Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 1
Ruang keluarga setelah makan malam besar. Regina membantu Ibu Mertua membereskan meja makan, sementara Kak Mira dan Kak Sandra, ipar-ipar Regina, duduk di sofa, mata mereka sesekali melirik sinis.
"Wah, rajin sekali ya, Regina. Ibu sampai dibantu begini. Yang lain kan biasanya sudah menarik selimut," ucap Kak Mira, menghela napas panjang, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Nada bicaranya bagai lebah yang menyengat, manis namun beracun.
"Ah, nggak apa-apa, Kak Mira. Sudah jadi kebiasaan Regina membantu Ibu," balas Regina, senyumnya setipis sutra, menumpuk piring kotor dengan hati-hati.
"Iya, kebiasaan. Tapi memang beda ya, kalau yang satu ini kan pintar sekali mengambil hati. Lihat saja penampilannya, selalu rapi dan wangi. Padahal... ya, tahulah," timpal Kak Sandra, matanya menyapu Regina dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya setajam belati.
Regina hanya menghela napas pelan, namun senyumnya tak luntur. Ia memilih membungkam, tak ingin menyulut api.
"Sudah, sudah. Regina ini memang anak baik, Mira, Sandra. Kalian ini ada-ada saja. Regina, Nak, sini istirahat dulu. Biar Ibu saja yang lanjut," Ibu Mertua muncul dari dapur membawa nampan berisi teh hangat. Tatapannya yang semula lembut kini berubah tajam, bak elang melindungi anaknya.
Regina dengan cepat mengambil alih nampan dari tangan Ibu Mertua. "Tidak apa-apa, Bu. Biar Regina saja. Ibu kan sudah capek seharian memasak dan menyiapkan segalanya."
"Tidak apa-apa, Nak, ayo duduk," ucap Bu Nani, sang ibu mertua, mengiring Regina ke sofa, di mana kedua menantunya yang lain sudah menunggu dengan tatapan menilai.
Mira adalah istri Indra, anak pertama Bu Nani. Indra bekerja sebagai supervisor di sebuah CV elektronik. Mira sendiri berprofesi sebagai marketing kendaraan bermotor, menjual mimpi kemewahan pada setiap konsumennya.
Sandra adalah istri Bagas, anak kedua Bu Nani. Bagas bekerja di salah satu minimarket berlogo merah, biru, dan kuning. Sandra, anak seorang lurah di kota B, kota tetangga tempat tinggal Bu Nani, memilih bersantai di rumah, menikmati limpahan rezeki dari sang suami. Baginya, hidup adalah panggung dan ia adalah primadonanya.
Regina adalah istri Bima, anak ketiga Bu Nani. Bima hanyalah lulusan SMK, berbeda dengan kedua kakaknya yang sempat mencicipi bangku kuliah meski tak sampai selesai karena terbentur biaya. Bima, menyadari keterbatasan sang Ibu, memilih mengubur mimpinya dan langsung bekerja. Bahkan, selama bersekolah di sekolah menengah kejuruan, ia mampu membiayai sekolahnya sendiri.
Suami Bu Nani telah berpulang karena penyakit jantung yang menggerogotinya. Kala itu, biaya pengobatan melambung tinggi, sementara akses ke kota bagai mimpi di siang bolong, terutama saat hujan mengguyur jalanan, mengubahnya menjadi kubangan lumpur yang menghalangi harapan.
Bima bekerja sebagai mandor bangunan. Proyek yang tengah ia awasi adalah sebuah gedung yang digadang-gadang akan menjadi mall pertama dan terbesar di daerah C.
"Aduh, liburan kemarin seru banget ya, Mira. Kita harus sering-sering liburan ke luar negeri gini," ucap Sandra sambil melihat-lihat foto di ponselnya.
"Betul, Sandra. Biar nggak penat sama kerjaan. Lagian, sayang kan kalau punya uang banyak tapi nggak dinikmati," Mira mengangguk setuju.
"Nikmati hidup itu nggak harus ke luar negeri terus, Mira. Yang penting bisa berkumpul sama keluarga," timpal Ibu Mertua.
"Iya, Bu. Tapi kan beda rasanya kalau bisa liburan mewah, menginap di hotel bintang lima, belanja barang-barang branded," ucap Sandra mencibir pelan.
"Apalagi kalau suami penghasilannya besar, jadi kita nggak perlu mikir dua kali buat menghamburkan uang," Mira menambahkan, sambil melirik ke arah Regina.
"Liburan di Indonesia juga banyak tempat yang bagus kok, Kak. Yang penting bisa refreshing," Regina berusaha tidak terpancing, tetap fokus meniup segelas teh yang masih mengepulkan asap.
"Iya sih, tapi kan nggak se-eksklusif liburan ke Eropa atau Amerika. Lagian, kalau liburan di Indonesia, nanti ketemu sama... orang-orang yang itu-itu saja," Sandra tertawa sinis, menekankan kata "orang-orang" dengan nada merendahkan.
"Eh, Sandra, lihat deh gelang berlian baru aku ini. Bagus kan? Suamiku yang beliin pas ulang tahun kemarin," Mira menyela sambil memamerkan gelangnya.
"Wah, cantik banget! Pasti mahal ya?" Sandra mengagumi gelang itu.
"Lumayan lah. Tapi kan sebanding sama kualitasnya. Berliannya asli semua," ucap Mira dengan bangga.
Regina hanya tersenyum, karena ia sangat tahu kualitas gelang yang dimiliki Mira. Itu hanyalah sebuah cinderamata yang dijual sebagai oleh-oleh, kilaunya pun tak mampu menutupi kepalsuannya.
Sandra melirik Regina yang tertawa dalam hati. Ia memandang remeh Regina.
"Kamu kenapa? Menertawakan kita ya? Padahal kamu juga nggak punya barang-barang branded seperti aku dan gelang berlian seperti Kak Mira," ucap Sandra sinis, membolak-balikkan lengan Regina, seolah mencari sesuatu yang berharga di sana.
Regina hanya diam, bagai karang yang kokoh diterjang ombak. Mereka tidak tahu saja, semua yang disebutkan Sandra, ia memilikinya. Barang-barang itu tersimpan rapi di rumah orang tuanya, dan hanya ada segelintir orang yang mampu memilikinya, sebuah kemewahan yang tersembunyi di balik kesederhanaannya.
Ada yang mau tahu kelanjutan kisah nya?