Aruna hanyalah perawat psikologi biasa—ceroboh, penuh akal, dan tak jarang jadi sasaran omelan dokter senior. Tapi di balik semua kekurangannya, ada satu hal yang membuatnya berbeda: keberaniannya mengambil jalan tak biasa demi pasien-pasiennya.
Sampai suatu hari, nekatnya hampir membuat ia kehilangan pekerjaan.
Di tengah kekacauan itu, hanya Dirga yang tetap bertahan di sisinya. Sahabat sekaligus pria yang akhirnya menjadi suaminya—bukan karena cinta, melainkan karena teror orang tua mereka yang tak henti menjodohkan. Sebuah pernikahan dengan perjanjian pun terjadi.
Namun, tinggal serumah sebagai pasangan sah tidak pernah semudah yang mereka bayangkan. Dari sahabat, rekan kerja, hingga suami istri—pertengkaran, tawa, dan luka perlahan menguji batas hati mereka.
Benarkah cinta bisa tumbuh dari persahabatan… atau justru hancur di balik seragam putih yang mereka kenakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 . Ijab Kabul
Aruna Prameswari🌸
Umur: 25 tahun
Pekerjaan: Perawat
Sifat:
•Batu alias keras kepala; kalau udah punya pendapat, susah digoyang.
•Tegas dan tangguh, sering berani adu mulut sama dokter, termasuk Dirga.
•Tapi sebenarnya berhati lembut, sayang pasien, dan sangat berdedikasi.
•Polos di beberapa hal, sering bikin suasana jadi kocak tanpa ia sadari.
Ciri khas: Nada bicaranya suka nyeletuk apa adanya, wajah gampang manyun kalau kesel, tapi senyum tulusnya bikin orang luluh.
🌌 Dirga Mahesa
Umur: 28 tahun
Pekerjaan: Dokter spesialis psikologi (psikiater) di rumah sakit yang sama dengan Aruna.
Sifat:
•Tenang, kalem, dan penuh logika saat menghadapi pasien.
•Sering gemas dan frustasi sendiri kalau berhadapan sama Aruna yang keras kepala.
•Suka ngelawak tipis atau sindiran halus buat ngegodain Aruna.
•Diam-diam perhatian banget sama Aruna, meski sering ditutupi dengan sikap sok cool.
Ciri khas: Senyum tipis yang nyebelin menurut Aruna, suka melipat tangan sambil ngeliatin orang kalau debat, dan tatapannya dalam banget kalau lagi serius.
.
.
.
.
Suara penghulu terdengar mantap di bawah tenda putih berhias bunga melati dan janur kuning. Angin sore berembus pelan, membuat kain tenda bergoyang. Warga duduk rapi di kursi bambu, sebagian berdiri di pinggir jalan, ikut menyaksikan momen sakral itu.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan Aruna Prameswari binti almarhum Prasetyo dengan Dirga Mahesa dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas lima gram dibayar tunai,” ucap penghulu tegas, menggenggam tangan Dirga.
Telapak Dirga dingin, keringat menetes dari pelipis. Ia membuka mulut dengan lidah nyaris kelu.
“Saya terima nikahnya anu… nya—”
Sekejap tenda pecah oleh tawa. Anak-anak ngakak, bapak-bapak saling senggol, ibu-ibu menutup mulut sambil mengusap mata. Bahkan ada yang nyeletuk, “Lah, anu apaan lagi, Dirga!”
Ridho menepuk bahu sahabatnya sambil terbahak. “Bro, kalau ngejar anu jangan diumumin sekampung dong.”
Wajah Dirga panas, jantungnya berdegup kencang." Yaelah, kenapa nama Aruna harus ada anu - anu nya sih kan jadi kepleset gini ? Ia menarik napas panjang lalu mengulang dengan suara mantap,
“Saya terima nikahnya Aruna Prameswari binti almarhum Prasetyo dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”
“SAH!” seru saksi kompak. Tepuk tangan langsung membahana, menutup sisa gelak tawa. Ada rasa lega sekaligus haru yang menyeruak.
Tak lama kemudian, Aruna keluar digandeng Bunda Laras. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya, senyum malu-malu membuat wajahnya tampak bercahaya. Beberapa ibu-ibu berbisik kagum, ada yang bahkan menitikkan air mata.
Aruna duduk di samping Dirga, jarak mereka begitu dekat sampai debar jantungnya terdengar di telinganya sendiri. Saat buku nikah disodorkan, Aruna membuka halaman dengan kening berkerut.
“Ini gue tanda tangan di mana? Di nama gue apa di nama lo?” bisiknya.
Dirga hampir tertawa. “Ya di nama lo lah. Masa di nama gue.”
