Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGHADAPI KRISIS - DEMO KUALITAS DI KAMPUS
Pagi itu, Fajar duduk di ruko yang sangat sepi dengan wajah sangat pucat—tidak tidur semalaman, hanya menatap langit-langit sambil memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan bisnis yang hampir mati ini.
Pak Ganes datang lebih pagi dari biasanya dengan dua nasi bungkus dan teh manis hangat—tahu Fajar pasti belum makan sejak kemarin.
"Makan dulu, Nak," kata Pak Ganes dengan suara lembut sambil meletakkan nasi bungkus di depan Fajar.
"Nggak nafsu makan, Pak," jawab Fajar dengan suara sangat lemah.
"Kalau nggak makan, kamu nggak akan punya tenaga untuk berjuang," Pak Ganes duduk di samping Fajar, memaksanya untuk makan. "Dan kita masih harus berjuang, Nak. Belum saatnya menyerah."
Fajar menatap Pak Ganes dengan mata berkaca-kaca. "Berjuang gimana, Pak? Semua orang udah percaya sama fitnah itu. Nggak ada yang mau laundry di sini lagi. Uang kita tinggal sedikit. Minggu depan kita nggak bisa bayar sewa—"
"Makanya kita harus fight back," potong Pak Ganes dengan nada tegas yang jarang ia keluarkan. "Kita nggak bisa diam aja nunggu bisnis kita mati. Kita harus aktif membuktikan bahwa fitnah itu bohong."
"Tapi caranya gimana, Pak? Kita udah bikin klarifikasi di media sosial, tapi nggak ada yang percaya."
Pak Ganes terdiam sejenak, berpikir keras. Kemudian matanya berbinar—ada ide.
"Demo," katanya tiba-tiba dengan antusias. "Kita demo langsung di kampus."
Fajar mengerutkan kening. "Demo? Maksudnya?"
"Kita bawa deterjen kita, bawa pakaian, bawa semua peralatan cuci kita, terus kita cuci langsung di depan mahasiswa. Tunjukkan prosesnya. Tunjukkan deterjen yang kita pakai—deterjen branded yang aman, bukan murahan. Biarkan mereka lihat sendiri. Biarkan mereka cium sendiri hasilnya. People believe what they see, bukan what they hear."
Fajar menatap Pak Ganes dengan mata mulai berbinar—ada secercah harap yang mulai muncul lagi.
"Dan lebih dari itu," lanjut Pak Ganes sambil tersenyum, "kita tawarkan cuci gratis. Dua puluh kilogram. Siapapun yang mau, bisa bawa pakaian kotornya, kita cuci gratis di depan mata mereka. Biar mereka lihat langsung kualitas kita."
"Tapi Pak, kalau cuci dua puluh kilogram gratis, kita rugi—"
"Ini bukan soal untung rugi sekarang, Nak," potong Pak Ganes dengan tegas. "Ini soal survival. Kalau reputasi kita nggak pulih, kita akan mati. Rugi dua puluh kilogram deterjen dan listrik jauh lebih murah daripada bisnis kita tutup total."
Reza yang baru datang mendengar percakapan terakhir langsung setuju. "Pak Ganes benar. Ini strategi yang bagus. Dan aku bisa bantu arrange izin di kampus untuk demo. Kebetulan aku kenal sama ketua BEM."
Fajar menatap mereka berdua—dua orang yang tidak pernah menyerah pada dirinya. Dadanya terasa hangat. Mata berkaca-kaca tapi kali ini bukan karena putus asa—tapi karena haru.
"Oke," katanya dengan suara bergetar tapi mulai ada kekuatan. "Kita lakukan. Kita buktikan pada mereka semua bahwa kami nggak bohong."
Dua hari kemudian, Kamis pagi, di lapangan parkir kampus yang luas, Fajar, Pak Ganes, dan Reza sudah stand by sejak jam delapan pagi dengan persiapan yang sangat lengkap.
