NovelToon NovelToon
Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Persahabatan / Romansa
Popularitas:954
Nilai: 5
Nama Author: Moira Ninochka Margo

"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"

Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.

Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.

Apa yang terjadi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SATU Awal Baru

Jakarta, Indonesia

 

            LANGIT senja kini tampak begitu cerah dan indah. Namun, entah mengapa, rasanya hari ini begitu menyesakkan. Seakan-akan, dada ini terus bergemuruh dan berteriak lantang dalam tangisan di hatiku.

Suara kasar, keras, dan bentakan defensif yang penuh amarah terdengar sedari tadi saat aku berdiri mematung di teras rumah mewah besar bercat perunggu ini. Tepat tak jauh beberapa meter dari tempatku berdiri, tampak seorang lelaki paruh baya tegap dengan raut wajah memerah dalam amarahnya tengah memelototi lelaki tegap dan masih muda sekitar berusia dua puluh enam yang tengah cemas dan sedih berusaha menjelaskan apa yang terjadi, dan di samping kanannya tampak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dengan rambut hitam sanggulnya yang tengah meremas lengan gadis manis di sampingnya dengan raut wajah takut dan cemas seraya airmata berlinangan di mata dan pipi putih keriputnya. Gadis manis itu hanya memandang lelaki yang tengah di bentak dengan penuh sedih dan cemas, airmatanya sudah menetes sedari tadi sembari mendekap wanita paruh baya yang tengah berdiri tertegun di sebelahnya. Yeah, mereka keluarga lelaki yang tengah di bentak itu. Keluarga ningrat yang begitu terkenal di kotanya akan usaha-usaha yang telah mereka bangun sejak nol.

"Ayah, kumohon, dengarkan aku? Bisakah mengerti? Sekali ini saja, kumohon?" suara serak lelaki yang sedari tadi sabar itu, dengan teduh memandang lekat kedua mata ayahnya dengan raut wajah memelas. Aku bisa melihat, raut wajahnya begitu sedih dan sakit. Terlebih, melihat adik dan ibunya menangis.

Tak ada yang berkutik, bahkan menentang atau mengucapkan sepatah kata pun. Mereka hanya mematung menyaksikan semuanya. Memang, selama ini, sang ayahlah yang berkuasa. Tak ada yang dapat menentang jika beliau sudah berkata-kata, terlebih mengambil keputusan. Hanya saja, lelaki itu yang pantang menyerah untuk membuat beliau mengerti maksudnya.

Aku yang menyaksikan kondisi yang sungguh membuatku tak tega dan sakit dalam kesedihan ini, hanya bisa memutar mata, lalu menghela napas beratku. Menekan rasa perih yang semakin menjalar dan bergemuruh di benak bagai belati menekan dalam tusukan mirisnya.

Oh Tuhan.

"Jelaskan apa lagi? Kamu mau ayah mengerti apa lagi? Kamu membawa gadis itu kemari, Firhan, dan tiba-tiba saja memberitahu ayah akan keputusan bodoh mu itu. Kamu menolak sekolah di Mesir, dan lebih memilih untuk menikah dengannya? Di mana pikiran kamu itu, Nak?

“Kamu tahu, ayah selalu bermimpi, anak ayah lelaki satu-satunya bisa berburu ilmu di Negeri impian ayah, yang kelak bisa menjadi orang yang berguna untuk agamanya, hanya untuk membanggakan Allah, Nak, hanya untuk Allah dan Nabi kita! Ayah tidak pernah menuntut kamu membanggakan ayah," jelasnya mengakui dengan nada tinggi dan memandang putera sulungnya itu dengan sedih serta kecewa.

"Ayah, Firhan mengerti. Maafkan Firhan, Ayah? Tapi kumohon, ayah mengerti keputusan Firhan? Ayah, aku lelaki yang kelak akan jadi pemimpin keluarga. Kumohon, Ridha-kan Firhan bertanggung jawab dan menikahi Nesya?" pinta lelaki itu lalu menghela napas berat di akhir kalimat sembari memandang ayahnya penuh harap.