“Ya kan gue kira sekarang udah suami-istri, tanda tangannya digabung gitu.” Aruna manyun polos.
Dirga tersenyum kecil. “Udah, Run. Buruan. Orang-orang merhatiin tuh.”
Beberapa tamu memang sudah senyum-senyum sambil berbisik. Aruna buru-buru menandatangani, pipinya merona saat tepuk tangan kembali terdengar. Dirga ikut menandatangani, tangannya masih sedikit gemetar.
Foto bersama keluarga menyusul, lalu warga antre untuk bersalaman. Suasana tenda kembali riuh oleh tawa dan musik dangdut dari sound system, bercampur bau nasi berkat dari dapur. Hari itu, seluruh kampung merasa ikut bahagia.
______
Flashback – Satu minggu sebelum pernikahan
“Dirga nggak mau nikah, Ma! Sampai kapan pun. Aku lebih baik melajang. Dirga nggak akan pernah ulangi kesalahan yang sama. Masa kecil aku udah cukup hancur karena pilihan Mama sendiri.”
Suara Dirga pecah, nadanya meninggi. Urat di lehernya tegang, matanya merah menahan luapan amarah yang lama terpendam.
Di ambang pintu apartemen, seorang gadis berdiri kaku di belakang ibunya. Tatapannya gugup, tubuhnya tampak mengecil seolah ingin lenyap dari pandangan Dirga.
Dirga menyapu mereka dengan pandangan penuh benci. “Bahkan tanpa izin Dirga, Mama tega bawa orang asing ke sini buat dijodohin?” suaranya serak, penuh luka.
Tanpa menunggu jawaban, Dirga meraih kunci mobil dan melangkah pergi. Pintu apartemen membanting keras di belakangnya, meninggalkan ibunya dan gadis itu dalam keheningan.
Mobilnya melaju menembus padatnya lalu lintas kota. Adrenalinnya masih mendidih. Namun ketika hendak memasuki sebuah kafe, langkahnya terhenti. Seorang gadis menabraknya dari depan. Tubuh mungil itu bergetar, wajahnya pucat pasi, napasnya terengah seolah baru saja berlari ketakutan.
“Aruna?” Dirga spontan mengenalinya.Aruna ,Sahabatnya sejak SMA dan kini juga bekerja sebagai perawat di rumah sakit yang sama dengannya .
Gadis itu mendongak, matanya basah. “Ga…” suaranya pecah, nyaris tersendat. Jari-jarinya gemetar saat meraih lengan Dirga, seakan itu satu-satunya pegangan agar ia tidak runtuh.
Dirga tanpa pikir panjang menuntunnya menjauh, membawa Aruna masuk ke mobil.
“Lo kenapa?.” tanya Dirga, begitu cemas melihat Aruna.
Aruna menelan ludah, bahunya masih naik-turun. “Bunda Ga… beberapa minggu ini bunda maksa gue buat ikut kencan buta tapi kali ini Pasangannya bapak-bapak paruh baya, matanya gatel, tangannya… hampir—” suaranya tercekat, wajahnya menegang.
Dirga mengangguk "Gue paham Runa. "Dirga mengepalkan tangan di setir. “Jadi lo juga dipaksa nikah sama Bunda ?.”
Aruna mengangguk lemah. Ada getir yang membayang di matanya.
Seketika Dirga teringat wajah mamanya sendiri, kalimat-kalimat yang memaksa, luka yang belum sempat sembuh. Ia menoleh pada Aruna. Bibirnya bergerak begitu saja.
“Runa...Lo mau nikah sama gue ?”
Aruna membeku. “Lo… serius ngomong gitu?”
“Untuk saat ini, iya. Kita sama-sama punya masalah yang sama. Lo butuh kabur, gue juga butuh alasan buat berhenti dipaksa,” ucap Dirga datar, tapi sorot matanya menyiratkan tekad yang aneh.
Tiba-tiba ponsel Aruna bergetar.
Ting!
Pesan singkat masuk. Sekilas Aruna melirik layar, dan seketika wajahnya berubah pucat. Jantungnya berdentum keras, matanya melebar seperti baru saja melihat sesuatu yang tak boleh orang lain tahu. Tangannya buru-buru menutup layar, menyembunyikan ponsel di pangkuannya.
Dirga menatap curiga. Namun dengan cepat Aruna menoleh kepadanya, mengeluarkan senyum terpaksa, lalu menjawab tawaran Dirga.
" Gue setuju, Ga. Gue mau.”
Suaranya terdengar mantap, tapi sorot matanya masih menyimpan kegelisahan yang belum sempat terucap.
.
.
.
Bersambung.