Mereka membawa:
Dua mesin cuci portable yang dipinjam khusus untuk demo
Genset kecil untuk listrik
Deterjen branded lengkap dengan sertifikat BPOM dan label asli
Banner besar bertulisan: "DEMO GRATIS BUMI BERSIH LAUNDRY - BUKTIKAN SENDIRI KUALITAS KAMI"
Ember, timbangan, jemuran portable
Dan yang paling penting: dua puluh kilogram pakaian kotor dari mereka sendiri untuk di-demo, plus kesediaan mencuci gratis pakaian mahasiswa yang mau coba
Reza sudah promosi sejak dua hari sebelumnya di media sosial kampus: "Penasaran dengan isu BUMI BERSIH? Datang aja langsung Kamis jam 10 pagi di parkiran kampus. Lihat sendiri prosesnya. GRATIS cuci 20kg untuk yang mau coba!"
Jam sepuluh, mulai banyak mahasiswa berkumpul—kebanyakan karena penasaran, sebagian karena tertarik dengan "gratis", sebagian lagi karena memang ingin tahu kebenaran isu yang beredar.
Fajar berdiri di depan dengan megaphone pinjaman dari BEM, tangan gemetar memegang mic. Ini pertama kalinya ia berbicara di depan banyak orang—dan ia sangat nervous.
"Selamat pagi teman-teman," suaranya bergetar di awal, tapi ia coba kuatkan. "Terima kasih sudah datang. Saya Fajar Baskara, owner BUMI BERSIH LAUNDRY."
Beberapa mahasiswa berbisik-bisik, ada yang menatap dengan tatapan penasaran, ada yang menatap dengan tatapan skeptis.
"Seminggu ini, ada isu yang beredar tentang laundry kami—katanya kami pakai deterjen murahan berbahaya yang bikin pakaian rusak dan kulit iritasi. Saya di sini bukan untuk ngeles atau bohong. Saya di sini untuk membuktikan langsung di depan kalian semua."
Ia menunjuk ke meja di sampingnya yang sudah disiapkan dengan rapi.
"Ini," ia mengangkat botol deterjen branded besar, "adalah deterjen yang kami pakai. Merek Attack, produk Kao Indonesia, bersertifikat BPOM, aman untuk kulit sensitif. Ini bukan deterjen murahan. Ini deterjen yang sama yang mungkin kalian pakai di rumah."
Ia menunjukkan sertifikat BPOM yang sudah ia print dan laminating—menunjukkannya satu per satu ke arah mahasiswa yang mendekat.
"Ini pelembut pakaian merek Molto—juga bersertifikat. Ini pemutih merek Bayclin—aman dan terdaftar resmi. Semua produk yang kami pakai bisa kalian cek sendiri. Kalian bisa foto, kalian bisa cek di internet, kalian bisa datang ke ruko kami dan lihat langsung stok kami."
Pak Ganes mengambil alih, menjelaskan dengan sangat detail—dengan wisdom seorang yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia usaha.
"Proses kami sangat hati-hati," katanya sambil menunjuk pakaian-pakaian yang sudah dipisah berdasarkan warna. "Kami pisahkan pakaian putih, warna gelap, dan warna terang. Kami nggak campur sembarangan karena itu yang bikin warna luntur. Kami cuci dengan suhu air yang tepat—nggak terlalu panas yang bisa merusak kain. Kami pakai deterjen dengan takaran pas—nggak berlebihan yang bisa bikin residu, nggak kurang yang bikin nggak bersih."
Reza menambahkan, "Dan yang paling penting: kami bersedia cuci pakaian kalian GRATIS hari ini. Dua puluh kilogram total. Siapa yang mau coba, bisa bawa pakaian kotornya sekarang. Kami cuci di sini, di depan mata kalian, pakai deterjen yang ini—" ia menunjuk deterjen branded, "—dan kalian bisa lihat sendiri hasilnya nanti sore."
Keheningan sejenak.
Mahasiswa-mahasiswa saling pandang, ragu-ragu.
Kemudian—
"Aku mau coba!"
Amara muncul dari kerumunan, membawa kantong plastik berisi pakaian kotor. Ia berjalan dengan percaya diri, tersenyum pada Fajar dengan senyum yang sangat supportive.