Plak! Aku yang sedari tadi memalingkan wajah karena tak sanggup melihat situasi itu, seketika kepalaku berputar cepat ke arah sumber suara yang membuat hati ini semakin perih. Ya, aku tahu suara itu. Sangat mengenalinya. Suara tamparan bersamaan dengan suara teriakan gadis muda dan wanita paruh baya yang terdengar menyayat hati, sedih, dan sakit dengan seruan memanggilnya dengan kata ‘ayah’. Tangan besar yang penuh kasih sedari dulu itu, rupanya telah melayang dan mendarat keras di pipi putih putera lelaki satu-satunya, yang seketika hanya di balas dengan kebungkaman Firhan sembari memegang pipinya yang memar. Sorot mata Firhan memandang sang ayah yang sudah sangat memerah kerana marah. Mata ayahnya masih melotot memandang dia penuh amarah, sakit dan kecewa.

Airmata Firhan tampak menetes dan masih memandang orangtua yang dikasihinya itu dengan teduh dan penuh maaf. Seolah-olah, matanya memohon maaf pada lelaki paruh baya yang begitu hebat dihadapannya saat ini.

"PERGI DARI SINI!!" titah lelaki paruh baya itu menggema dengan nada suara naik satu oktaf, setelah sejenak memandang Firhan lalu memalingkan wajahnya seraya memunggungi puteranya itu.

Bersamaan itu pula, suara erangan memohon istrinya dan suara tangisan puteri bungsunya terdengar, yang kali ini berusaha menentang untuk mencegat keputusan lelaki paruh baya itu.

"Ayah?" lirih Firhan memandang ayahnya dengan memohon yang lagi-lagi airmatanya menetes.

"Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi! Kau bukan anakku lagi dan jangan pernah kembali," tegas sang ayah dengan nada meninggi penuh amarah tanpa berbalik melihat puteranya yang berlutut mendengar keputusan itu, diikuti dengan erangan putus asa istrinya. "Ayah, jangan mengatakan seperti itu, dia masih Firhan kita," elak sang ibu yang begitu sedih dan tak setuju putera satu-satunya di perlakukan dan di beri keputusan seperti itu. Lagi-lagi airmata itu berlinangan di pipi putih keriputnya.

"Tidak! Itu keputusannya, dan ini keputusanku," tegasnya sekali lagi dengan nada meninggi, kemudian berlalu tanpa memandang mereka.

Lelaki tegap penuh kasih malaikatku itu, kini terpuruk putus asa tak berdaya di lantai. Tangan lembut ibunya segera memapah tubuh atletisnya yang saat ini begitu tampak rapuh dan hampa, lalu membangkitkannya. Ia mengusap airmata putera sulung satu-satunya itu, lalu mengecup keningnya penuh linangan airmata.

"Bu, maafkan aku. Firhan–"

"Tidak, Anakku. Ibu tidak percaya kamu melakukan hal yang di benci Allah itu. Aku ibumu, dan kamu tumbuh di rahim ibu. Ibu tahu jelas siapa puteraku ini. Kamu masih anak ibu, Nak, putera ibu! Tidak ada yang bisa mengelak itu," sela ibunda Firhan memotong ucapannya dengan penuh kasih, menghapus airmata itu lagi dari wajah buah hatinya dan memeluknya erat. Gadis muda yang merupakan adik satu-satunya itu hanya terisak memeluk mereka berdua.

"Kak, kumohon, jangan pergi? Siapa nanti yang menjaga kita, Kak? Siapa yang akan membuatku tersenyum jika sedang sedih?" mohonnya memandang sembari memelas pada kakaknya yang kini dekapan mereka terlepas. Firhan tersenyum dalam lukanya.

"Kakak tahu, kamu sudah besar, Dek. Dan kakak sangat tahu, kamu bisa menjaga dirimu, bahkan menjaga ayah dan ibu. Dengar, Adikku manis, kesabaran itu jauh lebih penting, Sayang. Kerana sabar, hati dan diri lebih kuat. Kerana sabar, hati dan diri lebih tegar. Ingat, apapun masalahnya, apapun kesedihannya, jauh dari itu, Allah tahu  sesungguhnya, Dek. Dan hanya Allah yang tahu ke depannya yang baik itu bagaimana.

“Kakak tetap sayang padamu, teruslah ikuti kata hati dan jangan menyakiti hati. Kakak tahu, kamu bisa melakukan jauh lebih terbaik dari yang kakak kira." Lirih Firhan memandang adiknya sembari menyentuh rambut dan wajah itu, lalu memegang lembut lengan gadis itu. Saudaranya itu hanya memandangnya sedih dan takut.

