Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Mimpi Lira...
Kabut putih menutup pandangan. Dari balik kabut itu, Lira melihat sosok perempuan berkebaya putih, wajahnya nyaris sama persis dengan dirinya. Perempuan itu sedang dipeluk erat oleh Yash, seolah ia adalah orang yang paling berarti baginya.
Tapi tiba-tiba pelukan itu berubah. Tangan Yash mencengkeram leher perempuan itu, mendorongnya dengan kasar hingga tubuhnya membentur dinding kayu. Suara kayu berderak, napas perempuan itu tercekik.
Mata Yash kini dingin, tanpa ragu ia menghunus pedang dan menusukkannya tepat ke dada perempuan itu. Darah menyembur, wajah perempuan itu menegang, lalu terkulai.
Dan di detik itu juga, mata Yash menoleh—menatap lurus ke arah Lira seakan menyadari kehadirannya. “Jangan percaya…” bisikan samar terdengar di telinga Lira.
Lira terperanjat terbangun, tubuhnya berkeringat dingin, dada terasa sesak seperti ia sendiri yang baru saja ditikam. Tubuhnya masih bergetar ketika matanya menangkap sosok Yash duduk di samping ranjang, kepala tertunduk, seolah sedang menahan sesuatu dalam dirinya.
Ia mencoba bangkit. Gerakan kecil itu saja cukup membuat Yash segera menoleh lalu memeluknya erat, seakan takut kehilangan. “Syukurlah… kau sadar,” bisiknya, suaranya parau.
Pelukan itu hangat, tapi bagi Lira terasa ganjil. Bayangan dalam mimpi tadi masih segar—sosok perempuan mirip dirinya yang dicekik dan ditikam tepat di dada… oleh lelaki yang kini memeluknya.
Dadanya berdegup tak karuan. Ada bagian dirinya yang ingin percaya pada Yash—pada tatapan cemasnya, pada semua pertolongan yang diberikannya. Namun, ada pula sisi lain yang berbisik keras: waspada.
Mungkin memang dari awal ia tak boleh lengah. Tidak peduli berapa kali lelaki ini menyelamatkannya, Lira tahu… sesuatu di dalam dirinya harus tetap berjaga.
Lira mendorong perlahan dada Yash, mencoba melepaskan diri dari pelukan eratnya. Nafasnya masih berat ketika jemarinya terangkat menyentuh perban di lehernya, nyeri itu seketika membuat ingatannya bergetar.
“Aku… di mana?” tanyanya pelan, suaranya serak.
“Di rumah Pak Merta,” jawab Yash cepat, sorot matanya meneliti wajah Lira seakan takut ia pingsan lagi.
Lira menelan ludah, menahan gemetar. “Kai mana?”
“Temanmu ada di depan,” jawab Yash, nada suaranya rendah tapi tenang.
Hening sejenak. Lira menunduk, matanya menyapu lantai bambu di bawahnya, sementara bayangan mimpi tadi berputar lagi di kepalanya—Yash, wajah yang sama, tangan yang sama, menusuk perempuan yang wajahnya begitu mirip dirinya.
Lira hendak bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Ia menghela napas, lalu menoleh pada Yash. Baru kali itu ia memperhatikan wajah lelaki itu lebih dekat. Wajah pucatnya basah oleh keringat, matanya sedikit memerah, dan nafasnya terdengar tidak stabil.
“Yash… kau kenapa?” suara Lira lirih, ragu.
Yash tersenyum tipis, seakan memaksa dirinya terlihat tenang. “Aku baik-baik saja. Kau yang harus banyak istirahat.”
Namun Lira melihat jemarinya—bergetar, seolah tenaga di dalam tubuhnya sedang memberontak. Urat di lehernya sempat menegang, seperti menahan sakit yang luar biasa.
Lira baru saja ingin menyingkirkan tatapan anehnya dari Yash, ketika tubuh lelaki itu tiba-tiba bergetar hebat. Napasnya memburu, wajahnya pucat seolah darahnya tersedot entah ke mana.
“Yash…?” Lira panik, ingin meraih bahunya.
Namun sebelum sempat berkata lebih jauh, tubuh Yash ambruk ke arahnya. Berat tubuhnya menubruk Lira hingga gadis itu hampir terdorong kembali ke dipan.
“Yash!” Lira menahan, tapi tubuh lelaki itu terlalu berat. Ia bisa merasakan panas dari dada Yash yang menempel di bahunya, sekaligus dingin aneh yang menjalar dari kulitnya.
Keringat dingin menetes dari pelipis Yash, dan matanya terpejam rapat. Lira tertegun, jantungnya berdetak kacau antara khawatir… dan takut. Batin Lira berbisik, apa yang sebenarnya terjadi padanya?
“Tolooong! Siapa saja! Cepat ke sini!”
