Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Manual Hidup Meisya : Jangan Ditiru, Tapi Juga Jangan Diremehkan (Bagian 1)
Meisya Arianda, ya ini adalah namaku—gadis yang sudah berumur tiga puluh yang menjadi pusat kekhawatiran para tetangga, kerabat bahkan rekan kerja.
Status: masih bisa beli minuman boba tanpa mikir harga, tapi udah harus mikir dua kali sebelum beli seblak karena asam lambung.
Kenapa? Nah akupun masih bingung kenapa? Apa karena di umur sekarang aku masih menikmati masa single eraku? Entahlah.
“Lo terlalu milih sih, makanya masih belum nikah juga sampai saat ini”.
“Standar lo tinggi banget, turunin dikitlah! Mau sampai kapan lo mau hidup menjomblo terus?”
“Nanti kalau lo udah makin tua gak ada lagi yang mau, zaman sekarang banyak anak-anak muda yang cantik-cantik, lalu apa yang tersisa buat lo selain duda?”
Atau.
“Ntar lo jadi perawan tua kalo gak juga menikah, apalagi kalau sudah diatas tiga puluh tahun, bakal sulit punya anak nantinya”
Itulah beberapa komentar yang dilontarkan kepadaku.
Dari lingkungan sekitar. Dari rekan kerja yang bahkan tidak terlalu mengenal kepribadianku. Atau dari tetangga dan kerabat dekat saat acara-acara lebaran ataupun hajatan.
Bahkan mamaku yang biasanya gak pernah mengurusi pribadiku, mulai open mic. Dengan kata-kata mutiara yang sudah menjadi rutinitas hariannya.
walaupun kita tidak tinggal di tempat yang sama tapi itu bukan penggahalang untuk mencerocoti kehidupan pribadiku.
“Meisya, kamu tuh harus sering-sering keluar rumah biar ketemu jodoh,” katamu mamaku pagi-pagi sambil menyodorkan sepiring lontong sayur yang harumnya bikin iman goyah.
“Aku keluar rumah kok mah, buktinya aku kerja dari jam 8 sampai jam 5, dari senin sampai jum’at, itu kurang keluar gimana lagi coba mah,” jawabku nyengir sambil menyuap potongan lontong yang cukup besar untuk ukuran mulutku sehingga membuatku terlihat seperti tupai.
“Bukan keluar buat bekerja, keluar buat interaksi, bangun koneksi sekalian nyari jodoh.”
“Keluar rumah tu risiko mah. Aku alergi sama banyak manusia. Aku males ngeladenin pertanyaan-pertanyaan seputar hidupku, bikin puyeng. Bisa-bisa aku pingsan, mah.”
“Lah, memangnya kamu gak mau nikah? Terakhir kamu bilang ‘aku akan segera mencari calon biar mamah cepet gendong cucu’, gitu.”
“Iya mau lah mah, tapi pengennya nikah dari rumah aja.”
Mamaku terdiam. Keningnya berkerut. Menghela nafas sambil masih menatap ke arahku yang masih sibuk dengan lotong dengan potongan segede gaban.
Kemudian dengan wajah menyerah pergi. Mungkin ada pertimbangan untuk mengikutsertakanku di acara ‘Nikah Virtual Tanpa Bertemu.’
Jadi begitulah. Hidupku penuh paradox. But jangan salah. Di balik semua keanehan ini, aku punya satu prinsip yang kuat: jangan pernah menolak makanan yang diulurkan oleh tangan-tangan yang baik hati, apalagi yang gratis. Karena di dunia ini cinta bisa palsu, tapi bakso—kalau gratis itu enaknya tulus.
Sebenarnya, aku tuh gak ribet orangnya.
Cuma…. Ya, kalau ditanya kenapa aku bisa nangis gara-gara indomie rebusnya kelembekan, terus ketawa lima menit kemudian karena nonton video kucing marah sama bayangan dia di cermin, lalu tiba-tiba kepikiran masa depan dan googling “umur maksimal orang bisa ganti karir jadi pastrier”—ya itu bukan drama, itu senin pagi versiku yang biasa.
Aku benar-benar tidak mengerti kenapa aku yang berumur tiga puluh tahun ini membuat lingkungan sekitar ku resah, memang benar kelihatannya aku hanya ngantor lalu pulang. Kemudian rebahan lalu tidur.
Siklus ini sudah aku lakukan hampir beberapa tahun belakang ini dan aku merasa hidupku bahagia-bahagia aja. Lantas mengapa mereka pada panik ya?
Who knows?
Tapi yang jelas saat ini lingkungan sekitar ku langsung berubah jadi mak comblang. Ada saja tawaran perjodohan dan kecan buta yang berdatangan.
Lalu bagaimana reaksiku?
Yah awalnya sudah pasti menolaknya dengan sopan. Senyum ramah yang menghiasi wajahku sambil mengatakan ‘aku baik-baik saja dan akan memikirkan lagi tawarannya’.
Tapi-.
Tentu saja tidak cukup menolak kegigihan mereka.
Bahkan wajah yang menurut mamaku cantik tapi menurut rekan kerjaku judes ini, menjadi salah satu alasan mengapa aku masih jomblo sampai sekarang. Alasan yang absurd menurutku.
Yah, walaupun aku sadar bahwa secara tampilan luar, banyak yang bilang aku punya aura alpha woman: tegas, mandiri, keliatan kayak bisa ngeluarin keputusan penting sambil ngaduk kopi. Padahal kenyataannya, aku bisa berdiri 15 menit di depan etalase supermarket cuma buat memutuskan mau beli pasta gigi rasa mint yang mana, dengan alis bertaut dan tampang seperti habis boker keras, lalu pulang tanpa beli apa-apa karena galau eksistensial.
