Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Juna Mana?
“Pa...” Anna memanggil dengan suara pelan, sambil memeluk guling kesayangannya erat-erat. Ia melangkah menghampiri Pak Reza, yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan wajah yang tampak lelah.
Pak Reza menoleh, mengganti posisi duduknya, lalu melepas kacamatanya perlahan. Ia merentangkan satu tangannya, mempersilahkan Anna duduk di sampingnya.
Anna, yang berusia 23 tahun, adalah gadis berambut coklat panjang dengan mata yang kini tampak sayu. Ia bergelayut manja ke pelukan sang papa. “Pa… aku capek,” lirihnya, suara tenggelam dalam kelelahan.
“Capek karena apa? Coba cerita,” ucap Pak Reza dengan nada lembut dan penuh perhatian, mencoba meraih pandangan putrinya. Sorot mata lelaki paruh baya itu penuh kehangatan namun ada garis khawatir di wajahnya.
Anna terdiam sesaat, jari-jarinya mengerat guling putih yang biasa menemaninya tidur malam. Ada rahasia besar yang membebani dada kecilnya. Diam-diam, ia menyembunyikan kabar yang rumit. Elsa, mantan Juna, tunangan Anna, ternyata masih hidup.
Elsa memalsukan kematiannya, bersembunyi jauh demi melihat Juna bahagia bersama wanita lain. Namun, ada kabar buruk lain yang tak ringan di pikiran Anna Elsa tengah berjuang melawan kanker otak dan kini berada dalam koma di rumah sakit.
Anna menarik napas dalam-dalam, berusaha merangkai kata-kata dalam dirinya. Akhirnya, ia berkata, “Gak tahu, Pa. Lagi capek aja.”
Pak Reza mengusap punggung Anna dengan lembut. “Kalau kamu yakin capeknya karena sesuatu, tidak usah dipendam sendiri. Cerita sama Papa, yuk.”
Anna mengalihkan pandangannya ke jendela, tampak hujan rintik-rintik mulai turun, membasahi halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga kecil.
Anna memulai, suara bergetar, “Dia… dia masih hidup, Pa. Dia gak mati,” katanya tergagap.
Pak Reza mengerutkan alis. “Apa maksudmu, siapa yang belum mati?”
“Elsa, pacar Juna dulu, ternyata cuma pura-pura mati.” Anna menunduk, air matanya menggenang.
Pak Reza menarik napas berat. “Mengapa dia melakukan itu?”
“Dia sakit, Pa. Kanker otak. Sekarang dia koma di rumah sakit, tapi dia masih hidup. Dia melakukan itu, karena ingin Juna bahagia tanpa terbebani penyakitnya.”
“Darimana kamu tahu? Terus, Juna sudah tahu?” tanya pak Reza penasaran.
Keheningan mendalam turun di ruangan itu. Suara hujan di luar terdengar semakin keras. Pak Reza memandang Anna dengan mata sayu.
Anna mengangguk pelan. “Tahu, Pa. Nuri sahabat Juna beberapa hari lalu datang menemui Juna di kantor. Setelah itu kami ke Singapore, jenguk Elsa. Elsa koma, aku tidak tahu Elsa bisa bertahan atau tidak. Tapi yang jelas, Juna sedikit murung setelah dari sana. Aku takut mempengaruhi persiapan pernikahan kami, Pa.”
Pak Reza menghela napas, “Mungkin kamu harus bicara sama Juna. Kejujuran adalah pondasi sebuah hubungan.”
“Juna kemarin bilang sama Nuri sebelum pulang dari rumah sakit. Katanya, ‘ Jangan hubungi dirinya jika terjadi sesuatu pada Elsa.’ Tapi, Pa. Aku kan tidak tahu perasaan Juna yang sebenarnya, bagaimana pun Elsa bagian penting hidup Juna, kan?”
Pak Reza memandangi putrinya, mencoba memahami apa yang dirasakan Anna. Namun, Pak Reza hanya diam, tidak ingin menanggapi. Walau begitu ia perlu bicara dengan orang tua Juna.
“Ya sudah, kamu tidur ya. Besok kan kalian ke Paris untuk acara event perusahaan kita. Papa percayakan sama kalian, kalian pasti bisa,” ucap Pak Reza mengusap bahu putrinya. Anna mengangguk lalu kembali ke kamarnya.
Malam itu, hujan turun dengan derasnya, seolah langit mengiringi pergulatan hati Anna. Dalam keheningan yang tercipta.
Keesokan harinya, Anna sedikit terlambat datang ke bandara, ia sudah ditunggu rombongan dari perusahaannya.
“Aduh, maaf, maaf. Aku telat, tadi macet,” kata Anna sambil menarik napas dalam, menenteng koper yang agak berat.
