NovelToon NovelToon
Lorenzo Irsyadul

Lorenzo Irsyadul

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri
Popularitas:352
Nilai: 5
Nama Author: A Giraldin

Seorang pria bernama Lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun hidup seorang diri setelah ibunya hilang tanpa jejak dan dianggap tiada. Tak mempunyai ayah, tak mempunyai adik laki-laki, tak mempunyai adik perempuan, tak mempunyai kakak perempuan, tak mempunyai kakak laki-laki, tak mempunyai kerabat, dan hanya mempunyai sosok ibu pekerja keras yang melupakan segalanya dan hanya fokus merawat dirinya saja.

Apa yang terjadi kepadanya setelah ibunya hilang dan dianggap tiada?

Apa yang terjadi kepada kehidupannya yang sendiri tanpa sosok ibu yang selalu bersamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A Giraldin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 1: Alone

“Hari ini juga... sendirian,” bisiknya. Ia menatap cermin dengan mata sayu, wajah tirus, bayangan kosong.

Wajahnya pucat, matanya suram. Rambutnya berantakan, pakaiannya kusam. Ia berdiri sendiri di depan cermin, seperti bayangan yang kehilangan jiwa.

Di sekelilingnya, sampah berserakan tanpa ampun. Kasur reyot itu nyaris hancur dikunyah rayap, digerogoti tikus, dan disusupi kecoak. Sisa-sisa makanan manis di lantai diangkut kawanan semut, berbaris menuju lubang kecil di sudut belakang kamar.

Ia menunduk, berbicara dalam hati, "Tiga hari tanpa Ibu... rasanya tak tertahankan."

Perlahan, kepalanya terangkat. "Aku... ingin... mati saja."

Air mata jatuh tanpa henti. Wajah pucat nya tampak mengerikan. Kotoran mengering di pipi, bekas tonjokan membiru di sisi kanan, dan darah kering masih menempel di bawah hidungnya.

Tap. Tap. Tap.

Suara langkah pelan terdengar, menusuk keheningan yang menebal.

Ia melangkah mundur, belok kanan, berjalan lurus, lalu duduk.

Dapur tampak porak-poranda. Sampah berserakan, dan benda-benda tajam seperti pisau, pecahan piring dan gelas, serta garpu yang bengkok, mengotori wastafel.

Kulkas dibiarkan terbuka. Isinya membusuk, diselimuti lalat. Di langit-langit yang penuh debu, tikus-tikus berkeliaran tanpa takut.

Atap dipenuhi jaring laba-laba. Semua lampu, termasuk di dapur tempat ia duduk, pecah. Menyisakan kegelapan yang menelan setiap sudut ruangan.

Pecahan-pecahan kaca dibiarkan berserakan di atas meja makan, sofa, tempat tidur, lantai toilet, mesin cuci, hingga di atas televisi tabung yang sudah lama tak menyala.

Ia kembali berbisik cepat, tanpa jeda. Air matanya telah kering, tapi suaranya gemetar, penuh ketakutan. Wajahnya kacau, diliputi rasa bersalah yang tak tertahankan. "Seharusnya... aku mencegahnya."

Awalnya ia menunduk, lalu tiba-tiba mendongak cepat, menatap wastafel dengan wajah kacau yang belum berubah. "Ibu... seharusnya tidak pergi," bisiknya, kini lebih cepat dan panik.

Kedua tangan menempel di pipinya. Dalam ledakan rasa bersalah dan putus asa, ia mencakar wajahnya sendiri dengan jari-jarinya seperti pisau, mengoyak kulit hingga darah mengalir, menetes di lantai yang kotor dan dingin.

Ia bangkit dari duduknya dan berjalan cepat kembali ke kamar.

Begitu tiba di depan cermin, tanpa ragu ia menghantamkan tangan kanannya, lalu kiri berulang kali ke permukaannya.

Retakan menjalar, darah mengucur dari kedua tangan, menetes deras ke lantai. Namun ia terus memukul, seolah ingin menghancurkan bukan hanya kaca… tapi dirinya sendiri.

Napasnya memburu, tatapannya liar dipenuhi ketakutan. Ia melangkah maju semakin dekat, semakin gemetar, lalu tanpa ragu, membenturkan kepalanya ke pecahan kaca yang sebelumnya dihantamnya dengan kedua tangan.

