(Update setiap hari selama ongoing!)
Clara merasa kepalanya pusing tiba-tiba saat ia melihat kekasihnya bercinta dengan sahabatnya sendiri yang sudah ia anggap seperti saudara kandungnya. Mereka berdua tampak terkejut seperti melihat hantu setelah menyadari Clara muncul dari balik pintu kamar dengan cake bertuliskan 'Happy 6th anniversary' yang telah jatuh berantakan di bawah.
"Sa–sayang ...." Kris wang, kekasihnya tampak panik sambil berusaha memakai kembali dalaman miliknya.
Leah Ivanova juga tak kalah terkejut. Ia tampak berantakan dan berusaha menutupi tubuhnya dengan kain yang kini Tanpa busana.
"Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Clara!" Kris berusaha mengambil alih Clara.
Gadis itu tersenyum kecut. Berani sekali ia bicara begitu padahal segalanya telah keliatan jelas?
*
Baca kelanjutannya hanya di noveltoon! Gratis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherryblessem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAH| 18
Clara tersenyum bahagia setelah keluar dari beberapa toko yang ada di mall. Ia mengunjungi toko di mall itu satu persatu dan berbelanja layaknya seorang wanita kaya raya yang manja. Ini adalah sesi menghibur diri yang menyenangkan.
Hari ini, ia ingin berbelanja untuk keperluannya bekerja besok. Tak ia sangka, dirinya akan merasakan perasaan ini pada akhirnya.
"Clara?"
Senyum Clara tiba-tiba saja menghilang saat suara yang familiar itu terdengar di telinganya. Ia berhenti dan berdiri kaku seperti patung ketika langkah itu terdengar mendekat. Tiba-tiba saja kebahagiaan yang ia rasakan itu meluap begitu saja ketika menyadari suara siapa yang mengganggunya.
"Aku merindukanmu!" Leah secara mengejutkan memeluk Clara erat seperti tak ada rasa bersalah.
Sesaat, Clara merasa tersentuh karena Leah dan suara lembutnya yang menghilang sejak pengkhianatan itu.
“Lepaskan!” Clara menepis tangan Leah dengan kasar hingga perempuan itu mundur selangkah.
“Hei! Apa kamu bisa sedikit lebih sopan?!” seru Kris, wajahnya berubah kesal.
Clara menatap keduanya dengan pandangan penuh jijik. Tatapannya menusuk, seolah ingin mengelupas lapisan kepalsuan dari wajah mereka.
“Maaf, refleks. Soalnya aku alergi sama pengkhianat.”
“Clara ....” Leah mencoba bicara, suaranya dibuat semanis mungkin. “Kamu masih marah, ya?”
Suara itu. Nada palsu itu. Clara merasa seolah sedang dicekoki racun lewat telinganya.
“Marah?” Clara menyeringai sinis. “Oh, manis … aku bahkan tidak sudi membuang energi untuk marah. Aku cuma—” ia menahan napas dan mengelus tenggorokannya dramatis, "mual. Sangat mual.”
Leah melangkah maju dengan wajah memelas. “Tapi kami beneran nggak berniat seperti ini. Aku dan Kris ... kami juga terluka. Kamu tahu, kamu selalu sibuk, menjauh, dingin... dan kami—”
“Dan kalian tidur bersama. Itu alibi kalian?” Clara memotong tajam, tawanya pendek dan dingin. “Lucu. Tapi sayangnya aku bukan penonton sinetron bodoh yang bisa kalian tipu.”
“Aku tahu aku salah! Tapi... kami cuma manusia biasa! Kami punya hati!” Leah berseru, matanya berkaca-kaca.
“Hati?!” Clara tertawa sinis, suaranya nyaring menusuk. “Kalau kalian memang punya hati, seharusnya itu sudah remuk waktu kalian melakukannya di belakangku, kan? Tapi tunggu—” ia mendekat ke arah Leah, “—atau jangan-jangan, hati kalian ada di tempat yang sama dengan moral kalian. Di ranjang kamar Kris itu.”
Kris melangkah maju, wajahnya memerah.
“Cukup! Kamu ini selalu menyalahkan orang lain! Suka main korban! Kamu itu wanita keras kepala, pembangkang, makanya hidupmu selalu sial!”
