalang dengan wajah lega, sibuk mencari nama di papan jemputan, saling memanggil, saling memeluk.
Di tengah keramaian itu, udara Surabaya terasa berbeda—hangat, tetapi menenangkan. Seolah kota ini menyambut setiap kedatangan dengan senyum kecil yang tidak terlihat.
Bulan berdiri menunggu bagasi bersama Liora, matanya menelusuri wajah-wajah yang berlalu—hingga sepasang mata bening berwarna cokelat madu memantul dalam pandangannya.
“Kak Bul-bul!” Suara itu datang cepat, nyaring, dan penuh semangat.
Dari arah pintu keluar, seorang gadis muda berlari kecil sambil melambaikan tangan, jaket kampus ITS tergantung di bahu, rambutnya dikuncir asal.
Bulan tak bisa menahan senyumnya. “Lintang…” ucapnya, hangat dan lega.
Mereka berpelukan lama, seperti dua potongan hati yang akhirnya bertemu kembali setelah terpisah oleh jarak dan waktu. Lintang menatap kakaknya dengan ekspresi campuran antara rindu dan kagum.
“Ya ampun, Kak Bul-bul makin mirip CEO saja deh. Elegan sangat, tetapi aura capeknya juga nambah.”
Liora tertawa pelan di samping mereka. “Aku udah bilang dari tadi, dia tuh tidak bisa berhenti kerja bahkan di pesawat.”
Bulan mencubit lengan adiknya pelan. “Jangan bercanda terus, Lin. Kamu udah sarapan belum?”
“Udah dong. Aku udah tahu sangat, Kak Bul pasti bakal nanyain itu begitu turun pesawat.”
Jawabannya ringan, tetapi di baliknya terselip kehangatan yang jarang terlihat di antara dua saudara perempuan yang cuma punya satu sama lain.
Lintang menggandeng tangan Bulan sambil membantu mendorong koper. “Ayo, mobilnya parkir tidak jauh kok. Aku bawa mobil kampus, pinjem dari senior. Katanya buat jemput keluarga terhormat boleh.”
“Wah, mulai sekarang kita punya sopir pribadi nih,” seloroh Liora sambil tertawa.
Yap, mobil milik Bulan dan Liora sengaja dijual untuk menambah dana perusahaan, sebab mereka tahu kalau mengurus perpindahan kantor memerlukan banyak biaya. Walaupun perusahaan mereka bukan perusahaan kecil, setiap peluang yang menghasilkan uang selalu mereka utamakan.
Perjalanan dari bandara menuju pusat kota diwarnai obrolan ringan, tawa kecil, dan cerita singkat tentang hari-hari pertama Lintang sebagai mahasiswa. Bulan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menatap keluar jendela mobil. Surabaya pagi itu cerah, tetapi tidak terik. Gedung-gedung baru berdiri di antara pepohonan, dan di udara ada aroma samar tanah basah yang berbeda dari Jakarta—lebih bersahaja, lebih hidup.
“Mungkin ini awal yang baik,” batinnya pelan.
Untuk dirinya, untuk perusahaannya, dan untuk sesuatu yang belum dia tahu akan mengubah segalanya.
**
Sementara itu, di sisi lain kota Surabaya, suasana pagi di Arjuno Grand Hotel & Resort begitu berbeda. Tidak ada tawa, tidak ada aroma kopi dari dapur, hanya bunyi langkah sepatu di lantai marmer dan suara jam dinding yang berdetak teratur.
Bhumi Jayendra berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya di lantai tiga puluh. Kota di bawahnya terlihat kecil dan teratur—persis seperti cara dia menyusun hidupnya.
Pagi ini, kemeja putihnya terlipat rapi, dasi abu-abu muda sudah terikat sempurna. Satu tangan memegang cangkir teh, tangan lainnya menggulir berkas di tablet digital berlogo Bhumi grup.