Aku ini sebenarnya kayak paket hemat karakter fiksi yang dicampur pengawasan editor:
Wajah judes ala villain cewek di sinetron jam 7 malam,
Tawa absurd kayak bocil baru di kasih balon sama es krim,
Isi kepala penuh teori konspirasi kenapa stok indomie goreng tiba-tiba langka,
Dan prinsip hidup selemah “kalau baju kotor belum numpuk segunung, belum perlu nyuci.
Aku butuh waktu sendiri. Tapi kalau ditinggal sendirian, bawaannya pengen nelpon Rahma sahabat absurdku Cuma buat nanya:
“Eh, menurut lo, kalo alien tuh beneran ada, mereka bisa ikut tren tiktok gak ya?”
Aku introvert by nature, ektrovert by tuntutan sosial.
Kadang aku bisa tampil layaknya MC kawinan: ramah, cerewet, energik. Tapi begitu acara selesai, aku auto pulang, buka kebaya dan ngerengek di kasur kayak kucing habis kena siram air sambil ngeluh ke Tuhan,
“Kenapa hidupku begini amat, Tuhan?” Sambil scrolling chat yang sudah se-abad belum aku bales.
Aku punya cita-cita jadi ibu rumah tangga. Tapi…
Setrika baju sendiri aja udah bikin emosiku memuncak sebelum berangkat kerja, ngepel lantai lantai? Udah kayak musuh bebuyutan dari orok. Apalagi nyuci piring, itu adalah aktifitas yang selalu aku tunda-tunda sampai gak ada lagi yang bisa aku gunakan. Pada kahirnya aku mutusin bahwa pekerjaan rumah not my passion.
Kalau ditanya apa aku gak pengen punya pasangan hidup? Aku bakal jawab pengen banget dengan dengan nada nangis lirih kayak orang yang habis nonton film titanic karena gak terima Jack mati tenggelam hanya untuk nyelamatin cewek yang baru dia temui. Cintanya tuh goblok banget rasanya bagi logika tumpul aku tapi tetap aja nangis karena dia ganteng dan mati.
Tapi ya, aku males banget harus ketemu orang asing tanpa persiapan mental minimal dua minggu, jatuh cinta pada pandangan pertama itu adalah istilah absurd yang menurutku gak akan pernah terjadi selama tiga puluh tahun aku hidup di bumi.
karena apa?
Karena gak mungkin banget bagiku jatuh cinta tiba-tiba sama mas ganteng yang aku temui di pintu toilet coffee shop. Kalaupun ada yang datangi aku pas duduk nunggu Rahma, aku bakal mempertanyakan hal-hal absurd dalam kepalaku tanpa menjawab perkataan mereka. Pasalnya di otak aku itu langsung otomatis muncul pertanyaan:
Kenapa dia mau minta akun social media aku? Apa ini semacam prank? Atau hidden camera atau dia lagi kalah game punishment sama temennya?
Atau kalau dia serius apa dia akan ngerti kalau aku butuh space selama 3 hari tanpa chat, ataupun telponan tapi tetep sayang?
Atau apakah dia akan terima kalau aku gak bisa masak tapi jago banget urusan pesen makanan online di toko rating bintang lima dengan diskon maksimal?
Atau apakah dia akan tahu bahwa kalau aku diam itu bukan karena aku marah, cuma karena settingan pabrik wajah aja yang sudah antagonis sejak lahir. Atau mungkin karena aku cuma lagi nge-reload otak yang kehabisan RAM?
Dan yang lebih penting lagi….
Apakah dia akan ngerti betapa cintanya aku sama makanan? Betapa aku sangat suka makan banyak? Tapi syukurnya gak gendut. Bukan karena diet. Tapi karena tuhan punya favorite dan itu aku.
Masalahnya dunia gak ngerti konsep ini.
Setiap kali aku makan 4 potong pizza, orang akan melongo dan bertanya,
“Makanan yang masuk ke perut lo bocor kemana sih? Kok lo bisa gak gemuk?”
Terus aku jawab, “Mungkin karena gue hidup dalam tekanan batin.”
Mereka ketawa.
Aku juga ketawa. Tapi sambil tetap ngunyah.
Selain wajah antagonisku yang bikin salah paham, profesionalitas kerja ku juga menjadi alasan salah mengapa rekan kerja di kantor berpikir bahwa aku adalah leader yang tegas, professional dan sedikit intimidating.
Padahal aku cuma gak bisa basa-basi.
Kalau mau diskusi ya tinggal langsung ke topik. Gak perlu pakai prolog, epilog dan puisi pembuka.
Tapi ya, kadang aku juga iseng. Pernah suatu waktu aku kirim email yang isinya Cuma:
“Tolong, aku tidak bisa lagi menahan ini.”
Tanpa penjelasan. Tanpa attachment.
Biar chaos dikit. Biar hidup gak ngebosenin.
Orang-orang bilang aku susah buat di dekati.
Padahal yang susah itu adalah…aku ngajak diri sendiri buat percaya sama orang.
Aku punya trust issues yang lebih rumit dari algoritma tiktok. Tapi kalau udah kenal, keabsurdan ku akan keluar kayak makan nasi goreng pakai toping es krim. Aneh, tapi tiap yang datang enggan buat pergi.
Dan begitulah aku. Bukan tokoh utama di cerita orang lain tapi tetap menjadi figuran di cerita sendiri.
**