"Aku percaya sama Fajar," katanya dengan suara cukup keras agar semua orang dengar. "Aku udah laundry di BUMI BERSIH empat kali. Nggak ada masalah sama sekali. Justru pakaianku selalu wangi dan rapi. Dan hari ini, aku mau buktikan lagi di depan kalian semua."
Kepercayaan Amara memberikan efek domino. Satu per satu mahasiswa mulai maju—ada yang genuinely penasaran, ada yang ikut-ikutan, ada yang memang sudah pelanggan lama BUMI BERSIH dan ingin support.
Dalam sepuluh menit, sudah ada sepuluh mahasiswa yang menyerahkan pakaian kotor mereka—total dua puluh kilogram pas.
Fajar, Pak Ganes, dan Reza mulai bekerja—dengan sangat hati-hati, dengan sangat detail, menjelaskan setiap langkah:
"Ini kami timbang dulu—total dua kilo," Pak Ganes menunjukkan timbangan pada semua orang. "Ini pakaian putih, jadi kami cuci terpisah dengan air lebih panas sedikit dan pakai pemutih aman dosis sesuai aturan."
"Ini deterjen yang kami pakai—seperempat cup untuk dua kilo, sesuai petunjuk di kemasan. Nggak lebih, nggak kurang," Fajar menunjukkan sambil menuang deterjen dengan sangat hati-hati.
"Ini kami cuci selama 30 menit—durasi standar yang pas untuk bersih tapi nggak merusak kain," Reza menjelaskan sambil menyalakan mesin cuci.
Mahasiswa-mahasiswa menonton dengan serius—bahkan ada yang merekam video, ada yang foto untuk di-post di media sosial.
Proses pencucian berlangsung selama dua jam—semua pakaian dicuci dengan sangat hati-hati, dijemur di jemuran portable, dan mahasiswa bisa menyentuh, mencium, bahkan mengecek sendiri hasilnya.
"Wanginya enak banget!" seru salah satu mahasiswi sambil mencium pakaiannya yang sudah selesai dicuci.
"Bener nggak luntur! Warnanya masih bagus!" mahasiswa lain ikut berkomentar sambil memeriksa pakaiannya.
"Lembut juga! Nggak kaku!"
Testimonial positif langsung berdatangan di tempat. Mahasiswa-mahasiswa yang tadinya skeptis mulai percaya. Bahkan beberapa yang tadinya menyebar isu negatif mulai merasa bersalah.
"Gue minta maaf ya, Jar," kata salah satu mahasiswa dengan wajah menyesal. "Gue kemarin ikut-ikutan nyebarin isu tanpa cek dulu. Ternyata kalian beneran bagus."
Fajar tersenyum—senyum yang sangat lega dan tulus. "Nggak apa-apa. Yang penting sekarang kalian udah tahu kebenarannya."
Amara yang sejak tadi membantu dengan sangat aktif—menjelaskan ke mahasiswa lain, menjawab pertanyaan, bahkan membuat konten Instagram Live tentang demo ini—menghampiri Fajar dengan senyum lebar.
"Kamu hebat, Jar," katanya dengan mata berbinar bangga. "Cara kamu handle krisis ini... mature banget. Aku bangga."
Fajar merasakan wajahnya memanas mendengar pujian Amara. "Terima kasih, Amara. Terima kasih banyak udah bantu. Tanpa kamu, mungkin nggak akan sebanyak ini yang datang."
"Aku cuma bantu sebisanya," jawab Amara sambil mengangkat handphone-nya. "Dan aku akan bikin konten edukatif tentang ini—biar yang nggak datang hari ini juga tahu kebenarannya. Kita fight hoax with facts."
Sore itu, demo berakhir dengan sangat sukses. Puluhan mahasiswa yang datang langsung jadi "saksi" kualitas BUMI BERSIH. Mereka membagikan pengalaman positif mereka di media sosial—video, foto, testimonial—yang langsung viral dan melawan isu negatif yang beredar.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.