Segalanya tampak sempurna. tetapi kesempurnaan itu justru terasa sepi.
“Semua sudah beres di pabrik?” suaranya datar, nyaris tanpa intonasi, ketika sekretarisnya, Arsen, datang membawakan dokumen.
“Sudah, Pak Bhumi. Tim audit baru akan datang minggu depan.”
Bhumi mengangguk pelan. Tak ada ekspresi berlebihan. Hanya anggukan kecil, lalu langkah perlahan menuju ruang kerja yang dindingnya dipenuhi lukisan lanskap gunung dan foto-foto hotelnya di seluruh Jawa Timur. Semua tampak sempurna, rapi, teratur—seperti dirinya.
Telepon di meja berdering pelan.
“Pak Bhumi,” suara manajer hotel di ujung sana. “Tim event marketing sudah menyiapkan rundown acara sore ini. Ada beberapa perusahaan digital yang akan mempresentasikan produk mereka di ballroom utama. Mungkin Bapak mau hadir sebentar?”
Bhumi menoleh setengah hati. “Perusahaan digital?” tanyanya datar.
“Iya, Pak. Bidangnya software dan teknologi. Salah satunya… PT Global Teknologi. Perusahaan baru yang pindah dari Jakarta, CEO-nya perempuan juga. Katanya presentasinya cukup menarik.”
Bhumi diam beberapa detik. Namanya… entah mengapa, menimbulkan rasa ingin tahu.
“PT Global Teknologi?” ulangnya pelan, seperti sedang mencicipi nama yang asing di lidahnya.
“Baik. Siapkan jadwal saya untuk hadir sore nanti.”
“Baik, Pak Bhumi.” Telepon ditutup. Sunyi kembali memenuhi ruangan.
Bhumi berjalan pelan ke rak kaca di sudut ruang. Di sana, terpajang foto keluarga: ayah dan ibunya di tengah kebun teh, serta adik perempuannya yang masih berseragam SMA tersenyum cerah. Jarang dia menatap foto itu lama-lama—bukan karena tidak peduli, justru karena terlalu sayang untuk dijadikan sekadar hiasan pandangan.
dia menghela napas panjang, meletakkan cangkir teh di meja, lalu menatap keluar jendela lagi. Surabaya di bawah sana sibuk dengan rutinitasnya, tetapi untuk Bhumi, hari ini entah mengapa terasa sedikit berbeda. Mungkin karena aroma teh di udara lebih kuat dari biasanya.
Atau mungkin karena sesuatu—seseorang—sedang bergerak mendekatinya perlahan tanpa dia sadari.
Di luar sana, mobil yang ditumpangi Rembulan, Lintang, dan Liora baru saja melewati papan besar bertuliskan “Selamat Datang di Surabaya.”
Lintang bersandar di kursi depan sambil menatap kakaknya melalui kaca spion.
“Kak Bul,” katanya lembut. “Aku senang sangat kamu sekarang deket sama aku lagi. Jakarta itu kayak terlalu jauh buat orang kayak kamu yang tidak pernah nyantai.”
Bulan tertawa kecil. “Kamu saja nanti jangan kabur terus kalau aku tiba-tiba datang ke kampus.”
Lintang cengengesan. “Yakin Kak Bul bisa nyempetin waktu di antara seribu jadwal meeting?”
Bulan menatapnya melalui kaca belakang, senyumnya lembut. “Kamu tidak tahu saja, Lin. Kadang hal paling penting justru bukan di agenda kerja, tetapi kejutan.”
Mobil melaju perlahan di bawah langit cerah. Dan di ujung lain kota, seorang pria bernama Bhumi Jayendra menatap pemandangan yang sama dari jendela tinggi hotelnya. Dua kehidupan berbeda, dua dunia yang belum pernah bersentuhan. tetapi seperti dua garis yang digambar oleh tangan yang sama—mereka perlahan mulai mengarah ke satu titik pertemuan.
**
tbc