NovelToon NovelToon
Dijual Keluarga Pada Mafia Kejam

Dijual Keluarga Pada Mafia Kejam

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Lari Saat Hamil / Balas dendam pengganti
Popularitas:872
Nilai: 5
Nama Author: Elfrida Sitorus

Dijual kepada mafia kejam, Arini disiksa dan dikurung dalam neraka bernama cinta. Tapi tak seperti gadis lemah dalam dongeng, Arini memilih bangkit. Karena tidak semua cinta pantas diperjuangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfrida Sitorus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 1

Langit sore itu kelabu, seolah ikut menangisi nasib Arini Maharani. Di depan rumah kecil bercat pudar itu, berdiri dua mobil hitam mewah, mencolok di antara deretan rumah warga kelas menengah yang sederhana. Warga sekitar hanya bisa memandang penasaran dari balik tirai, tak ada yang berani bertanya.

Arini baru saja turun dari angkot, memeluk tas kuliahnya sambil menghela napas lelah. Ia tak tahu bahwa sore ini bukan sekadar akhir dari hari yang panjang tapi awal dari akhir hidupnya yang selama ini ia kenal.

“Arini! Cepat masuk,” panggil ibunya dari balik pintu, suara tergesa dan bergetar.

Gadis itu melangkah masuk, bingung. Suasana rumahnya terasa mencekam. Di ruang tamu, duduk tiga pria berbadan besar, berpakaian serba hitam. Ayahnya duduk di sudut, menunduk tanpa suara, wajahnya penuh keringat dingin. Ibunya mondar-mandir, gelisah. Dan di tengah semua itu, berdiri seorang pria dengan aura paling mencolok.

Tinggi, berpakaian jas hitam mahal, rambut disisir rapi, wajahnya tampan namun dingin seperti batu. Mata tajamnya menatap lurus ke arah Arini, seolah menelanjanginya tanpa ampun.

“Dia?” tanya pria itu, suara rendah dan penuh kuasa.

Ayah Arini mengangguk pelan. “Ya... dia putri kami. Seperti yang disepakati.”

“APA?!” Arini sontak menoleh, dadanya serasa ditusuk. “Apa maksudnya?!”

Ibunya mendekat, mencoba menggenggam tangan Arini, tapi ditolak mentah-mentah. “Kami tidak punya pilihan, Nak... Kami butuh uang itu. Bisnis Ayahmu bangkrut, utang sudah menumpuk. Kalau tidak, kita semua bisa mati...”

Arini menatap ibunya dengan mata berair. “Jadi kalian menjual aku?! Seperti barang?!”

Pria itu melangkah maju. “Namaku Leonardo Dirgantara. Mulai detik ini, kau milikku. Aku sudah membayar lunas.”

Arini mundur, tercekik oleh kenyataan. Ia menatap ayahnya, memohon penjelasan. Tapi pria yang selama ini ia panggil ‘Ayah’ hanya menunduk, diam seperti pengecut.

“Tidak… Aku nggak mau ikut! Aku bukan pelacur!” teriak Arini gemetar.

Leonardo tersenyum miring, dingin. “Bukan soal mau atau tidak. Kau sudah dijual. Kontraknya sudah sah. Kalau menolak, keluargamu akan menanggung akibatnya.”

Salah satu pria bertubuh besar mendekat, menarik lengan Arini kasar. Ia berontak, menjerit, namun tak ada yang menolong.

“LEPASKAN AKU!! MAMA!! AYAH!! TOLONG!!!”

Tangisan dan teriakan Arini menggema di rumah kecil itu, tapi hanya ditanggapi dengan air mata dan diam. Ia digiring keluar, dimasukkan ke dalam mobil hitam, tanpa sempat membawa apapun selain baju di tubuhnya.

Perjalanan ke tempat Leonardo terasa panjang dan mencekam. Arini duduk di kursi belakang, terjepit di antara dua pria asing. Kedua tangannya diborgol. Matanya sembab, mulutnya masih gemetar.

“Kenapa aku... Kenapa kalian tega...”

Leonardo duduk di depan, tak menoleh. Ia hanya bicara tanpa emosi. “Ayahmu punya utang besar pada organisasiku. Kau adalah jaminannya. Sederhana.”

“Kenapa tidak ambil rumah kami? Ambil apapun, bukan aku!”

“Karena hanya kau yang berharga, Arini. Benda rusak tidak ada nilainya. Tapi kau... masih muda, cantik, dan murni. Kombinasi yang sempurna.”

Arini memalingkan wajah, muak. Ia merasa jijik, marah, hancur. Tak ada lagi yang tersisa. Tidak ada harga diri, tidak ada keluarga, tidak ada perlindungan.

Sesampainya di mansion Leonardo tempat yang lebih mirip penjara emas daripada rumah Arini langsung dikurung di kamar luas dengan jendela tinggi dan pintu baja.

Tubuhnya lemas, tapi pikirannya penuh perang. Ia ingin mati. Tapi ia juga ingin melawan.

Malam itu, pintu terbuka. Leonardo masuk sendirian, kemeja hitamnya terbuka dua kancing. Cahaya dari lampu gantung menyinari tatapan tajamnya.

“Kau akan tinggal di sini mulai sekarang,” ucapnya pelan. “Jangan mencoba kabur. Rumah ini dijaga ketat, dan semua pintu hanya terbuka dengan sidik jari-ku.”