Suara Lira menggema di rumah kayu itu. Pintu depan bergemeretak terbuka, langkah-langkah bergegas terdengar. Kai menerobos lebih dulu, wajahnya pucat. “Lira?! Ada apa—”
Belum sempat ia mendekat, Pak Merta menyusul dari belakang. Tatapannya langsung jatuh pada Yash yang terkulai di dada Lira, tubuhnya gemetar seperti dililit racun.
Pak Merta menyipitkan mata, napasnya berat. “Astaga… aku sudah menduga ini akan terjadi.”
Lira menoleh panik, “Apa yang terjadi dengannya?”
Pak merta mendekat, “Dia sempat menghisap racun di lehermu”
Lira membeku, matanya membesar tak percaya. “Apa…? Dia… dia lakukan itu untukku?” suaranya bergetar, campuran antara syok dan rasa bersalah. Tangannya refleks menggenggam bahu Yash, seolah memastikan lelaki itu masih bernapas.
“Kenapa… kenapa dia sebodoh ini…” bisiknya,
Kai segera membantu mengangkat tubuh Yash dari pelukan Lira. Dengan isyarat tegas, Pak Merta menunjuk ke arah pintu.
“Kalian tunggu di luar,” suaranya datar, tapi tak memberi ruang bantahan.
Kai ragu. “Tapi—”
“Keluar!” potong Pak Merta, suaranya seperti dentuman yang tak bisa dibantah.
Lira menelan ludah, lalu bangkit perlahan meski masih lemah. Ia dan Kai melangkah ke luar, menutup pintu. Dari celah papan kayu, cahaya temaram lampu minyak bergetar.
Di dalam ruangan, Pak Merta duduk bersila di samping Yash yang terbaring. Tangannya bergerak pelan, jemarinya seperti menari di udara. Suara lirih, entah doa entah mantra, meluncur dari bibirnya.
Tiba-tiba dari telapak tangannya, muncul kepulan hijau—daun-daun segar, berputar pelan seperti sedang dililit angin. Putaran itu makin cepat, hingga daun-daun itu hancur sendiri, berubah menjadi gumpalan halus, lembap, berwarna hijau pekat.
Pak Merta membuka mulut Yash dengan hati-hati. “Tahan, Nak… ini penangkal racun yang dulu pernah kuciptakan.” Suaranya serak, tapi mengandung keyakinan.
Dengan gerakan mantap, ia memasukkan gumpalan hijau itu ke mulut Yash, lalu menekan rahangnya agar menelan. Sesaat, tubuh Yash menegang hebat—urat-urat di lehernya mencuat, napasnya tersengal, keringat dingin bercucuran.
Tubuh Yash mulai bergetar hebat setelah gumpalan hijau itu melewati tenggorokannya. Nadinya memukul cepat, kulitnya memucat, lalu mendadak menghitam di sekitar urat-urat leher, seolah racun yang tadi disedot dari Lira justru mengamuk di dalam tubuhnya.
Pak Merta menggertakkan giginya, kedua tangannya menekan dada Yash dengan kuat, sementara mantra terus meluncur. Daun-daun kering di lantai beterbangan, tertarik oleh pusaran energi yang muncul.
Yash mendadak mendongak, matanya terbuka lebar. Bukan hitam—melainkan cahaya keperakan yang berpendar sekilas. Dari mulutnya keluar semburan asap hitam pekat bercampur cairan kehijauan, bau busuk menusuk. Tubuhnya kembali kejang, lalu merosot lemas.
Pak Merta segera menempelkan telapak tangannya ke dada Yash, mendengarkan dengan tenang. Detak… masih ada. Napas—meski berat—masih berlanjut.
Lira duduk di bangku kayu panjang depan rumah, tubuhnya gemetar meski angin sore cukup hangat. Tangannya terus menggenggam perban di leher, rasa sakit masih terasa menjalar dari bekas cakaran beracun itu. Kai di sebelahnya sama-sama gelisah, matanya bolak-balik menatap pintu yang tertutup rapat.
“Li, kita harus balik ke Jakarta,” ucap Kai akhirnya, suaranya tegas walau ada nada takut yang tak bisa ia sembunyikan.
Lira menunduk, bibirnya bergetar. “Iya… kamu benar. Aku juga ngerasa gak aman di sini. Seakan semua makhluk halus di pulau ini… benci sama aku. Kemarin wewe gombel, sekarang siluman buaya…”
Kai meraih tangan Lira, menggenggamnya erat. “Besok saat matahari terbit kita berangkat ke dermaga. Kita harus segera keluar dari pulau ini. Masa depan kita masih panjang, Li. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa di sini.”
Lira menatap mata Kai, dan untuk pertama kalinya sejak kejadian-kejadian itu, ia ingin sekali mempercayai kata-katanya. Namun, di dasar hatinya, ada sesuatu yang berbisik—bayangan mimpi tentang sosok yang mirip dirinya ditusuk oleh Yash. Bayangan itu membuatnya ragu: apakah benar pulau ini yang berbahaya… atau justru seseorang yang kini terbaring di dalam sana?