INGRID: Crisantemo Blu💙
Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Chiunque
"Apa? Tapi, apa yang terjadi? Dompet itu bukan milikku."
"Jika bukan milikmu, kenapa benda ini bisa ada di tasmu. Sekarang ikut denganku," titah sang profesor.
Para murid mulai berbisik dan melihat dengan seribu tanda tanya. Ingrid sendiri pun tidak mengerti apa yang terjadi. Profesor itu angkat kaki lebih dulu keluar dari kelas, lalu disusul Ingrid dengan debaran jantung yang meningkat.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Kau telah melanggar peraturan sekolah, Verdani. Membawa dan mengonsumsi obat-obatan terlarang merupakan pelanggaran berat." Profesor itu mengeluarkan sesuatu dari dompet. Dua bungkus plastik kecil yang berisi serbuk berwarna putih.
Mata Ingrid terbelalak. "Tidak, pasti ada kesalahanpahaman di sini. Itu bukan milikku." Ingrid berkata jujur.
"Buktinya sudah sangat jelas. Kau dilarang keluar dari ruangan ini. Aku akan menghubungi walimu." Profesor itu pergi keluar.
Ingrid terduduk lemas di kursi. Masalah apa lagi yang menimpa dirinya. Dia menyisir rambutnya ke belakang, helaan napas berat keluar dari mulutnya. "Siapapun yang melakukan ini padaku harus membayarnya dengan mahal."
Denyit pintu terbuka. Ingrid menoleh, Frenzzio yang masuk. Ingrid segera membuang muka.
'Mengapa dia harus ke mari?!' keluh Ingrid.
"Apa yang terjadi?" Frenzzio berlutut di samping Ingrid. Menatapnya dengan serius dan dalam.
"Pergilah, aku bisa menanganinya sendiri," ujarnya tanpa melihat Frenzzio.
"Beritahu. Aku." Frenzzio menekan setiap katanya.
"Pergi."
Karena tak mendapat apa yang dia ingin dengar. Frenzzio menarik kursi Ingrid mendekat, memutarnya menghadap dirinya.
"Katakan!"
Ingrid menatap Frenzzio dengan muak. "Apa tamparanku kemarin tidak cukup keras?"
"Maaf," ucapnya setelah jeda keheningan panjang.
Ingrid memalingkan wajah. "Cukup pergi dari sini. Aku sedang tak ingin berdebat."
"Kita tidak berdebat, hanya berkonfrontasi."
Dahi Ingrid berkerut kesal. "Terserah dirimu. Jangan mengangguku." Ingrid menggeser kursinya jauh dari Frenzzio.
Profesor masuk ke ruangan. Dia sempat terkejut sesaat saat melihat Frenzzio juga di sana. Tapi, raut terkejut itu dengan cepat berubah marah. "Apa yang kau lakukan di sini, Constanzo? Ini bukan tempat umum, di mana kau bisa masuk seenaknya."
Frenzzio bangkit, senyumnya mengembang. "Aku hanya ingin tahu apa yang telah dilakukan saudariku, Profesor." Dia tidak sepenuhnya berbohong.
"Saudarimu? Jangan mencoba menipuku. Kau hanya memiliki saudara, bukan saudari."
"Tapi itu faktanya, dia Constanzo. Jadi apa yang terjadi, Profesor?"
"Silakan keluar," perintah profesor.
Frenzzio mengambil sesuatu di balik jasnya. "Aku sangat benci terus mengulangi kata-kataku, Profesor." Dia menodongkan pistol, yang seketika membuat pria paruh baya itu membeku. Matanya terbelalak, tangannya bergetar hebat, dadanya naik-turun dengan cepat.
Ingrid bangkit panik. Dia berlari, mencekal lengan Frenzzio. "Apa yang kau lakukan? Turunkan!"
"Katakan."
"Ya, ya, baiklah. Turunkan pistolmu," seru Ingrid cemas.
Frenzzio menarik kembali pistolnya, menaruhnya lagi di balik jasnya.
Ingrid bernapas lega. "Saat pemeriksaan, profesor menemukan obat terlarang di tasku. Tapi, itu bukan milikku, aku tidak tahu bagaimana benda itu ada di tasku."
Frenzzio memberi isyarat pada profesor itu untuk pergi. Tanpa berpikir panjang profesor itu langsung angkat kaki dari sana, menyisakan Ingrid dan Frenzzio.
"Puas sekarang?" Ingrid frustrasi.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Setelah hampir satu jam di dalam ruangan itu, dia menghabiskan waktu dengan melihat aktivitas di balik jendela. Lebih baik di banding melihat wajah Frenzzio yang tampan sekaligus menyebalkan.
Dua mobil hitam mewah memasuki halaman sekolah menarik perhatian Ingrid. Mobil-mobil itu berhenti di depan pintu masuk utama. Empat pria bersetelan gelap keluar dari mobil. Salah satunya membukakan pintu belakang mobil kedua. Dari dalamnya keluar seorang pria yang sepertinya seusia ayahnya atau lebih, dengan penampilan paling mencolok dari yang lainnya. Sepertinya itu tuan mereka.
