NovelToon NovelToon
Kabut Cinta, Gerbang Istana

Kabut Cinta, Gerbang Istana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Murni / Fantasi Wanita
Popularitas:432
Nilai: 5
Nama Author: souzouzuki

Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.

Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.

Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.

Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Padahal Baru Hari Pertama

Tiga puluh langkah dari gerbang dalam istana, Yu Zhen berhenti. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. Suara langkah kaki dayang lain berlalu-lalang di sekelilingnya, namun ia tetap diam. Tidak gelisah. Tidak gugup.

Tapi jujur saja... tidak ada satu pun dari ini yang benar-benar ia inginkan.

“Masuk istana demi cinta?” gumamnya lirih, mengejek dirinya sendiri, sambil mengingat keinginan ibunya untuk ia segera menikah.

“Yang benar saja. Aku masuk karena dunia terlalu kejam pada orang yang miskin.”

Gadis berusia delapan belas tahun itu berdiri tegak, punggungnya lurus, dagunya terangkat sedikit—bukan karena angkuh, tapi karena martabat. Ia mengenakan jubah dayang baru berwarna pucat yang kebesaran satu nomor. Pinggangnya ramping, wajahnya tenang, dan tatapan matanya… seperti bisa menembus dinding istana dan membaca isinya.

“Istana tak butuh gadis cengeng,” begitu kata pamannya, dua hari lalu. “Tapi kalau kau cukup pintar, kau bisa bertahan. Dan kalau beruntung... naik perlahan.”

Yu Zhen tahu, pamannya tidak sepenuhnya bicara untuknya. Pamannya adalah salah satu pejabat Kementerian Upacara—berstatus, tapi tak cukup tinggi untuk membuat keponakannya langsung dilirik siapa pun di istana. Ia menyelipkan Yu Zhen ke dalam daftar calon dayang. Tidak sebagai jalan pintas, tapi sebagai… percikan harapan.

Bagi pamannya, mungkin ini soal citra keluarga.

Bagi Yu Zhen? Ini soal bertahan hidup.

Ia melangkah lagi.

Bangunan-bangunan megah menjulang di depan. Tiang-tiang berlapis emas, genteng berkilau, dan bendera-bendera panjang berkibar pelan diterpa angin. Langit di atas istana tampak lebih terang dari desa tempatnya berasal. Tapi yang membuat Yu Zhen menarik napas bukanlah kemewahan—melainkan pemikiran bahwa tempat ini, sesungguhnya, adalah medan perang paling sunyi.

Semua orang terlihat tersenyum.

Tapi siapa yang sedang mengasah belati di balik senyum itu?

“Nama?” tanya seorang pengawas dayang begitu ia mendekat.

“Yu Zhen.”

“Marga?”

“Tidak punya.”

Pengawas itu meliriknya dari ujung kepala sampai kaki. Tidak ada nada menghina di wajahnya—tapi Yu Zhen bisa membaca dari tatapan dingin itu: satu dayang tanpa marga, pasti tak berasal dari kalangan mana pun.

“Umur?”

“Delapan belas.”

“Lulusan?”

“Belajar sendiri.”

Pengawas mencatat cepat, lalu menunjuk seorang dayang muda yang berdiri di belakang. “Fei Lian, antar dia ke barak barat.”

Dayang itu menoleh dan tersenyum—senyum tipis yang nyaris tak terdeteksi kalau saja mata Yu Zhen tak terbiasa membaca orang.

“Namamu Yu Zhen, ya?” tanya Fei Lian sambil berjalan di sampingnya. “Lucu juga namanya. Zhen itu artinya tulus, kan?”

Yu Zhen hanya mengangguk pelan.

Fei Lian tersenyum lagi, kali ini lebih jelas. “Semoga kamu cukup tulus untuk bertahan di sini.”

Nada suaranya lembut, tapi Yu Zhen menangkap ironi di ujung kalimat itu. Entah sindiran, entah peringatan.

Barak barat tidak seburuk yang ia bayangkan. Tempat tidur berderet rapi. Bau cendana samar memenuhi ruangan. Beberapa dayang lain sudah duduk, berbicara pelan-pelan di pojok ruangan. Sebagian melirik Yu Zhen, tapi belum ada yang menyapa.

Yu Zhen meletakkan buntalan kainnya di sudut paling ujung dan duduk diam.

Shuang Mei memperhatikan dari jauh.