Darah mengucur dari dahinya, menetes ke lantai tanpa henti. Ia mundur perlahan, keluar dari kamar, belok kiri, lalu berjalan lurus menuju pintu depan. Langkahnya gontai, namun matanya tak berkedip.

"Gara-gara mereka... Ibu hilang. Aku... aku harus..." ucapnya dalam hati.

Di depan pintu, ia menunduk sejenak. Lalu perlahan mengangkat kepala. Tatapannya berubah gelap, mengerikan, dan tak lagi manusiawi.

"Membunuh mereka semua." Ia membuka pintu dengan kasar, melangkah keluar, belok ke kiri, dan berdiri tepat di depan kamar nomor 6 yang awalnya bernomor 7 atau nomor tempat tinggalnya.

Tanpa ragu, ia menggedor dan langsung membuka pintunya secara paksa.

Begitu pintu terbuka, enam pasang mata menatapnya tajam. Wajah dingin, pakaian serba hitam, dan pistol besar tergantung di punggung masing-masing.

Tiga bersandar di kanan, dua di kiri, satu berdiri di tengah. Semua menunduk diam, seolah menunggu sesuatu.

Teriaknya pecah, menggetarkan udara bukan sekadar marah, tapi luka yang meledak. "Kembalikan Ibu padaku!!!"

Orang yang berdiri di depannya perlahan bangkit, melangkah maju, lalu tersenyum lebar. Dari saku kanannya, ia mengeluarkan pisau dan tanpa ragu, menusuk langsung ke arah jantungnya.

Darah mengalir dari mulutnya. Pandangannya mulai kabur, matanya terbuka lebar, lalu tubuhnya ambruk tergeletak di kaki orang itu. Sosok yang menusuknya menatap tajam. Mata merahnya, yang semula dipenuhi kesenangan, kini berubah menjadi murka.

Ia melompati tubuh korban dan mendarat tepat di punggungnya, berdiri di atas pisau yang masih menancap.

Tanpa belas kasihan, ia menginjak kepalanya berulang kali hingga suara teredam oleh darah yang terus dimuntahkan. Tak lama kemudian, tubuh korban diam. Mati.

Setelah tubuh korban tak lagi bergerak, ia turun dari punggungnya.

Menengadah, tatapannya dingin dan menjengkelkan. Membangkitkan amarah baru. Ia mencabut pisau dari jantung korban, dan cipratan darah menghantam wajahnya.

Setelah mencabut pisau itu, ia langsung mengarahkannya ke mata kanan korban, mencongkelnya keluar, lalu melakukan hal yang sama pada mata kiri.

Kedua bola mata jatuh ke lantai. Tanpa ragu, ia menancapkan pisau ke tengah kepala korban, lalu mengangkat tubuh itu dan melemparkannya keluar jendela dengan tenaga penuh. Tubuh itu terhempas, jatuh dari lantai atas apartemen.

Kedua bola mata korban yang jatuh ke lantai segera ia ambil dengan tangan kanan. Ia mengepalkan nya sejenak, lalu membuka telapak tangannya, tersenyum lebar. Mulutnya menganga dan tanpa ragu, ia menelan keduanya sekaligus.

Ia menutup pintu. Seketika, seluruh ruangan dipenuhi tawa terbahak-bahak dari orang-orang di dalamnya.

Dalam kegelapan itu, di dinding belakang, tergantung sebuah lukisan aneh. Terlihat seorang anak kecil tengah menginjak-injak seekor anak anjing. Darah muncrat ke segala arah, membanjiri lukisan pantai yang semula tenang, kini ternoda merah sepenuhnya.

Tubuhnya terjatuh tanpa terlihat siapa pun, lalu menghantam tumpukan sampah di bawah apartemen busuk, penuh sisa busuk.

Sekawanan lalat beterbangan, dua kecoak merayap keluar, dan seekor tikus muncul dari balik tumpukan, terganggu oleh kedatangannya yang tiba-tiba.

Sekelilingnya berubah gelap total. Suara-suara aneh berputar mengitari tubuhnya, menggema seperti bisikan dari tempat yang tak dikenal. Ia tak bisa bicara, tak bisa melihat, dan tubuhnya terkunci tanpa daya.

Kegelapan di hadapannya bukan sekadar gelap. Ia seperti kehampaan tanpa ujung, tanpa dasar.