"Kak?" lirihnya saat sang kakak berusaha bangkit dan berdiri.

"Jaga hati kakak di sini, ya, Sayang? Mereka sangat berharga," lirih Firhan lagi memandang adiknya yang tengah berdiri di hadapannya, lalu bergantian memandang sendu penuh kasih ibunya yang kini semakin meledak tangisnya.

Sejenak, Lelaki itu menatap sang ibu, berusaha tersenyum menyemangati, lalu perlahan-lahan mengusap airmata wanita paruh baya itu dan menggeleng perlahan berulang kali sembari tersenyum penuh kasih dan membuat ibunya semakin menangis pilu. Firhan lalu mendekap wanita paruh baya yang begitu rapuh dan tiada hentinya menangis, yang sesekali mengecup kening itu. Selang tak beberapa lama, ia lalu beralih memeluk adiknya dan mengecup kening gadis itu setelah pelukan terlepas.

Tuhan, Apa yang ku perbuat? Bisakah aku meminta? Tolong, kumohon, jangan ada airmata kesedihan lagi untuk mereka. Maafkan aku, Tuhan.

            Kaki kami terasa berat melangkah, menyusuri jalan beraspal dengan hati tertusuk-tusuk bagai beribu belati yang menancap kasar dan berefek semakin perih, sesak dan bergemuruh. Membawa entah ke mana malaikat penuh kasihku ini, meninggalkan rumah yang begitu banyak kenangan penuh kasihnya dan kehangatan dalam hidup calon suami hebat ku ini.

Sebelum kami meninggalkan rumah bak istana itu, ibu dan adiknya sempat memeluk dan mencium keningku. Lalu, memberi Tafsir Qur'an yang tengah ku genggam erat saat ini. Sebagai hatinya untuk menjaga kami. Dan sebagai restu, doa dan kasihnya, untuk menemani kami menjalani lembaran hidup baru ini.

...* * *...

 

"Sudah makan?" suara lembutnya kini menjelajah di seluruh otakku. Aku hanya bisa memandangnya tanpa berkedip.

"Nes? Nesya?"

Lagi, suara itu terdengar indah di telinga dan otakku, bak menari-nari lembut di pikiran ini.

"Nesya?"

Aku tersentak. Tangan putihnya saat ini menyentuh lembut rambutku.

"Hei, kok melamun, sih?" tegurnya lembut yang mengandung senyum di wajahnya dan menyentuh mata yang membuat tampak gelengan perlahan ini tampak, bersamaan dengan senyuman seraya memandangnya.

"Kamu sendiri belum makan." Timpalku dan memandangnya tersenyum. Ia mendesah.

"Sayang, kan kamu lagi—"

"Ssstttt, ia aku tahu!" desis ku menyela lalu terkekeh. Lelaki itu hanya tersenyum kemudian menarikku dalam dekapannya.

Memang, pagi ini entah mengapa begitu terasa aneh. Maksudku, sikap suamiku yang semakin lama—sejujurnya masih membuatku tidak menyangka hingga menganga tertegun nan terpesona bak orang tolol, setiap saat aku menyadari dan memang belum terbiasa—begitu dramatis tapi selalu berhasil membuatku terpesona dan konyolnya, merasa seolah berada dalam scene film drama. Firhan memang begitu penyayang dan perhatian padaku.

Namanya Firhan. Lengkapnya, Firhan Pradipta Zayn. Lelaki tampan menurutku dengan postur tubuh atletis tinggi nan tegapnya dan bisa di bilang ia termasuk kategori pria idaman. Kuakui, tak jarang ketampanan wajah dan eksotik tubuhnya begitu membuat wanita terpikat, terlebih ketika kami berjalan berdua di tengah keramaian, ia ibarat berlian berkilau. Dan itu, memang sudah sedari dulu hingga saat ini.