“Dan kamu ...,” Clara menuding tajam ke arah Kris, suaranya penuh api, “adalah pria lemah yang butuh validasi dari selangkangan sahabat pacarnya sendiri! Hebat ya, cowok idaman!”
Orang-orang mulai memperhatikan. Tapi Clara tak peduli. Napasnya terengah, tapi matanya masih membara.
“Aku kerja siang malam untuk keluar dari utang, dan kalian malah... malah pakai kesempatan itu buat saling menghangatkan ranjang?!”
“Sudah! Jangan bertengkar di sini!” Leah berseru panik.
Clara membuang nafas berat dengan tatapan tidak percaya. Ia memutar bola matanya merasa lelah menanggapi dua orang menyebalkan ini.
"Well, aku juga mau pergi. Maaf saja, tapi aku tak punya waktu untuk kalian. Selamat menikmati hasil perselingkuhan kalian."
Kata Clara kemudian melangkah pergi menjauhi dua orang sialan itu. Dalam hati, Clara mendoakan dirinya agar tidak kena sial setelah bertemu dua bajingan itu.
*
"Clara?"
Suara itu terdengar asing namun familiar ditelinga Clara. Segera gadis itu berbalik dan mendapati Cakra menatapnya dengan tatapan terkejut. Sepertinya, Cakra melihat Clara memarahi angin sendirian.
"Kenapa kamu ada disini?" Clara refleks mengucapkan kalimatnya dengan nada kesal, efek dari pertemuannya dengan Kris dan Clara.
"Oh, aku ... Bekerja?" Cakra terkejut dengan kalimat ketus Clara.
Menyadari kata-katanya kasar, Clara kemudian melotot dan meminta maaf. Ia melihat beberapa orang berdiri di belakang Cakra. Entah apa yang sedang mereka lakukan.
"Oh ... Maafkan suaraku yang ketus. Aku tak bermaksud kasar. Hanya saja, barusan aku moodku hancur. Tapi, aku sudah baik-baik saja, kok!" Clara menjelaskan niatnya dengan hati-hati, khawatir Cakra merasa tidak enak.
Laki-laki itu kemudian tersenyum. "Ah, aku bisa melihatnya. Tidak apa-apa. Aku sangat mengerti."
"Kenapa kamu ada disini?" Clara mengulang pertanyaannya dengan nada yang lebih baik.
"Aku bekerja."
"Bekerja? Apa pekerjaan yang berkeliling mall di siang hari bolong?" Clara bicara, berniat bercanda.
Cakra tertawa. "Aku sedang memantau perkembangan mall ini." Ia tersenyum membuat Clara menyadari kalau Cakra tak sendirian namun bersama beberapa orang di belakangnya.
Sejak dahulu, bukan lagi rahasia bahwa Cakra adalah seorang pengusaha yang kaya seperti Julian. Dulu, dia dijodohkan teman-temannya dengan Cakra namun hubungan itu kandas sebelum mulai karena Cakra harus pindah ke Amerika untuk belajar disana. Melalui patah hati, ia bertemu dengan Kris dan inilah hasil dari bersama Kris. Terluka, kecewa, malu dan jijik. Ah, menyebalkan rasanya.
"Kamu pasti sibuk, ya." Clara memandang Cakra dan orang-orang dibelakangnya.
"Yah, tidak juga. Aku hanya berkeliling. Kamu sudah hampir selesai berkeliling, kok." Cakra tersenyum.
Ia menatap barang bawaan Clara yang banyak. Tampaknya, gadis itu sedang menikmati waktu berbelanjanya.
"Apakah kamu masih berbelanja?"
Clara menatap barang bawaannya juga dan kembali ke wajah Cakra. "Oh, sudah. Aku hanya ingin berkeliling lagi."
"Begitulah?" Cakra tampak berbinar matanya. "Aku sebenarnya ingin mengajakmu makan siang bersama jika kamu tidak sibuk." Cakra memandang Clara dengan ramah.
Mata Clara berbinar. Cakra mengajaknya makan siang?
"Se—sekarang?" Ia memandang laki-laki itu dengan wajah menganga kaget.