Aluna gadis yatim piatu berusia 21 tahun, menjalani hidupnya dengan damai sebagai karyawan toko buku. Namun hidupnya berubah setelah suatu malam saat hujan deras, ia tanpa sengaja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya. Di sebuah gang kecil ia melihat sosok pria berpakaian serba hitam bernama Darren seorang CEO berusia 35 tahun yang telah melenyapkan seorang pengkhianat. Bukannya melenyapkan Aluna yang menjadi saksi kekejiannya, Darren justru membiarkannya hidup bahkan mengantarnya pulang.
Tatapan penuh ketakutan Aluna dibalik mata polos yang jernih menyalakan api obsesi dalam diri Darren, baginya sejak malam itu Aluna adalah miliknya. Tak ada yang boleh menyentuh dan menyakitinya. Darren tak ragu melenyapkan semua yang pernah menyakiti Aluna, entah itu saat sekarang ataupun dari masa lalunya.
Ketika Aluna perlahan menyadari siapa Darren, akankah ia lari atau terjatuh dalam pesona gelap Darren ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mantan Perawat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.1
© Gang Gelap : Pertemuan Di Bawah Hujan©
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan kota yang mulai sepi. Cahaya lampu jalan redup berkelap-kelip, memberi kesan kelam pada malam yang sudah mencekam. Aluna menarik napas dalam-dalam di bawah kanopi toko buku tempatnya bekerja. Ia menatap hujan yang tak kunjung reda, lalu melihat jam di pergelangan tangannya,sudah mulai larut.
23.10
Sudah sangat larut. Jika menunggu hingga hujan reda, mungkin ia harus bermalam di toko buku. Ia mengeratkan sweater tipisnya, menggigit bibir, lalu menghela napas pelan. Tak ada pilihan lain.
"Aku harus cepat pulang..." gumamnya lirih.
Dengan langkah ragu, ia akhirnya menerobos hujan, berlari kecil melewati trotoar yang tergenang air. Dalam benaknya, yang terpenting adalah segera sampai di kost. Jalur tercepat adalah lewat gang kecil di ujung jalan. Tempat itu memang jarang dilewati orang, tapi lebih baik daripada harus memutar jauh di tengah hujan begini.
Saat memasuki mulut gang yang gelap, Aluna merasakan sesuatu yang aneh. Ada semacam getaran aneh di udara, seolah malam itu menyimpan sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.
Dan benar saja.
Begitu kakinya melangkah lebih dalam, matanya membelalak. Napasnya tercekat.
Di tengah gang yang remang, tiga pria berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup topeng berdiri di sekitar tubuh seseorang yang tergeletak tak bernyawa di tanah basah. Salah satu dari mereka menggenggam belati yang masih berlumuran darah.
Darah.
Pemandangan itu menghantam kesadarannya, membuat tubuhnya bergetar hebat. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Tangannya menutup mulut, mencegah dirinya mengeluarkan suara sekecil apa pun.
Namun, sial.
Saat ia bergerak mundur, kakinya tanpa sengaja menginjak kaleng kosong yang tergelincir di bawah hujan. Suara nyaring menggema di gang sunyi itu.
**Duk! Clang!**
Aluna tersentak.Dan saat itulah tiga pria itu menoleh ke arahnya.Dada Aluna naik-turun dengan cepat, napasnya putus-putus. Mata pria yang memegang belati menatapnya tajam. Cahaya petir yang menyambar di langit membuat matanya terlihat lebih jelas. Tatapan mata dingin, penuh bahaya, menusuk ke dalam jiwanya.
"Sial," gumam salah satu pria di sebelahnya.
"Apa yang harus kita lakukan? Dia melihat semuanya," kata pria lainnya dengan suara berat.
"Haruskah kita melenyapkannya sekarang juga?"
Aluna tersentak. Jantungnya hampir meledak dalam ketakutan. Ia membuka mulut, berusaha berbicara, tetapi suaranya hanya keluar seperti bisikan.
"T-Tolong... a-aku t-tidak akan mengatakan apapun... Aku berjanji... Aku bersumpah..."
Pria yang memegang belati itu menatapnya tanpa ekspresi. Ia tidak langsung menjawab. Diam sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu.Kemudian, tanpa mengalihkan pandangannya dari Aluna, ia memberi perintah.
"Bawa mayat itu. Tunggu aku di ujung jalan."
Kedua anak buahnya saling bertukar pandang. Ada keraguan di wajah mereka, tetapi mereka tidak berani membantah. Mereka segera mengangkat tubuh tak bernyawa itu dan menghilang dalam kegelapan.
Sementara itu, pria itu perlahan berjalan mendekati Aluna yang masih terduduk di tanah. Hujan semakin deras, menciptakan suara gemuruh yang mengiringi langkahnya.
