Luna Arindya, pemanah profesional dari dunia modern, meninggal tragis dalam sebuah kompetisi internasional. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berada di dalam novel fantasi yang pernah ia baca—dan menempati tubuh Putri Keempat Kekaisaran Awan. Putri yang lemah, tak dianggap, hidupnya penuh penghinaan, dan dalam cerita asli berakhir tragis sebagai persembahan untuk Kaisar Kegelapan.
Kaisar Kegelapan—penguasa misterius yang jarang menampakkan diri—terkenal dingin, kejam, dan membenci semua wanita. Konon, tak satu pun wanita yang mendekatinya bisa bertahan hidup lebih dari tiga hari. Ia tak tertarik pada cinta, tak percaya pada kelembutan, dan menganggap wanita hanyalah sumber masalah.
Namun semua berubah ketika pengantin yang dikirim ke istananya bukan gadis lemah seperti yang ia bayangkan. Luna, dengan keberanian dan tatapan tajam khas seorang pemanah, menolak tunduk padanya. Alih-alih menangis atau memohon, gadis itu berani menantang, mengomentari, bahkan mengolok-olok
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Embun masih menetes dari dedaunan ketika Rui terbangun lebih awal. Udara segar menusuk kulit, membawa aroma tanah basah. Di halaman paviliunnya, genangan air memantulkan bayangan langit pagi yang perlahan berubah terang.
Ia berdiri di beranda, mengenakan jubah tipis berwarna gading. Dari jauh, langkah para dayang terdengar, hati-hati agar tidak mengganggu sang Permaisuri yang kini jadi pusat perhatian seluruh istana.
Rui menghela napas panjang. “Hari ini ular itu akan bergerak lebih cepat,” gumamnya.
Lan Mei masuk sambil membawa teh hangat. “Permaisuri, kabar dari luar istana… orang-orang mulai bergumam. Mereka bilang Anda penyihir yang memikat Kaisar.”
Nada suaranya ragu, takut melukai.
Rui meneguk teh, lalu menatap ke kejauhan. “Rumor adalah senjata paling murahan, tapi paling tajam. Biarkan saja. Setiap kali mereka memanggilku penyihir, mereka lupa aku juga seorang Permaisuri. Dan Permaisuri… tidak mudah diusir hanya dengan kata-kata.”
Lan Mei terdiam. Ia selalu kagum pada kekuatan hati wanita di hadapannya.
Beberapa jam kemudian, gong besar berdentum, memanggil para pejabat ke aula utama. Rui melangkah di samping Kaisar Tian Ze, dengan kepala tegak. Semua mata mengikuti gerakannya ada yang kagum, ada yang membenci, ada pula yang diam-diam takut.
Di tengah aula, Zhao Kun sudah berlutut. Wajahnya tampak letih, namun mata liciknya menyimpan bara.
“Yang Mulia,” ia bersuara lantang, “fitnah terhadap hamba semakin menjadi-jadi. Ada orang yang ingin menyingkirkan hamba demi memuaskan ambisi pribadi. Jika hamba memang bersalah, tunjukkan buktinya. Jika tidak… jangan biarkan hamba menjadi korban permainan seorang wanita.”
Tatapan semua orang otomatis tertuju pada Rui.
Namun Rui tetap tenang, bibirnya tersenyum samar. Ia maju selangkah, suaranya jernih:
“Kalau begitu, mari kita bicara soal bukti.”
Ia menepuk tangan. Seorang pengawal masuk, membawa gulungan besar. Saat dibuka, terlihat peta rahasia istana dengan tanda merah di beberapa titik.
“Ini ditemukan di tangan kurirmu, Zhao Kun. Jangan bilang bahwa keluargamu juga gemar membawa peta pertahanan negara saat bertamu ke rumahmu.”
Riuh. Suara bisik-bisik menggelegar, beberapa pejabat pucat, sebagian lainnya menunduk.
Namun Zhao Kun tidak gentar. Ia justru tertawa lirih. “Peta bisa ditanam. Bukti bisa dipalsukan. Siapa yang menjamin bahwa gulungan itu bukan rekayasa Permaisuri sendiri?”