Awalnya, kami bertemu di sebuah perpustakaan. Dia juga sangat menyukai buku, terlebih puisi Urdu. Puisi berbahasa Punjabi, Pakistan. Memang, ia juga senang membuat puisi seperti itu. Sejak saat itu, kami dekat dan bersahabat. Bedanya, ia fokus dengan ilmu dan kuliahnya bersama sejuta harta yang melimpah ruah dan beberapa usahanya yang ia mulai dari nol. Dan aku, aku adalah gadis sederhana tanpa apa-apa dengan otak yang tak secerdas itu. Ayahku meninggal sejak aku berusia dua tahun, dan Ibuku juga meninggal sejak aku duduk di bangku SD kelas enam. Singkatnya, aku dengan kekasihku, dan dia dengan sejuta ilmunya yang menemani. Benar, meski memliki kesempurnaan yang banyak digilai oleh para wanita, namun lelaki ini seakan tak pernah terpengaruh sedikit pun, bahkan dengan gadis yang sangat cantik dan populer. Aku bahkan tak pernah melihatnya menggandeng gadis selain diriku, bersahabat tentunya.

Sejak kami menikah dua bulan yang lalu, ia semakin perhatian dan penuh kasih. Dan aku, perlahan-lahan, mulai membuka hati—meski, butuh waktu lama—namun entah mengapa, aku mulai cemas padanya jika dia pulang terlambat. Dan, perlahan-lahan menghapus cinta untuk mantan kekasihku, Daniel.

Hari ini dia sangat tampan, dengan kemeja kelabu dan rambut hitamnya yang sengaja di gel dengan membentuk spike. Terlebih, senyumnya nyaris tak lepas dari wajah tampannya itu, membuatku benar-benar tak bisa menahan untuk tidak ikut tersenyum.

"Kenapa senyum-senyum seperti itu? Ayo, pikirkan apa coba?" selanya menembus pikiranku yang membuatku tersenyum malu. "Sudah! Ini masih pagi, Pak Firhan. Jangan menggoda apalagi merecoki ku!" sahutku menggeliat di dekapannya.

"Oh, ya, Nyonya Firhan?" sahutnya lalu terkekeh.

Istilah barunya itu benar-benar membuat pipiku terasa memanas. Sepertinya aku harus terbiasa dengan itu. Lagi, sesuatu yang baru.

"Okay, sekarang waktunya pergi. Time’s to work!” seruku tersenyum setelah mendesah.

"Baiklah, Nyonya Firhan!"

Lagi, membuatku terkekeh dengan istilahnya itu dan ia tersenyum. Tersenyum manis menyentuh matanya. Firhan lalu memandangku sejenak, kemudian menggenggam wajahku dan menyentuhnya.

"Jaga diri baik-baik juga kesehatan. Dan .... ingat, minum susu," Aku mengangguk patuh dalam senyuman.

"Iya." Lirihku lembut, lalu dia mengecup keningku. Lalu, "Aku pergi dulu, ya, Sayang. Baik-baik di rumah. Bila ada apa-apa, telepon, okay?" pesannya lembut lalu mengusap rambutku. Aku mengangguk sembari senyum masih di wajahku.

"Love you." Lirihnya berbisik di telingaku dan membuatku terkekeh sembari mendorongnya pelan sambil tersenyum.

"Sudah, jangan gombal terus, nanti terlambat ke kantornya."

"Masa bos terlambat sedikit saja tidak boleh?" protesnya menimpali.

"Hei, Bos juga harus disiplin, "

Firhan terkekeh dan menarikku lagi agar lebih dekat. Menatap, seperti menunggu sesuatu.

"Love you, too." bisikku dalam membenamkan wajah di dadanya. Ia lalu melepas dekapan dan memandang tak percaya. Seperti terkejut, tapi setelah itu, ekspresi wajahnya kembali berubah menjadi …. Berseri? Hah? Apa? Dia berseri?

"Kenapa?" tanyaku menatapnya.

Lelaki itu terkekeh penuh kemenangan, lalu menggeleng. Kemudian, menarikku kembali dalam pelukannya dan mengusap rambutku. Aku hanya mengernyit dalam diam. Setelah dia melepaskan dekapannya, kami lalu ke teras dan ia mengecup ku sekali lagi, lalu mencium tangannya serta pamit padaku dan berlalu dengan penuh senyuman berseri. Aneh, tapi aku suka!

Senyumanku merekah konyol. Aku lalu masuk ke rumah. Cuaca hari ini begitu cerah dan hangat.

 

...* * *...