Gadis itu duduk bersila di tempat tidur tingkat bawah, tepat di sisi tengah ruangan yang terlihat paling “hidup”. Bantalnya lebih tebal, tikarnya sudah dilapisi matras tipis warna hijau muda, dan di sisinya berdiri dua dayang lain yang tampak sibuk menyisir rambutnya dan membereskan lipatan pakaiannya.

Satu helai alis Shuang Mei terangkat sedikit saat melihat Fei Lian menunjuk ranjang pojok dan si pendatang baru duduk diam di sana.

“Yang duduk sendiri itu?” bisik salah satu dayang.

“Namanya Yu Zhen,” sahut Fei Lian. “Baru masuk pagi tadi.”

Shuang Mei mengangguk pelan. “Cantik, tapi bukan tipe yang cerewet.”

“Kayaknya bukan juga tipe yang bisa diajak ngobrol,” gumam dayang lain sambil melirik sekilas.

Sejak meletakkan buntalan kainnya, Yu Zhen tidak banyak bergerak. Ia duduk tenang, mengatur lipatan pakaiannya dengan rapi, lalu mengambil sisir kayu dari saku bungkusan dan merapikan rambutnya tanpa cermin. Gerakannya tenang, lambat, nyaris tidak mencolok—tapi justru karena itulah beberapa dayang lain mulai mendekat, mencoba mengajaknya bicara.

“Dari utara ya?” tanya salah satu sambil menyapu lantai dekat ranjang Yu Zhen.

“Iya.”

Yu Zhen hanya tersenyum tipis, tapi tidak membalas apa pun lagi.

Beberapa menit kemudian, yang tadi mencoba mendekat sudah kembali menjauh. Mereka bertukar pandang, lalu mengangkat bahu kecil-kecilan. Mungkin mereka mengira Yu Zhen sedang menjaga diri. Atau mungkin… sombong.

Saat langit mulai meredup dan cahaya dari celah genteng berubah keemasan, Shuang Mei akhirnya bangkit dari ranjangnya dan melangkah ke pojok ruangan.

Seluruh ruangan langsung seperti menahan napas.

Yu Zhen tetap duduk, namun kini mengangkat wajahnya perlahan.

Shuang Mei berdiri tepat di sisi ranjangnya dan menatap ke bawah dengan senyum manis yang tidak sampai ke mata.

“Ada kerabat di istana?" tanya Shuang Mei to the point, dia ingin mengukur seberapa berguna orang baru ini untuk jadi teman.

“Pamanku pejabat tingkat rendah. Tapi aku daftar lewat jalur biasa,” jawab Yu Zhen pelan, tidak sombong, tidak merendah.

Shuang Mei tersenyum—hangat di permukaan, namun dengan nada yang tak bisa disangkal: ini bukan sekadar sapaan.

“Aku Shuang Mei. Di kamar ini tidak ada pemimpin resmi, tapi… semua tahu siapa yang biasa mengatur. Kau bisa sebut aku yang paling dulu masuk. Selain itu, aku adalah keponakan Kepala Dapur.”

Yu Zhen tidak menyahut, hanya mendengarkan.

“Kalau kau ingin cepat akrab, tinggal ikut saja ritme yang sudah ada. Kita di sini tidak hidup seperti di rumah orang tua. Ini istana. Di sini, semua bekerja.”

Yu Zhen tetap tenang. “Saya mengerti.”

Tatapan mereka bertemu sejenak.

Tidak ada api. Tidak ada senyum palsu.

Tapi melihat sikap yang tidak berbasa-basi, Shuang Mei tahu: yang dihadapinya bukan anak polos dari desa.

Ia akhirnya tersenyum lagi, lalu berbalik ke ranjangnya. Beberapa dayang langsung mendekatinya, menyodorkan bantal, minyak gosok, dan mulai bercerita pelan. Tapi dari sudut ruangan, Yu Zhen tidak berkata apa-apa.

Yu Zhen hanya melipat pakaiannya yang terakhir. Kemudian menarik selimutnya pelan.

Ia tak berniat tidur lebih cepat dari yang lain, tapi ia juga tak punya minat ikut mengobrol atau mendengar tawa palsu yang terasa dibuat-buat di tengah ruangan.

“Eh,” bisik seorang dayang yang baringnya tak jauh darinya, “besok subuh jam ayam ketiga sudah harus bangun. Jangan sampai telat, nanti dicatat.”

Yu Zhen menoleh sedikit. “Untuk apa?”

“Pembagian tugas,” jawabnya sambil menopang dagu di bantal. “Pengawas turun langsung. Katanya bakal keliling semua barak.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!