Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senja di Aceh
Senja di Aceh masih menyisakan sisa-sisa cahaya emas di langit, seperti lukisan yang enggan terhapus. Namun peluit pagi tiba-tiba melengking, menembus kesunyian yang menggantung. Derap sepatu bot menghentak aspal, ritmis dan tegas, bersahut-sahutan dengan kokok ayam jantan dan gema takbir dari surau asrama.
Bagi orang luar, itu mungkin kebisingan. Tapi bagi mereka yang hidup di kompleks militer, semua itu adalah simfoni, musik sehari-hari yang mengiringi tiap tarikan napas.
Di antara deretan rumah prajurit yang berbaris rapi, dua sosok kecil berlarian di lapangan hijau yang masih basah oleh embun.
Byantara Aswangga, bocah berambut cepak dengan kulit sawo matang, tampak gagah meski tubuhnya belum sebesar nyalinya. Di pundaknya tergantung ransel lusuh, terlihat terlalu berat untuk ditanggung seorang anak seusianya. Di belakangnya, Kalea Aswangga berlari sambil menggerutu, rambutnya terikat dua kuncir yang bergoyang setiap langkahnya.
"Bang! Itu tas Lea, Lea bisa bawa sendiri!" serunya setengah kesal.
Byantara menoleh sambil tetap berlari. "Ini berat. Kamu nggak akan kuat. Kamu kan nggak pernah latihan angkat batu kayak Abang."
"Berat karena isinya buku, bukan batu kayak kepala Abang!" Kalea membalas dengan wajah cemberut.
"Heh, kamu pikir jadi anak tentara boleh manja? Jarang-jarang loh kamu bisa manja-manja begini."
"Ya... enggak. Tapi ini bukan manja, ini bikin malu."
"Malu?" Byantara mengangkat alis.
Kalea mengangguk cepat.
Sejenak mereka saling tatap, lalu tawa pecah, meledak begitu saja. Suara mereka nyaring, lepas, bebas. Meski begitu, setiap langkah kecil mereka tetap tegap, seolah tanah yang mereka pijak menyimpan aturan tak tertulis: jangan lambat, jangan menyerah.
Mereka tumbuh dalam lingkungan aba-aba, komando, dan derap sepatu bot. Kalea dan Byantara bukan saudara kandung, sebuah kenyataan yang bahkan tak pernah mereka sadari, apalagi dipertanyakan. Segalanya terasa alami. Sedari dulu Kalea menemukan rumah di bahu Byantara, dan Byantara selalu luluh melihat air mata Kalea.
Saat kucingnya hilang, saat diejek anak-anak kompleks, atau saat digoda lajang barak, hanya satu nama yang dicari Kalea, Abang.
Waktu di asrama militer tak diukur oleh detik dan menit, tapi oleh disiplin. Kalea sudah terbiasa bangun sebelum subuh, ikut senam pagi, kerja bakti, bahkan tahu cara menyetrika celana loreng dengan garis presisi nyaris sempurna,seperti garis takdir yang tidak boleh meleset.
Namun, meski lingkungannya keras, Kalea tumbuh berbeda. Di usia sembilan tahun, ia sudah bisa menahan tangis meski lututnya berdarah. Di usia dua belas tahun, ia berani melawan anak-anak lajang barak yang mengejek.
"Kamu cewek, mana mungkin kuat jadi tentara!"
Dengan dagu terangkat, ia menjawab lantang, "Lea bisa buktiin kok. Suatu hari nanti, om-om semua akan jadi bawahan Lea. Kalian yang bakal kasih hormat sama Lea."
Tapi di balik semua keberaniannya, ada Byantara yang selalu jadi penopang. Kadang ia mendorong Kalea untuk maju, kadang menariknya mundur agar tak terlalu terluka.
Suatu sore di pantai dekat asrama, senja menenggelamkan dirinya ke laut. Ombak berkejaran, dan di atas pasir, dua anak itu duduk berdampingan.
"Kalau kamu beneran mau jadi tentara, Lea," ujar Byantara sambil melempar kerikil ke laut, "kamu harus siap jatuh, terus bangun sendiri. Jangan selalu nunggu Abang nolongin."
Kalea menatap langit jingga yang mulai memudar. "Tapi kalau Lea jatuh berkali-kali, sampai nggak bisa bangun lagi... Abang mau datang nyamperin Lea, kan?"
Byantara diam. Tapi keheningan itu lebih berat daripada dentuman meriam.
Hari-hari berlalu. Kalea tumbuh menjadi gadis tangguh, kulit kuning langsatnya mengilat tiap kali berlari di bawah matahari, matanya setajam belati. Ia tak lagi menangis saat dihukum pelatih atau diejek teman-temannya. Ia berlari dengan ransel penuh batu, push-up di belakang asrama, dan berjanji pada dirinya sendiri, ia tidak ingin menjadi bayangan siapa pun,bahkan bayangan Byantara.
Sedangkan Byantara, ia tumbuh gagah. Namanya mulai diperhitungkan di organisasi kepemudaan militer. Ia jadi teladan, bukan hanya karena disiplin, tapi juga karena hatinya yang selalu menjaga. Ia tak pernah menyombongkan diri, meski ia tahu Kalea sering membanggakan namanya di depan teman-teman.
Suatu malam, hujan deras baru saja reda. Mereka duduk di beranda, menyantap mie instan yang masih mengepul.
"Bang," kata Kalea, memutar garpu dengan tatapan penuh mimpi. "Kalau suatu hari Lea jadi tentara perempuan yang gagah berani... Abang bakal bangga nggak?"
Byantara menoleh, tersenyum kecil. "Kalau kamu jadi tentara... kamu harus lebih hebat dari Abang. Kalau bisa, pangkatmu lebih tinggi dari Abang dan Papa."
Kalea tertawa renyah. "Nanti Lea yang nyuruh Abang push-up seratus kali kalau telat apel ya..."
Byantara pura-pura melotot. "Berani kamu?"
"Berani dong. Kan Lea udah jadi komandannya Abang!"
"Kamu ya..."
Tawa mereka pecah lagi, memenuhi udara malam. Tapi di balik suara tawa itu, sesuatu tumbuh pelan-pelan. Perasaan yang terlalu dalam untuk disebut kagum, terlalu kuat untuk disebut kasih kakak-adik.
Dan Byantara? Ia merasakan hal yang sama... tapi memilih bungkam. Baginya, rasa itu terlarang, meski ia tahu Kalea bukan darah dagingnya.
Di asrama militer, rasa bukanlah sesuatu yang boleh diumbar. Apalagi di tanah Aceh, tempat adat dan kehormatan lebih tajam daripada bayonet.
Dan dari sinilah semuanya dimulai,
sebuah kisah tentang cinta yang berderap bersama langkah prajurit, yang harus memilih, patuh pada aturan tak tertulis, atau menyerah pada bisikan hati yang tak terbantahkan.