 

            Siang ini, setelah aku dan Dian, sahabatku teleponan. Akhirnya kami janjian bertemu di rumahku. Rasanya bahagia, setelah lama tak bertemu dengan Gadis imut yang super cerewet ini, akhirnya meet up. Aku mendesah.

Suara ketukan berulang kali terdengar dan dengan antusias berlari kecil ke pintu utama untuk membukakan pintu. Begitu telah membuka pintu besar bercat cokelat lembut dengan gagang besi putih dingin yang mungkin dari efek pendingin ruangan ini, kini seorang gadis yang masih sama terakhir kulihat itu seketika berhambur memelukku.

"Nesya!" serunya riang lalu menarikku masuk.

Keningku hanya berkerut samar dalam senyuman dan menggeleng berulang kali padanya. Sangat Dian, selalu percaya diri dan tak pernah sungkan pada sahabatnya. Di mana pun aku berada, dia seolah menganggapnya juga dunianya.

"Hei, kamu tambah cantik loh, Say." Komentarnya yang memulai. Mataku memutar dan tersenyum. "Dan kamu, semakin cerewet."

Mendengar itu, ia lalu mencebik lalu cemberut. Dan itu membuatku terkekeh. "Tapi tetap imut, kok," tambahku tersenyum lalu mengacungkan ibujariku padanya. Yang membuatnya semakin menatap berlebihan dengan narsis dan centilnya.

Aku lalu masuk ke dapur, ketika sesaat ia mengutak-atik ponselnya sejenak. "Eh, bagaimana hubungan kalian?" tanyanya yang mulai serius saat aku kembali dari dapur dan membawakannya nampan berisi minuman juice dan juga snack ringan.

"Alhamdulillah, semakin bahagia, Di. Kamu bagaimana sama Juan?" Aku memandangnya mengingat hubungan yang super romantis mereka.

Dan dia, dia menunduk sejenak, lalu tersenyum setelah mengangkat wajah. Lalu, "Kami akan tunangan bulan depan. Daniel juga beg... " Ucapannya seketika berhenti dan mengambang. Dan itu, berhasil membuat wajahku terangkat dan senyumku hilang.

Yeah, aku ingat. Daniel, mantan kekasihku adalah sahabat Juan, kekasih sahabatku, Dian. Dan aku hanya bisa tersenyum kecut padanya.

Tangannya kini merengkuh pundakku dan mengusapnya sembari tersenyum menyemangati, yang kubalas tersenyum padanya. Namun, bencinya, airmata konyol ini malah menggantung di pelupuk mataku.

"Tidak ada yang perlu di sedihkan, Di. Yang aku dapatkan saat ini, lebih dari yang aku impikan," lirihku lalu menarik napas dalam-dalam dan tersenyum.

"Aku sangat beruntung mendapatkannya." Gumamku dan itu membuat sahabatku tersenyum seraya mengangguk setuju.

"That's right! Yeah, kamu sangat beruntung, seandainya saja aku mendapatkannya pula." Gumamnya dalam nada suara hampa.

“Hei, kamu bahkan juga lebih beruntung, kan? Lelaki mandiri dan penuh wibawa dengan perusahaan sukses dan besar di mana-mana, tentunya juga sangat mencintaimu,” antusiasku menyemangati yang hanya di balas slow respons olehnya. Bahkan senyuman yang baru merekah itu tampak seperti-

"Oh ya, Jadi, calon keponakanku ini sudah berusia berapa?" alihnya menyela dengan antusias dan membuatku tersenyum kikuk dan heran.

"Oh Tuhan, terima kasih sudah memberiku sahabat yang meski super cerewet, tapi the best!" Seruku bergumam sambil memutar mata dan membuatnya cemberut, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. Ia lalu memelukku yang sekilas matanya tampak berkaca-kaca.

Cukup lama kami berpelukan, dan berhasil membuat suasana kembali mencair dan aku kembali tak canggung lagi. Meski sejujurnya, ada terbersit sedikit rasa aneh pada sahabatku ini yang terasa berbeda. Entahlah.

"Jadi, berapa?" tanyanya mengulang lagi setelah dekapan kami terlepas.

Aku lalu tersenyum dan sejenak mengusap perutku yang mulai membesar.

"Sudah jalan dua bulan, Di." Sahutku tersenyum mengangkat wajah memandangnya.

