Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan Tusuk Sate Rahasia
“Direndam dalam air pembersih panci.”
Jantung Han Qiu yang baru saja mulai berdetak normal, kini berhenti total. Suara itu, serak dan penuh dengan kelelahan hidup, datang dari bayang-bayang di ambang pintu. Bukan Gao.
Bukan mandor. Itu adalah suara yang ia kenal dari dapur, suara yang jarang terdengar tetapi selalu ada—Koki Tua Zhang.
Li memekik tertahan, tubuhnya menegang seperti senar yang ditarik terlalu kencang. Ia menjatuhkan diri di belakang Han Qiu, seolah tubuh kecil temannya itu bisa menjadi perisai dari malapetaka yang akan datang.
Seorang pria tua bungkuk melangkah keluar dari kegelapan. Wajahnya dipenuhi kerutan dalam, seperti peta sungai yang mengering, dan matanya yang sayu telah melihat lebih banyak fajar dan senja di dapur ini daripada gabungan usia mereka berdua. Ia tidak terlihat marah. Ia hanya terlihat... lelah.
“Kalian anak-anak bodoh,” desis Zhang, matanya tertuju pada mangkuk berisi daging yang direndam. Ia mendekat, mengendus udara dengan hati-hati. “Kau menggunakan suan jiao. Cerdik. Sangat cerdik. Tapi juga sangat, sangat bodoh. Bau asamnya samar, tapi bagi hidung yang sudah terbiasa dengan kehampaan, baunya seperti petir di siang bolong.”
“Kami… kami bisa jelaskan, Paman Zhang,” gagap Li, suaranya nyaris tak terdengar.
Zhang mengibaskan tangannya dengan gestur muak.
“Jelaskan apa? Bahwa kalian mencoba memberi makan Putra Langit dengan sesuatu yang memiliki rasa? Aku sudah bekerja di dapur ini selama empat puluh tahun. Aku melihat tiga kaisar dan lima kepala koki. Aku tahu apa itu pemberontakan saat aku mencium baunya.”
Han Qiu menelan ludah, memberanikan diri.
“Anda akan melaporkan kami?”
Pria tua itu menatapnya lama, tatapannya menembus topeng pelayan bodoh Xiao Lu dan seolah melihat langsung ke dalam jiwa Han Qiu yang gelisah. Ia terkekeh pelan, suara tawanya kering seperti daun-daun di musim gugur.
“Melaporkan kalian? Nak, melaporkan kalian berarti aku harus berbicara dengan wanita itu,” katanya, menyebut Gao tanpa nama, seolah nama itu sendiri adalah kutukan.
“Dan aku lebih baik menelan arang panas daripada harus berdebat dengannya tentang filosofi memasak. Aku sudah lelah bertarung.” Ia menunjuk ke mangkuk itu dengan dagunya.
“Tapi kalian… kalian belum.”
Keheningan yang canggung menyelimuti ruangan. Han Qiu dan Li saling pandang, tidak mengerti.
“Tempat ini tidak aman,” lanjut Zhang pelan.
“Dinding di sini tipis. Suara dan bau bisa merembes. Jika kalian benar-benar ingin melanjutkan kegilaan ini, kalian butuh tempat yang lebih baik. Sebuah liang tikus yang sesungguhnya.”
“Di mana?” bisik Han Qiu, secercah harapan muncul.
Zhang menghela napas panjang.
“Di bawah gudang penyimpanan kayu bakar utara. Ada sebuah ruang bawah tanah tua yang sudah tidak terpakai selama bertahun-tahun. Tempat itu lembap, gelap, dan mungkin penuh tikus. Sempurna untuk kejahatan kecil kalian.” Ia berbalik untuk pergi.
“Jangan sampai tertangkap. Wanita itu tidak punya belas kasihan. Dia hanya punya pisau dan prinsip.”
Dengan peringatan itu, Koki Tua Zhang menghilang kembali ke dalam kegelapan, meninggalkan mereka dalam keheningan yang dipenuhi keterkejutan dan kelegaan yang luar biasa.