Lalu, suara langkah kaki mulai terdengar… dari segala arah. Makin dekat. Makin nyata. Dan tiba-tiba ... langkah itu berhenti, tepat di hadapannya, dan…

“AAAHHH!” teriaknya, lalu terbangun dengan tubuh masih terbaring.

Mulutnya terbuka, kini bisa berbicara. “Te… tempat apa ini?” gumamnya panik, matanya menatap ke kiri dan kanan, perlahan mulai bisa melihat dengan jelas.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar mengagetkannya. “Apakah kau ingin hidup lagi?”

Nada suara itu terdengar seolah tersenyum… lebar, dingin, dan penuh teka-teki.

Ia mendengar suara itu dan segera menoleh ke depan. “Eh...?” gumamnya, terkejut kecil. Tak ada siapa pun di sana.

Ia menoleh ke kanan, ke kiri, lalu ke belakang. Masih kosong. Ia berdiri, berjalan lurus beberapa langkah… tetap tak ada siapa pun di sekitarnya.

“Si—siapa di sana?!” teriaknya kencang, menatap lurus ke depan. Suara itu kembali terdengar, masih dengan nada yang sama, tenang, namun seolah menyeringai di balik gelap.

"Kau ingin pergi ke alam baka... atau menyelamatkan ibumu?." Suara itu bertanya tenang.

Mendengar itu, ia tersenyum tipis penuh harap. Lalu berbicara pelan pada suara yang entah dari mana berasal.

“A-apakah... aku benar-benar bisa... menyelamatkan ibuku?” tanyanya dengan suara terbata-bata.

Suara itu tak menjawab pertanyaannya. Sebaliknya, ia justru balik bertanya. “Tapi... apakah kau benar-benar ingin menyelamatkannya?”

Percaya sepenuhnya pada suara itu, ia tersenyum lebar. Matanya terpejam rapat, seolah menyerahkan segalanya. “Ya,” jawabnya singkat, tanpa ragu.

Suara itu mendekat, lalu membisikkan sesuatu di telinga kanannya pelan. "Kalau begitu... mau kembali ke duniamu?"

“Y-ya... a-aku ingin kembali,” jawabnya terbata, dengan senyum kecil di wajahnya.

Ia tetap menatap lurus ke depan. “A-apa… syaratnya?” tanyanya pelan, penuh harap.

Suara itu tak langsung menjawab. Hanya melanjutkan bisikannya, kini dengan pertanyaan yang berbeda. "Hidupmu tak akan sama. Kau harus menjalani hidup yang baru... apakah kau keberatan?"

Matanya membelalak. Ia menunduk, berpikir sejenak. Sunyi. Lalu perlahan, raut wajahnya berubah penuh keyakinan. Keputusannya sudah bulat. "Kalau aku bisa menyelamatkannya, maka tak peduli apa yang terjadi, aku tidak keberatan."

Suara itu menghilang. Kesadarannya mulai memudar. Tubuhnya kehilangan kendali, bergoyang ke kiri dan kanan tanpa arah, lalu ambruk ke depan. Matanya yang semula masih terbuka sedikit... perlahan tertutup rapat, tenggelam dalam gelap.

Tiba-tiba, ia terbangun dan langsung bangkit dengan cepat. “AAAA!!!” teriaknya keras, penuh panik dan ketakutan.

Ia menatap sekeliling dengan wajah pucat. Keringat membasahi wajah dan lehernya. Napasnya tersengal saat ia bergumam lirih. “T-te… tempat a-apa ini…?”

Ia terbaring di sebuah kamar pasien bernuansa putih, mengenakan pakaian rumah sakit yang sama pucat nya. Penampilannya berbeda, lebih bersih, namun penuh luka. Selang infus terpasang di tangan kanan dan hidungnya. Beberapa perban putih membalut dahi, lengan kanan, dan kaki kirinya.

“A-apa… yang sebenarnya t-terjadi…?" ucapnya lirih dengan suara terbata-bata.

Bersambung...

1
Siti H
tadi matanya dicongkel, kenapa masih bisa terbuka, Thor?

Tulisanmu bagus, Loh... semoga sukses ya...
ayo, Beb @Vebi Gusriyeni @Latifa Andriani
Kaginobi: siap 😁
Siti H: aamiin..
tetap semangat...
total 5 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!