Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 1
..."Masa remaja itu indah, tetapi waktunya singkat. Seperti senja yang hadir dengan begitu rupawan lantas menghilang dalam waktu sekejab. Namun, pada masa itu kita menemukan diri yang berjalan tanpa arah." ...
****
Siang itu di SMA Bina Pradipta sebuah sekolah elite yang dihuni oleh anak-anak kaum berduit, memiliki fasilitas lengkap dan merupakan sekolah favorit di pusat kota.
Priiittttt!
"Gila! Buruan! Ketangkep, mati gue!" Cowok berseragam berlari kencang bersama dua orang
temannya yang lain setelah mendengar bunyi peluit.
Namanya Artha Pradipta. Dari namanya saja semua sudah tahu jika cowok itu adalah anak dari pemilik sekolah. Namun, bukannya menjadi pribadi yang bisa dijadikan suri tauladan, kerjaan Artha lebih pada bermain-main tidak jelas. Melanggar aturan sekolah sudah menjadi rutinitasnya. Papanya sudah pusing memarahi, bahkan hukuman tak jarang diterima Artha sebagai konsekuensi atas sikapnya yang nakal. Tapi balik lagi dari tabiatnya yang memang pembangkang dan susah diatur. Entah, meniru siapa anak itu?
"Apa? Lo aja yang mati. Jangan ajak-ajak gue!" dirga ngos-ngosan saat menjawab. Dia juga bergabung dalam pelarian kali ini. Sementara mahesa sudah tidak kuat bicara. Dia lebih fokus mengatur napas. Karena ulah dirga membuat mereka semua harus berlarian seperti ini.
"Eh, Monyet, gue kek gini juga gara-gara lo!" Artha menimpali. Intinya semua gara-gara Dirga.
"Kita kan pren. Susah seneng bersama."
"Adanya lo inget gue saat susah, doang. Giliran
seneng, lo ngumpet."
"Woy! Jangan kabur kalian bertiga!" Perdebatan mereka berhenti setelah mendengar suara menggelegar.
Suara peluit dari security mengiringi langkah cepat ketiga cowok berseragam itu. Bukannya berhenti, mereka malah kabur dengan berusaha
melompati pagar pembatas sekolah.
"Lemot amat sih, lo! Pantat doang digedein." Dirga memaki sambil membantu Mahesa menaiki dinding yang tingginya mencapai 2,5 meter. Bahunya digunakan sebagai pijakan, dan nantinya Artha menariknya dari atas. Hal biasa yang dilakukan oleh ketiga murid populer SMA Bina Pradipta ketika kabur dari pelajaran sekolah yang dirasa membosankan.
Mereka menyebutnya dengan Geng Manhattan. Sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan ujung sungai Hudson, kota New York. Nama itu dicetuskan sebagai nama kelompok mereka bukan karena asal, melainkan orang tua mereka sama-sama memiliki bisnis besar di sana.
Bagaimana tidak populer jika geng Mahattan isinya anak-anak orang kaya, tapi kerjaannya melanggar aturan sekolah. Biasanya mereka berlima, hanya saja hari ini dua di antaranya izin sakit. Entah sakit beneran atau hanya akal-akalan. Intinya omongan anak Manhattan enggak ada yang bisa dipercaya.
"Sialan lo!" ujar Mahesa tidak terima.
"Berisik! Buruan!" bentak Artha tak sabar. Matanya celingukan memindai situasi. Agak aneh memang, security yang tadi mengejar-ngejar mereka tiba-tiba tidak terdengar suaranya lagi. Namun, Artha tak ambil pusing. Dia dan kedua temannya hanya fokus untuk kabur, memanjat pagar tembok tersebut dengan susah payah.
Saat giliran Dirga naik, Artha turut mengangkat pantat serta tubuh cowok itu dengan kedua tangannya. Namun, teman laknatnya itu malah berbuat ulah.
Preeeet!
Tiba-tiba bau tak sedap menerpa tepat di wajah Artha. Seketika Artha terbatuk-batuk lantaran aroma busuk yang menusuk hidung.
"Anjing, lo kentut!" Dirga meringis.
"Sorry, kelepasan, Ta!"
"Biadab banget lo! Baunya astaga. Makan apaan sih lo tadi pagi? Kayak comberan yang enggak dikuras dua abad." Artha mengibaskan tangan kanannya untuk menghalau bau busuk yang menusuk hidung. Bener-bener temen gak ada akhlak.
"Biasa aja kali, Ta! Kentut gue satu tingkat lebih
wangi dari kentut Mahesa."
Mahesa yang mengulurkan tangan untuk membantu Dirga langsung menoyor kepala temannya itu.
"Maksud lo, kentut gue lebih busuk dari comberan?"
"Bacot lo berdua! Buruan!" Artha tak sabar dengan kedua temannya itu karena bahunya sudah lelah menopang tubuh Dirga. Bukan hanya itu, dia tidak ingin tertangkap dan berakhir menerima hukuman dari sekolah.