*
Ruang bawah tanah itu persis seperti yang digambarkan Zhang, bahkan lebih buruk. Kegelapan di sini terasa padat, bisa disentuh, berbau jamur dan janji-janji yang membusuk. Satu-satunya cahaya berasal dari celah sempit di langit-langit, tempat sebuah papan lantai di atasnya sedikit lapuk, membiarkan seberkas cahaya kelabu menembus masuk. Udara terasa pengap dan berat.
“Aku lebih suka menghadapi Gao daripada laba-laba seukuran kepalan tanganku itu,” keluh Li sambil bergidik, menunjuk ke sebuah jaring tebal di sudut.
“Anggap saja mereka penjaga rahasia kita,” balas Han Qiu, matanya sudah beradaptasi dengan kegelapan. Ia meletakkan mangkuk daging yang dibungkus kain dengan sangat hati-hati di atas sebuah peti kayu yang lapuk.
“Tempat ini sempurna. Terisolasi. Tidak ada yang akan datang ke sini.”
Tugas pertama mereka adalah membuat tusuk sate. Di istana yang terobsesi dengan kesempurnaan, tidak ada batang bambu atau kayu yang dibiarkan tergeletak begitu saja. Semua harus berguna atau dibuang.
“Bagaimana kita akan menusuk dagingnya? Dengan jari?” tanya Li sinis, rasa takutnya berubah menjadi kejengkelan.
Han Qiu tidak menjawab. Ia malah berjongkok dan menarik sesuatu dari balik tumpukan karung goni yang sudah berjamur. Sebuah tikar bambu tua yang sudah robek dan dibuang. Benang-benang yang mengikatnya sudah lapuk, tetapi bilah-bilah bambunya masih kuat.
“Ini bukan sekadar bambu, Li,” kata Han Qiu sambil tersenyum tipis.
“Ini tulang punggung dari pemberontakan kita.”
Selama satu jam berikutnya, mereka bekerja dalam keheningan yang hanya dipecah oleh suara bambu yang dipatahkan dan napas mereka yang terengah-engah. Han Qiu, dengan menggunakan pecahan ubin tajam yang ia temukan, mulai meraut ujung setiap bilah bambu menjadi runcing. Tangannya bergerak dengan ketepatan yang mengejutkan, seolah ia telah melakukan ini ribuan kali.
Li bertugas memotong bilah-bilah itu menjadi panjang yang seragam, sekitar sejengkal. Pekerjaannya kasar dan tidak rapi, tetapi cukup baik.
“Sudah cukup,” kata Han Qiu setelah mereka mengumpulkan sekitar tiga puluh batang runcing.
“Sekarang bagian yang paling penting.”
Ia membuka bungkusan kain, memperlihatkan irisan daging rusa yang telah berubah. Daging itu kini tampak lebih pucat dan terasa sangat lentur di tangannya. Aroma asam samar dari rendaman asam jawa bercampur dengan aroma manis dari gula dan aroma khas daging itu sendiri.
“Lihat baik-baik,” perintah Han Qiu dengan nada seorang guru. Ia mengambil sepotong daging dan sebatang tusuk sate.
“Kau tidak bisa menusuknya begitu saja. Kalau terlalu padat, bagian dalamnya tidak akan matang dan bagian luarnya akan gosong. Kalau terlalu longgar, dagingnya akan jatuh saat dibakar.”
Li mencondongkan tubuhnya lebih dekat, matanya yang besar memantulkan cahaya redup dari celah di langit-langit. Ia melihat bagaimana jari-jari Han Qiu menari di atas daging itu. Tidak kasar, tetapi membujuk. Han Qiu melipat irisan daging itu, menciptakan gelombang-gelombang kecil, lalu menusukkan bambu itu menembus setiap lipatan.
“Harus ada sedikit ruang di antara setiap lipatan,” jelasnya.
“Agar panas bisa masuk dan memasak dagingnya secara merata. Bagian yang lebih tipis, lipat dua kali agar tidak kering.”
Li mengangguk, terpesona.