"Oh ya, jadi aqiqah-nya nanti gimana, Nes? Terus rencananya gimana? Terus kalau-"

"Sssstttt, not time to know yet!" desisku memotong dan menyelanya sembari nyaris berbisik.

Dan ia sejenak cemberut, lalu saling memandang dan detik kemudian kami tertawa bersama. Obrolan semakin berlanjut dengan seru, yang sesekali di selingi bersenda gurau.

 

...* * *...

 

Senja mulai masuk ke ruangan ini dan menampakkan cahaya jingganya. Untuk kali pertama, rasanya aku begitu canggung berada dalam satu kamar bersama lelaki yang telah menjadi suami sah dan halalku ini baru saja. Dia memandang, namun hanya sepersekian detik, kemudian cepat-cepat mengalihkan sepasang mata itu dariku. Dirinya sedari tadi merapikan yang entah apa, tepat tak jauh dariku yang tengah duduk di atas kasur empuk ini.

Hening. Hanya itu yang saat ini terjadi di antara kami, namun lucunya, sesekali kami berbalas senyum kecil namun terlihat kikuk.

“Umm, Nes, k-kamu  ....  mau istirahat? Mungkin kamu kelelahan dengan resepsi tadi.” Aku menggeleng kecil. “Oh. Atau .... mandi, mungkin? Maksudku, kamu bisa menghilangkan rasa lelah mu dengan menyegarkan tubuh, sementara aku memasak makanan untuk kita.” Lanjutnya yang membuatku lagi-lagi hanya menggeleng kecil.

“Aku mau shalat dulu, sepertinya waktunya hampir lewat.”

“Oh, oke.” Lagi, suasana kembali hening.

“Musholanya ada di bawah, dan sudah lengkap di sana. Jika kamu butuh sesuatu, aku ada di dapur.” Jelasnya kikuk memberitahu.

Aku mengangguk, namun kali ini sengaja aku selipkan senyum simpul, agar kesannya tidak terlalu kikuk.

“Nesya?” suaranya membuat kepalaku terangkat cepat.

“Ya?”

“Aku, Umm .... sudah, lupakan saja! See you.” Sahutnya menggantung yang membuatku mengernyit heran, lalu tersenyum di akhir kalimat dan menular padaku saat ia berlalu.

Aku lalu beranjak, sholat kemudian kembali ke kamar dan mandi serta berganti pakaian. Setelah itu, hanya berdiam diri di kamar sepanjang malam dalam kebungkaman. Bahkan, lelaki itu sedikit pun tak menggangguku dan membiarkan menyendiri di kamar ini.

Ruangan Musholanya tadi cukup luas, dan begitu sejuk. Rasanya begitu damai dan nyaman berada di dalamnya. Di sudut samping, ada koridor kecil namun masih dalam area musholla yang sengaja di tempatkan khusus untuk berwudhu dengan dua kran air di sana beserta alas kaki sendalnya. Sedangkan ruangan mushollah yang dindingnya dipasangi keramik kaligrafi dan motif hingga tampak begitu indah. Tepat di sebelah barat, ada sajadah besar sekaligus dinding yang di selimuti dengan keramik bergambar Ka'bah. Memandang itu, membuatku tersenyum hangat dan damai. Aku masih tak menyangka, ia masih memikirkan hal ini dalam hidupnya. Diam-diam aku berdoa dan berterima kasih telah memberikan lelaki baik itu dalam hidupku. Kado sekaligus anugerah yang indah.

Suara lembut yang nyaris tak terdeteksi indera pendengarku itu kini mengusik untuk memintaku turun makan malam bersamanya. Demi menghargai, toh sekaligus dia pernah jadi sahabatku, harus melakukan itu meski canggung. Dan benar saja, sepanjang kami makan malam, hanya suara peralatan makan kami yang terdengar di sela keheningan ini, dalam suasana canggung. Ia bahkan melarang untuk mencuci peralatan kotor dan hanya memintaku istirahat di kamar.