"Siapa itu?" monolognya.
"Dia penasehat Giorgio, salah satu orang penting di La Cosa. Cukup lama tak melihatnya," jawab Frenzzio yang sudah berada di samping Ingrid.
"Apa yang dia lakukan di sini." Tanpa sadar Ingrid memancing Frenzzio berbicara.
"Untukmu. Giorgio pasti mengirimnya."
"Tapi, Waliku adalah bibi Nora."
"Dia telah memberikan penuh hak asuhmu pada Giorgio."
Pintu terbuka dengan keras. "INGRID!"
Ingrid tersentak. Elsa berdiri di tengah pintu. Napasnya tak beraturan. Dia berjalan cepat menuju Ingrid. "Ada apa? Aku sangat khawatir. Hampir semua orang di sekolah bergosip, jika yang profesor temukan di tasmu adalah obat terlarang."
Ingrid bingung, bagaimana bisa menyebar begitu cepat. Tapi, dia memilih menghiraukannya. Ingrid mengangguk acak. "Ya, mereka benar. Ada obat terlarang di tasku. Tapi, itu bukan milikku. Aku tidak tahu apapun."
Elsa tersenyum menenangkan. "Aku percaya padamu. Kau jelas tidak terlihat sebagai pecandu," canda Elsa di akhir, menyegarkan suasana yang sebelumnya terasa hambar.
"Terima kasih." Ingrid menggenggam kedua tangan Elsa.
"Kau ingin aku membawakan sesuatu untuk makan siang nanti?" tawar Elsa.
"Tidak perlu. Sepertinya aku sudah keluar dari sini saat makan siang nanti."
"Apa? Bagaimana bisa? Kasusmu sangat serius."
Ingrid mengangkat bahu singkat, seraya tersenyum tipis. "Membuktikan aku tidak bersalah," jawab Ingrid singkat.
"Selalu saja mengelak," keluh Elsa sambil memutar matanya.
"Akan aku jelaskan saat waktunya tepat. Aku berjanji."
Senyum Elsa kembali. "Aku akan menunggu."
Elsa melirik ke Frenzzio yang melihat ke luar jendela. Dia memberi isyarat kepada Ingrid untuk mendekat padanya. "Dia lebih seperti kekasihmu, bukan saudaramu," bisiknya di telinga Ingrid.
Elsa terkikik, sementara Ingrid ternganga dengan spekulasi temannya itu. Yang sebenarnya tidak sepenuhnya salah, Ingrid sendiri pun menyetujuinya.
Frenzzio tiba-tiba pergi keluar begitu saja Dengan tergesa-gesa, tanpa berucap apapun.
Ingrid membiarkannya pergi, ini yang dia inginkan sejak satu jam yang lalu.
"Aku tidak mengatakan apapun yang menyinggungnya, bukan?" tanya Elsa dengan raut wajah tegang.
"Hiraukan saja. Ayo, duduk, lututku mulai sakit."
Elsa menyetujuinya. "Aku penasaran siapa yang mengerjaimu dengan cara seperti itu. Itu sangat jahat."
"Sepertinya itu bukan mengerjai, tapi menjebak," ralat Ingrid.
"Ya, itu kata yang tepat."
"Siapapun dia, yang membuatku dalam situasi bodoh ini, dia harus membayarnya."
"Aku bersamamu." Ingrid mengangguk.
"Apa kau melihat Navarro hari ini?"
Ujung bibi Elsa menurun, dia menggeleng. "Tidak, kenapa?"
"Tidak ada, hanya saja aku tidak bertemu dengannya beberapa hari terakhir ini." Ingrid benar-benar menyayangkan hubungan mereka berdua yang merenggang. Dia tidak ingin seperti ini. Bagaimana pun Navarro adalah keluarganya, temannya, dan kakaknya. Dia menyayanginya.
"Aku akan katakan padanya kau ingin bertemu dengannya, saat aku bertemu dia."
Seorang pria berpakaian staf sekolah muncul di pintu. "Verdani, ikut denganku."
"Baik. Aku pergi dulu."
Ingrid pun pergi mengikuti petugas itu dengan degup jantung yang tak terkontrol.
'Semoga semuanya selesai.' harapnya dalam hati.
Beberapa waktu kemudian, Elsa yang baru saja keluar dari pintu ruangan itu berpapasan dengan seorang staf wanita. "Apa Ingrid Verdani ada di dalam?"
Alis Elsa nyaris menyatu. "Dia sudah pergi oleh seorang staf beberapa saat yang lalu."
"Apa? Tapi, aku baru akan memanggilnya. Dengan siapa dia pergi? Aku juga tidak berpapasan dengan mereka."
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
lopyu thorr