Di matanya, Han Qiu bukan lagi Xiao Lu, pelayan kikuk yang sering melamun. Di hadapannya adalah seorang seniman, seorang ahli strategi.
Setiap gerakannya memiliki tujuan. Ia tidak hanya menyiapkan makanan; ia sedang menyusun sebuah mahakarya kecil.
“Sekarang, giliranmu,” kata Han Qiu, menyodorkan semangkuk daging dan beberapa tusuk sate kepada Li.
Awalnya, tangan Li kaku dan canggung. Daging yang licin itu terus-menerus terlepas dari genggamannya. Tusukan pertamanya terlalu rapat, membuat daging itu menggumpal seperti kepalan tangan yang marah.
“Terlalu tegang,” koreksi Han Qiu dengan lembut.
“Daging ini sudah lunak. Kau tidak perlu memaksanya. Ikuti saja alur seratnya.”
Li menarik napas dalam-dalam dan mencoba lagi. Kali ini, ia mencoba meniru gerakan Han Qiu yang luwes. Ia melipat, ia menusuk. Hasilnya lebih baik. Tidak sempurna, tetapi sudah berbentuk sate.
Ada rasa bangga yang aneh menjalari dirinya. Ia bukan lagi hanya seorang kurir rahasia; ia adalah bagian dari proses penciptaan ini.
“Bagus,” puji Han Qiu.
“Kau cepat belajar.”
Mereka terus bekerja dalam diam, masing-masing tenggelam dalam tugasnya. Suara gesekan bambu menembus daging menjadi satu-satunya musik di ruang bawah tanah yang sunyi itu. Aroma daging yang dimarinasi mulai memenuhi udara pengap.
Li masih gemetar. “Aku benci tempat ini. Tempat ini kotor. Bagaimana jika… bagaimana jika makanan ini jadi tidak bersih?”
Han Qiu berbalik menghadap Li, tatapannya tajam.
“Itulah bedanya kita dengan mereka, Li,” katanya dengan suara rendah dan penuh penekanan.
“Kita mungkin memasak di liang tikus, tapi standar kita lebih tinggi dari singgasana Gao. Rasa tanpa kebersihan adalah racun. Aku tidak akan pernah mengulangi kesalahan itu lagi.”
Ia membuka tutup peti itu, memeriksa setiap potongan daging dengan teliti, memastikan tidak ada yang terkontaminasi. Keputusasaan sesaat yang dirasakan Li sirna, digantikan oleh kekaguman yang lebih dalam.
Han Qiu tidak hanya berjuang untuk rasa; ia berjuang untuk integritas.
Mereka melanjutkan pekerjaan mereka dengan kewaspadaan baru, setiap suara decitan membuat mereka waspada. Akhirnya, setelah hampir dua jam, pekerjaan mereka selesai.
Dua puluh tusuk sate berbaris rapi di atas selembar kain bersih. Setiap tusukan adalah janji kenikmatan, sebuah senjata kecil dalam perang besar mereka. Dagingnya yang berwarna cokelat pucat tampak lembut dan siap menerima panasnya api.
“Kita berhasil,” bisik Li, senyum lega terukir di wajahnya.
“Dua puluh tusuk sate untuk Kaisar.”
Han Qiu mengangguk, rasa puas yang hangat menjalari dirinya. Ia mengangkat satu tusuk sate, mengagumi hasil kerja mereka di bawah seberkas cahaya kelabu. Sempurna.
Tap. Tap. Tap.
Suara itu begitu pelan, nyaris tak terdengar. Bukan suara tikus. Bukan suara air yang menetes. Itu adalah suara langkah kaki yang disengaja.
Mereka berdua membeku.
Suara itu datang dari atas. Tepat di atas papan lantai yang lapuk itu.
Tap… tap… tap…
Langkah-langkah itu berhenti. Tepat di atas mereka. Bayangan seseorang tiba-tiba menutupi satu-satunya sumber cahaya mereka, menjerumuskan ruang bawah tanah itu ke dalam kegelapan total.