Arini menatapnya penuh benci. “Apa kau bangga telah menghancurkan hidup seorang gadis yang bahkan tidak kau kenal?”

Leonardo mendekat. “Aku tidak butuh mengenalmu. Aku hanya ingin menguasaimu.”

Arini menahan napas. Wajah pria itu terlalu dekat. “Kau monster…”

“Ya,” jawabnya tanpa ragu. “Tapi monster yang kini menjadi tuanmu.”

Malam itu, Arini menangis dalam diam, memeluk diri sendiri. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada cinta, tidak ada harapan. Hanya dinding dingin, suara derap sepatu penjaga, dan bayangan dari pria yang telah membeli tubuh dan jiwanya.

Arini berusaha tidur malam itu, tapi bayangan tatapan dingin Leonardo terus menghantui benaknya. Di luar kamar, terdengar suara langkah-langkah sepatu bot yang berjalan mondar-mandir. Setiap suara itu mengingatkannya bahwa ia benar-benar terkurung, diawasi, dan tak bisa pergi.

Pikirannya kembali ke keluarganya. Mama. Ayah. Rumah itu. Semua kenangan masa kecil yang dulu hangat, kini terasa palsu.

Ia menyeka air mata yang terus mengalir. Rasa hancur di hatinya tak bisa dijelaskan. Bukan hanya karena ia dijual, tapi karena ia tak berarti apa-apa bagi orang yang seharusnya melindunginya.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka pelan. Jantung Arini mencelos. Ia langsung duduk tegak di tempat tidur, tubuhnya gemetar.

Leonardo melangkah masuk, sendirian, mengenakan pakaian tidur berwarna gelap. Wajahnya tenang, tapi ada sorot tajam yang membuat Arini merinding.

“Apa kau bisa tidur?” tanyanya, suaranya pelan tapi menekan.

Arini tidak menjawab. Hanya menunduk, menggenggam ujung selimut dengan erat.

“Ketakutan?” Ia berjalan pelan, mendekat. “Bagus. Ketakutan akan membuatmu patuh.”

Arini menggigit bibir, menahan diri agar tidak menangis di hadapannya. “Apa... kau datang hanya untuk menakutiku?”

Leonardo tersenyum tipis. Ia duduk di kursi di sudut ruangan, menyandarkan punggung dan menyilangkan kaki. “Aku datang untuk mengingatkanmu... mulai besok, kau bukan lagi gadis bebas. Kau hidup atas perintahku. Nafasmu ada karena aku izinkan. Kau akan belajar bagaimana menjadi milikku sepenuhnya.”

“Kau tidak berhak...”

“Sudah kubilang. Aku membeli hak itu.”

Arini berdiri dari ranjang, berusaha menatapnya dengan berani. “Tubuhku mungkin bisa kau kuasai. Tapi hatiku... tidak. Aku bukan boneka.”

Leonardo tertawa kecil, tetapi dingin. “Kau akan berubah pikiran nanti.”

Ia berdiri, lalu berjalan pelan ke arah Arini. Gadis itu mundur beberapa langkah, tapi tak bisa lari ke mana pun. Punggungnya menempel ke dinding.

“Simpan keberanianmu,” bisik Leonardo, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Arini. “Kau akan membutuhkannya saat aku mulai... menyentuhmu.”

Tangan dingin Leonardo sempat menyentuh dagunya, tapi Arini menepisnya keras. “Jangan sentuh aku!”

Leonardo mematung sejenak, lalu tersenyum penuh bahaya. “Kau akan belajar... bahwa tidak ada yang bisa menolakku dan lolos begitu saja.”

Ia mundur dan melangkah keluar dari kamar. Sebelum menutup pintu, ia berkata, “Tidurlah, Arini. Besok adalah awal hidup barumu. Dan kau akan menyesalinya.”

Cklek.

Pintu terkunci kembali. Arini jatuh berlutut di lantai. Tubuhnya gemetar hebat. Ia menggigit jarinya agar tak menjerit. Tapi isakannya tetap lolos.

Bahkan udara pun terasa menyesakkan. Kamar itu mewah—dengan lampu kristal, tempat tidur empuk, rak buku, kamar mandi pribadi—tapi semua itu tak berarti jika hatinya dipenjara. Ia bukan tamu. Ia bukan istri. Ia hanyalah tawanan.

Keesokan paginya, sinar matahari masuk lewat jendela tinggi. Arini tidak tidur sama sekali. Matanya sembab, tubuhnya lemas.

Pintu kamar terbuka. Seorang wanita berseragam hitam dan rapi masuk, membawakan pakaian dan baki makanan.

“Selamat pagi, Nona Arini,” ucap wanita itu datar. “Tuan menyuruh saya membantu Anda bersiap. Hari ini akan ada ‘pertemuan pribadi’.”

Arini menatapnya curiga. “Pertemuan apa?”

Wanita itu tak menjawab. Ia hanya meletakkan gaun hitam ketat di ranjang, serta pakaian dalam baru berwarna merah marun.

“Pakai ini. Tuan tidak suka menunggu,” katanya, lalu keluar begitu saja.

Arini memeluk dirinya. Ia tahu maksudnya. Hari ini... mungkin adalah hari di mana neraka itu benar-benar dimulai.

1
KLOWOR GAMING apa??
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
moa_dubadu_wariwari
Saya sudah tak sabar nunggu kelanjutannya, tolong secepatnya update thor!
Mar Briyith ER
Aksinya keren banget, semangat terus author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!