Perlahan, tetapi pasti. Mereka bertiga sudah berada di atas pagar tembok, bersiap melakukan
ancang-ancang pendaratan. Jangan pikir mereka takut turun dari ketinggian sekitar dua meter lebih itu. Ketiga cowok tersebut malah memproklamirkan diri sebagai Spiderman sekolah.
Ketiga tas dibuang begitu saja. Untung tidak ada barang berharga di sana. Hanya ada buku catatan dan beberapa buku panduan serta alat tulis yang tidak terlalu lengkap. Bukan karena mereka tak mampu, tetapi lebih tepatnya malas membawa barang-barang yang sebenarnya bisa didapatkan dari mengambil milik teman.
Setelah semua barang sudah mendarat di tanah, giliran mereka melompat begitu lincah. Dentuman terdengar bersamaan debu-debu berterbangan karena pijakan yang terlalu keras dari pendaratan mereka. Artha, Dirga, dan Mahesa mengibaskan kedua tangan dari debu yang menempel pada seragam yang melekat pada tubuh mereka.
Tas yang dilemparkan dikenakan kembali, bersiap pergi dari sana sebelum ketahuan. Namun, baru tiga langkah beranjak dari posisi, beberapa orang dewasa sudah berdiri di depan mereka.
Satu di antaranya jelas sangat Artha kenal. Pria dewasa yang kini sedang membawa tongkat hitam mengilat sembari melakukan gerakan menepuk beberapa kali pada telapak tangan tampak menatap mereka tajam.
Ya, siapa lagi kalau bukan sang pemilik yayasan,
Ravindra papa kandung Artha.
Pantas saja security tadi tidak mengejar mereka, ternyata semuanya sudah menanti di tempat
pendaratan, yaitu di luar pagar sekolah.
"Eh, Papa! Sudah lama, ya?" Artha meringis, mempertunjukkan deretan gigi putihnya yang terdapat serpihan cabe bekas makan seblak tadi
siang.
"Arthaaaaaaa!" teriak Ravindra geram, lantas
menjewer telinga sang anak dengan keras.
****
Artha menunduk sembari meremas jemarinya kasar. Bukan karena takut akan hukuman yang papanya berikan, melainkan dia sudah berjanji pada teman-temannya untuk nongkrong sore ini.
Ravindra berjalan mondar-mandir, bersiap memuntahkan semua amarah pada putra sulungnya itu.
"Keterlaluan kamu, Ta! Malu-maluin Papa. Kalau saja Papa bukan pemilik yayasan, kamu sudah
dikeluarkan dari sekolah. Ngerti, nggak?"
"Ngerti, Pa." Artha menjawab sekenanya. Yang penting baginya kali ini, sesi ceramah panjang dan lebar segera berlalu.
"Pokoknya Papa enggak mau tahu. Kartu kredit,
motor, dan segala fasilitas lain mulai detik ini Papa ambil."
"Apa?" Mata Artha membulat penuh. Dia tidak bisa hidup tanpa motor kesayangan. Kalau masalah kartu kredit, dia masih bisa ngutang. Tapi kalau motor dia enggak bisa balapan lagi.
"Jangan gitu, dong, Pa. Artha janji deh enggak bakal ngulangin lagi. Ini yang terakhir!"
"Terakhir apanya?!" Ravindra membentak, cukup membuat Artha menelan ludah.
"Sudah puluhan kali kamu janji sama Papa. Enggak ada negosiasi lagi. Dalam seminggu ini, kamu harus sudah ada perubahan." Telapak tangan Ravindra menengadah di depan wajah Artha.
"Mana ponselmu?"
"Eh, apa?"
"Ponselmu mana?" kata Ravindra mengulang
pertanyaan.
Artha merogoh saku celana, lantas mengeluarkan benda pipih dengan logo apel bekas digigit musang untuk kemudian diberikan pada papanya.
"Berapa sandinya?"
Artha menjawab malas, menyebut satu per satu sandi ponselnya seiring gerakan jari Ravindra menekan angka sesuai instruksinya. Memeriksa isi galeri adalah hal utama. Belum beberapa menit terlewati, Ravindra sudah merasa geram dengan apa yang tersimpan pada galeri telepon milik Artha.
Bukannya apa? Di sana banyak sekali menyimpan foto-foto cewek seksi dan beberapa video bok3p. Ravindra menggeleng beberapa kali.
Kepalanya mendadak pening. Bagaimana dia bisa memiliki anak semesum itu?
Ravindra menatap tajam Artha dan hanya ditanggapi dengan cengiran oleh putranya itu.
"Ini Papa ambil!" Dengan tanpa perasaan Ravindra memasukkan benda tersebut ke dalam saku celana.
Hal itu cukup membuat Artha ketar-ketir.
"Jangan kejem, dong, Pa! Tanpa motor, kartu kredit, dan ponsel, gimana Artha bisa hidup?" Artha menyahut tak terima. Bisa gila hidupnya tanpa benda-benda itu.
"Enggak ada kejam-kejam. Kalau dalam seminggu ini kamu enggak ada perubahan, Papa akan masukin pesantren. Mengerti?!" ucap Ravindra tegas lantas berlalu menggalkan Artha.