Aluna menahan napas. Tubuhnya semakin menggigil, bukan hanya karena kedinginan, tetapi juga karena rasa takut yang menggerogoti dirinya.
Pria itu berjongkok di depannya, menatapnya lekat-lekat tanpa berkedip.
"Namamu?"
Aluna membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar,nafasnya tercekat. Matanya tertuju pada belati di tangan pria itu yang masih berlumuran darah.
Pria itu mengulang pertanyaannya.
"Siapa. Namamu?"
Tangannya yang bebas terulur, menyentuh pipi Aluna. Jari telunjuknya menyusuri wajah gadis itu, lalu berhenti di pipinya yang chubby. Entah dorongan dari mana, ia menekan-nekan pipi bulat itu perlahan.
" Chubby sekali...."
Aluna tersentak, menangis semakin keras.
"A-Aluna..." suaranya bergetar.
Pria itu menyeringai kecil. Ia menyimpan belatinya ke dalam saku, membungkusnya dengan sapu tangan hitam.
"Dimana kau tinggal?"
"Di... di kost... t-tak jauh dari sini..."
Pria itu mengangguk. Lalu, dengan gerakan tiba-tiba, ia melepaskan mantelnya dan menyampirkannya ke bahu Aluna.
"Naik."
"A-apa?"
"Punggungku. Naik."
"A-aku bisa jalan sendiri..."
Tatapan pria itu berubah tajam. "Aku tidak suka mengulang perkataan."
Aluna menelan ludah, lalu dengan tubuh yang masih gemetar, ia akhirnya naik ke punggung pria itu. Ia terlalu takut untuk melawan. Pria itu berjalan melewati hujan, menyusuri jalanan gelap tanpa mengatakan apa pun.
Setelah beberapa saat, suara pria itu terdengar lagi.
"Berhenti menangis."
Aluna justru semakin tersedu.
"Jika kau terus menangis... aku mungkin akan melenyapkanmu seperti pria tadi."
Aluna menahan napasnya, berusaha sekuat tenaga menahan isakan, meskipun air matanya masih mengalir deras.
Setelah beberapa menit, kost Aluna akhirnya terlihat. Dengan suara lirih, ia memberitahu pria itu bahwa mereka sudah sampai.
" D-Disini.."
Pria itu menurunkannya perlahan. Aluna langsung melepaskan mantel yang tadi dipakaikan kepadanya. Tangannya gemetar saat mencoba membuka kunci pintu. Begitu berhasil, ia segera masuk ke dalam.
Namun, sebelum sempat menutup pintu, pria itu menahannya dengan satu tangan.
Lalu, tanpa ragu, ia melangkah masuk ke dalam kost Aluna dan menutup pintu di belakangnya.
Aluna jatuh terduduk di lantai, menangis semakin keras. Kedua tangannya menangkup di depan dada, memohon dengan suara kecil yang hampir seperti bisikan.
Pria itu berjongkok di depannya lagi, menatapnya lekat. Jemarinya kembali menyentuh pipi Aluna yang basah oleh air mata. Kali ini, ia tidak hanya menekan-nekan pipi itu, tetapi juga mengusapnya perlahan.
Lalu, dengan gerakan mengejutkan, ia menundukkan wajahnya, mendekatkan diri hingga hampir tidak ada jarak di antara mereka.
Suara seraknya terdengar di telinga Aluna.
"Jangan katakan apapun pada siapapun. Aku akan tahu jika kau berbohong."
Aluna mengangguk cepat dengan napas tersengal.
Tatapan pria itu turun ke pipi Aluna lagi, lalu tiba-tiba...
Cup...
Aluna membelalak.Pipinya baru saja dicium.
Lidahnya kelu. Ia bahkan tidak bisa mengeluarkan suara lagi.
Pria itu hanya tersenyum miring, lalu berdiri. Dengan langkah tenang, ia berjalan ke pintu, membukanya. Namun, sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi ke arah Aluna yang masih terduduk di lantai dengan wajah syok.
"Semoga mimpi indah, Aluna."
Lalu, ia menutup pintu di belakangnya.
Di luar, pria itu masih berdiri di depan pintu kamar kos Aluna, menatap pintu itu dengan ekspresi aneh. Tangannya menyentuh bibirnya, lalu pipinya sendiri, mengingat sensasi kulit lembut gadis itu.Ia terkekeh pelan.
"Gadis manis yang menarik..."
Lalu, dengan suara hampir seperti bisikan, ia mengulang nama itu sekali lagi,seolah sebuah mantra yang ingin ia ulang terus menerus.
"Aluna."
Sebuah senyuman misterius muncul di wajahnya, lalu ia berbalik, meninggalkan kost Aluna untuk menuju tempat pengawalnya menunggu,meninggalkan malam yang penuh ketakutan bagi gadis polos yang baru saja memasuki dunianya.