Suasana menegang. Semua menunggu jawaban Kaisar.
Tian Ze berdiri, sorot matanya tajam seperti pedang. “Zhao Kun. Kau berada di bawah pengawasan karena aku memberimu kesempatan. Sekali lagi kau bicara seolah kau lebih tinggi dari tahta ini, maka kepala yang akan jatuh pertama adalah milikmu.”
Zhao Kun menunduk dalam-dalam, giginya terkatup rapat. Namun tatapannya pada Rui penuh ancaman.
--
Hujan sudah reda, namun langit masih gelap pekat. Rui duduk di meja, menuliskan catatan kecil di atas kertas tipis. Ia sedang merangkai benang informasi untuk menjebak Zhao Kun sekali lagi.
Suara langkah berat terdengar dari luar. Kali ini, ia tidak perlu menebak siapa.
Pintu terbuka, dan Kaisar Tian Ze masuk tanpa pengumuman. Jubah hitamnya masih basah oleh embun malam, rambut panjangnya sedikit terurai.
“Kenapa kau tidak berhenti? Kenapa selalu menempatkan dirimu di depan ular itu?” suaranya dalam, penuh campuran marah dan resah.
Rui meletakkan kuas. “Karena jika bukan saya, siapa lagi? Jun Hao masih terlalu muda. Para pejabat… sebagian sudah digerogoti. Jika saya diam, maka satu-satunya yang tertinggal hanya Anda. Dan Anda tidak bisa berperang sendirian di dua medan sekaligus—istana dan perbatasan.”
Tian Ze terdiam. Kata-kata itu menusuk jantungnya, bukan karena salah, tapi karena benar.
Ia mendekat, berdiri tepat di hadapan Rui. Tatapannya keras, tapi juga… rapuh. “Kau pikir aku tidak takut? Setiap kali kau menghilang di malam hari, setiap kali rumor itu menyebut namamu… aku merasa kehilangan kendali. Dan aku benci itu.”
Rui menatapnya balik, senyum tipis terbentuk. “Kaisar yang ditakuti seluruh daratan… ternyata bisa takut juga.”
Hening.
Lalu, tanpa rencana, Tian Ze meraih tangannya. Genggaman itu hangat, kuat, tapi juga gemetar. “Aku tidak takut pada pedang atau pengkhianatan. Tapi aku takut… kalau suatu hari aku melihat ke samping, dan kau tidak ada di sana lagi.”
Rui tertegun. Untuk pertama kalinya, ia tidak menemukan kata balasan. Dadanya bergetar hebat, seolah sesuatu yang lama terkunci mulai retak.
Namun ia hanya menjawab dengan bisikan lembut, “Kalau begitu… jangan lepaskan aku.”
Tian Ze menatapnya dalam-dalam. Lalu, seolah kalah perang, ia melepaskan tangannya pelan dan berbalik. “Aku sudah terlalu jauh. Jika aku terus begini, aku akan kehilangan lebih dari tahta.”
Ia pergi, meninggalkan Rui yang terpaku dengan jantung berdegup kencang.
Malam berikutnya, Rui kembali ke ruang dimensinya. Pohon persik memantulkan cahaya lembut, buah-buahnya berkilau. Di hadapannya, beberapa gulungan pesan melayang.
“Zhao Kun menyiapkan pertemuan besar dua hari lagi. Ia akan mengundang Menteri Yan dan beberapa jenderal bayangan,” demikian isi salah satu laporan.
Rui mengerutkan kening. “Menteri Yan… jadi benar ia bagian dari ular itu.”
Ia menyusun rencana cepat: biarkan pertemuan itu berlangsung, tapi pastikan ada saksi yang tak bisa dibantah. Kali ini, ia ingin menghancurkan Zhao Kun sekali untuk selamanya.
Bersambung
tapi bikin suka /Facepalm/
kalo Lan mei harus banyak² stok kesabaran untuk mengahadapi majikan dandom ini 😁