“Iya, gak apa-apa, Anna. Ini pasportmu,” balas Aldo ramah sambil menyerahkan sebuah pasport berwarna hitam yang tertulis nama Anna secara jelas. Di sekeliling mereka, suara pengumuman penerbangan saling tumpang tindih dengan langkah cepat para penumpang lainnya.
Anna menerima pasport itu, tapi matanya segera menelusuri kerumunan di sekitar mereka. Ada Tiara, temannya, yang sibuk mengobrol dengan beberapa rekan kerja lain, tetapi tidak kelihatan sosok yang paling ia nantikan.
“Tiara, Juna mana? Kok, gak kelihatan?” Anna bertanya dengan nada cemas.
Tiara mengangkat bahu, ekspresinya sama bingung. “Aku juga nggak tahu, Anna. Aku kira dia bareng kamu.”
Anna mengernyit, jantungnya berdebar lebih kencang saat ia mengambil ponsel yang menggantung di lehernya, mencoba menghubungi Juna. Namun, ponselnya tidak aktif. Ia mencoba sekali, dua kali, tapi tetap saja.
“Kok gak aktif sih?” gumamnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah kesibukan bandara.
Aldo yang selesai mengurus dokumen keberangkatan Anna memperhatikan kecemasan itu. “Pak Aldo, Juna mana?” tanya Anna dengan harap.
Aldo tampak menelan sesuatu, menghela napas panjang yang berat sebelum menjawab, “Juna menunggu di Singapore. Dari kemarin dia sudah di Singapore, Anna. Nanti kita transit ke sana sebelum ke Paris. Dia pasti sudah menunggu di bandara. Memangnya dia gak kasih tahu kamu?”
Anna menggeleng pelan, seketika darahnya hampir membeku. “Jadi… dia sudah pergi duluan dari kemarin?” lirihnya.
Bayangan Elsa, mantan Juna yang tengah terbaring koma karena kanker otak, langsung melintas di pikirannya. Hatinya terasa seperti dirundung awan gelap.
“Ya sudah, ayo berangkat,” Anna memaksakan diri untuk menyambung langkah ke tempat boarding. Rombongan pun mulai bergerak masuk menuju ruangan tunggu penerbangan.
Saat pesawat akhirnya lepas landas meninggalkan tanah air, Anna menatap jendela, mengenang peristiwa tadi pagi. Melodi lagu favorit Juna terngiang di kepalanya, diselingi perasaan tidak menentu yang tak bisa ia jelaskan. Ia bertanya-tanya, kenapa Juna tidak memberi tahu jika akan berangkat lebih dulu. Apa yang disembunyikan pria itu?
“Tuan dan Nyonya, selamat datang di Singapura,” suara pramugari membangunkannya dari lamunannya.
Rombongan mereka turun di terminal Bandara Changi yang megah dan canggih. Anna mengalihkan tatapannya mencari-cari sosok Juna yang seharusnya sudah sampai duluan. Tapi di antara kerumunan penumpang asing, Juna tampaknya tak terlihat.
“Kita tunggu di sini sebentar,” kata Aldo, memimpin rombongan menuju area tunggu.
Anna berjalan ke sebuah kafe, mencoba menelepon kembali Juna. Kali ini, ponsel Juna aktif, tapi panggilannya tetap tidak dijawab. Matanya makin berkaca-kaca, ia hampir putus asa.
“Kenapa dia tidak membalas?” Anna bertanya dalam hati.
Tiba-tiba, Tiara menarik bahunya, “Anna, lihat itu...” katanya menunjuk ke arah perempatan koridor.
“Juna,” gumam Anna lalu berlari memeluknya.
“Kenapa kamu duluan, aku nyariin,” ucap Anna manja masih memeluk Juna.
Juna tersenyum tipis membalas pelukan Anna.“Maaf, kemarin mendadak ada urusan disini.”
Anna memperhatikan Juna dan melihat mata Juna merah, seperti baru saja menangis.“Kenapa mata kamu merah?” tanya Anna penasaran.
“Eum… tidak apa-apa. Tadi kelilipan.”
“Ouh.” Anna tersenyum, ia ragu ingin bertanya tentang Elsa karena melihat Juna seperti menyimpan sesuatu.
Anna memilih untuk diam membiarkan Juna dengan pikirannya sendiri. Juna mengenakan kacamata mata hitam lalu merangkul Anna menghampiri rombongan perusahaannya.
“Sebelum berangkat, kita makan dulu ya. Yuk!” ajak Juna pada rombongan perusahaannya.
Semua bersorak senang mengikuti langkah Juna menuju restoran yang ada di bandara. Anna menjadi diam, memperhatikan gerak gerik Juna yang mungkin sedang memikirkan keadaan Elsa.
Hati Anna sakit, tapi ia memilih untuk diam lebih dulu, menunggu Juna bercerita sendiri padanya.