Lagi, kutemukan diriku dalam bayangnya. Masih sama, dengan mirisnya yang merenggut damai dan keceriaan hidupku. Yeah, Daniel masih berhasil masuk di celah pikiranku, meski aku berulang kali merangsek dan memaksanya untuk keluar. Entah apa yang harus kulakukan lagi, agar jerat konyol ini melepaskan ku. Mirisnya, setiap berusaha melupakan, air mata bodoh itu lagi-lagi berduka kelam. Memang benar! Sejauh apa pun kau pergi, sekeras apa upaya yang kau harus dan paksakan, pada akhirnya akan membawamu pada rasa sakit itu jua. Rasa sakit yang menimbulkan luka yang tak pernah kau lihat secara kasat mata, namun mampu membuatmu terjebak bertahun-tahun untuk keluar dari zona itu. Tapi aku percaya, setiap luka pada akhirnya akan menemukan kesembuhan tersendiri. Entah cepat atau lambat, dan itu hanya diri sendiri yang dapat melakukan.

Suara deret dalam ruangan itu kini merecoki lamunan dalam hening ku. Mata ini teralih pada lelaki yang sibuk sendiri di sana, sembari tengah berusaha mendorong sofa dan—

“Oh, hai, Nes?” Firhan masih tersenyum kikuk.

“Apa perlu bantuan?” tawarku saat menyadari dirinya tengah sibuk menggeser sofa, entah untuk apa dan di kemana kan.

“Tidak apa-apa. Aku hanya menggesernya sedikit untuk ditempati tidur nanti malam.” akuinya polos.

Keningku mengernyit. “Apa? Siapa yang menyuruhmu tidur di sana?”

“Aku sendiri.”

“Kenapa?”

“Kenapa?” tanyanya balik.

Keningku semakin mengernyit. Lalu, “Tidak. Maksudku, mengapa kamu tidur di lantai? Bukankah kita sudah menikah? Umm .... begini, setidaknya itu sudah halal di mata Allah.”

Dia terkekeh. Kecanggungan di antara kami mulai menghilang.

“Ini kemauanku sendiri. Iya, benar, aku tahu kita sudah menikah, tapi bukan berarti aku sudah memilikimu, Nes. Aku hanya tidak ingin sesuatu terjadi pada kita, terlebih kamu tidak mencintaiku atau atas dasar kamu tidak mau,”

Oh, aku tahu! Dia masih menjaga kehormatanku, masih menghargai diri ini yang jelas-jelas lelaki yang kuharapkan dan cinta selama ini bahkan sama sekali tak peduli lagi..

Sejenak, aku menatap mata sendunya. Lagi, diam-diam berterima kasih pada Tuhan.

“Tidak akan terjadi jika kita tidak melakukannya, tidak ada keinginan. Jadi, kumohon, tidurlah di tempat tidur.”

“Kenapa?”

“Bisakah kamu tidak bertanya?” dia terkekeh lagi, namun kali ini menatapku dengan aneh.

“Aku lupa kamu sedang hamil, itulah mengapa sensitive begitu.” Senyumnya menggoda yang membuatku tersenyum menunduk, namun diam-diam menghela napas.

“Jadi?” tanyaku lagi.

“Kamu .... terdengar seperti sangat ingin tidur bersamaku, ya?” timpalnya menyipitkan mata dengan curiga namun dalam menggoda. Rasanya menemukan kembali sahabat lamaku.

“FIRHAN?”

Dan untuk kali pertama, aku melihat tawa lepas itu yang begitu lebar. Terasa menyenangkan menatapnya seperti itu. Ia begitu bahagia terlihat. Yeah, dia seperti kembali. Sangat Firhan yang selalu konyol dengan lelucon asalnya.

Firhan mengangguk sembari mengacungkan ibu jarinya, namun masih dalam tawa riang yang membuatku tersenyum memandangnya.

Suara deringan ponselku kini membuyarkan lamunanku saat aku mengingat hubungan kami dahulu yang baru di mulai, yang membuatku sejenak tersenyum, lalu mengangkat telepon, saat aku menyadari sejenak bahwa aku telah sendirian di ruangan tengah ini.

 

...****...

1
Noveria_MawarViani
mampir juga ya ke novelku
Noveria_MawarViani
romantis banget
Noveria_MawarViani
bagus ceritanya
tasha angin
Gak sabar nunggu kelanjutannya!
Moira Ninochka Margo: halo kak, makasih udah baca, udah di up ya sampai bab 10
total 1 replies
Sky blue
Salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, mantap!
Moira Ninochka Margo: halo, makasih udah mampir dan support. Moga betah, hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!