Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1.
“Pagi ini pak Hasta harus menginterview beberapa orang yang sudah mendaftar di perusahaan kita pak” seorang pria berjas hitam sambil mencatat sesuatu di buku kecil yang ia pegang. Berbicara pada pria yang duduk membelakanginya.
Pria yang membelakangi itu tampak menghela nafas dengan panjang sebelum berbalik, ia langsung memutar kursinya dan berdiri dari duduknya saat ini. Membenarkan dasi miliknya dan juga jasnya.
“Setelah interview ini ada lagi yang harus saya lakukan?’ tanya pria yang bernama Hasta tersebut.
“Sehabis melakukan interview pak Hasta harus menemui Pak Hendra” Hendra adalah ayah dari Hasta Direktur utama perusahan mereka saat ini.
“Oke” ucap Hasta dan berjalan keluar melewati sekertaris pribadinya tersebut. Pria berjas hitam itu langsung mengikuti Hasta yang keluar dari ruangannya.
“Ada berapa orang yang saya interview Robi?’ tanya Hasta pada pria yang bernama Robi tersebut.
“Sekitar delapan orang pak” jawab Robi melihat catatan di buku kecil yang ia pegang.
Hasta berjalan tegap menatap lurus kedepan menuju ruangan dimana dia akan menginterview orang-orang yang melamar ke perusahaannya.
Delapan kandidat yang akan ia interview, dari ribuan orang terpilihlah delapan dan nanti akan di saring lagi menjadi empat orang. Perusahaannya hanya membutuhkan empat orang saja tidak lebih”
Kini Hasta sudah memasuki ruangan dimana dia akan menginterview, dia berjalan sambil melihat sekilas pada delapan orang yang duduk berderet di depan tiga orang pegawainya yang akan menemani dirinya megintervew.
Langkah hasta terhenti saat melihat seorang yang tidak asing baginya, tatapan tajam dengan mata sedikit berkedut ia tunjukkan. Seketika wajahnya berubah mengeras tangannya terkepal di kedua sisinya.
“Pak Hasta selamat datang” sapa ketiga orang pegawai menyapa Hasta yang masih fokus melihat salah satu perempuan yang duduk di bagian peserta interviewnya saat ini.
Hasta tak menanggapi, dia duduk begitu saja dan tatapannya masih fokus menatap kepada perempuan yang menunduk tersebut. Tatapan Hasta begitu tajam, seperti penuh kebencian, dia mencengkram kuat pulpen di tangannya.
Interview di mulai, delapan orang itu menjawab dengan cukup baik tapi sayang perusahaan hanya akan memilih empat orang saja di antara delapan orang itu.
Zahra perempuan yang menunduk tadi tampak senang, dia mengaca di depan cermin kamar mandi di toilet perusahaan tersebut.
“Ayah bunda, pasti ini doa kalian aku bisa menjawab tanpa gugup. Doain semoga aku keterima ya” Zahra bicara sendiri seolah tengah bicara pada kedua orang tuanya. Sejujurnya dia ingin menelpon kedua orang tuanya saat ini tapi sayang ponselnya ketinggalan di rumah.
“Ayo Zahra semangat, demi bunda sama ayah kamu. Kamu pasti keterima” Zahra menyemangati dirinya sendiri sambil menatap kearah cermin.
Setelah itu Zahra keluar dari dalam toilet, dia berjalan dengan wajah riang penuh senyum. Zahra memang orang yang periang gadis dua puluh empat tahun itu orang yang humble dan murah senyum.
Tanpa sengaja dia menabrak seseorang yang berjalan berlawanan darinya, entah tubuhnya yang ringan atau orang di depannya yang berbadan besi sehingga membuatnya terjatuh dengan pantat menyentuh lantai.
“Arkhh” rintihnya kesakitan sambil memegangi bagian belakangnya.
Orang yang dia tabrak hanya menatap datar padanya tanpa niat membantu, Zahra yang tadinya ingin meneriaki orang tersebut langsung diam saat ia sadar yang ia tabrak adalah calon bosnya nanti.
Robi sekertaris pribadi Hasta membantu Zahra berdiri,
“Anda baik-baik saja nona? Kita minta maaf” ucap Robi saat sudah membantu Zahra.
“Ah saya tidak apa-apa kok pak” jawab Zahra sambil tersenyum.
“Robi ayo pergi” Hasta tak menanggapi, dia mengajak Robi untuk pergi. Pria itu melewati Zahra begitu saja.
Zahra melihat kepergian dua orang itu,
“Pak Hasta kenapa ya? Kenapa keliatan nggak suka banget sama aku” gumam Zahra sambil melihat dua pria itu yang kian menjauh.
“ah mungkin cuman perasaanku aja” ucap Zahra kemudian dan langsung kembali berjalan keruangan dimana mereka di suruh menunggu hasil pengumuman.
……………………..
“Aku malas bertemu papa ya begini, dan apalagi ini kenapa mama juga ada disini” keluh Hasta terlihat jengah dengan kedua orang tuanya yang duduk di depannya saat ini. Hasta sendiri saat ini ada di ruangan sang papa.
“Mama kesini karena mau bantuin papa kamu, ini sudah tahun kempat kamu janji sama mama” ucap Kharisma pada putranya, ia menagih janji putranya tersebut.
Hasta terdiam, dia mengingat kejadian empat tahun lalu dimana saat kakaknya tiada.
“Aku sudah nepatin janji sama papa mama, aku sudah membuat keluarga mereka hancur” jawab hasta menatap kedua orang tuanya.
“mama sama papa nggak pernah minta hal itu, kita sudah ikhlas kakak kamu tiada. Bukan janji itu yang kita maksud” ucap hendra.
“lalu?”
“janji untuk membahagiakan mama dan papa seperti yang kakakmu ingin lakukan”
“hah..maksudnya?’
“Kapan kamu menikah? Mama sama papa ingin melihat kamu menikah. Itu hal yang membuat kita bahagia”
“Konyol” Hasta berdecih.
“kita serius Hasta, umur kamu sudah mau kepala tiga kapan kau akan menikah memberi kita cucu. Papa dan mama ingin seperti teman kami yang lain”
“perkataan yang konyol, suruh saja Hana yang menikah dan memberikan kalian cucu” tukas hasta. Hana adalah adik perempuan Hasta. Dia empat bersaudara, ia memiliki kakak laki-laki, satu adik perempuan dan satu adik laki-laki. Tapi sayang kakaknya sudah tiada, sehingga membuat dirinya menjadi anak pertama di keluarganya saat ini.
“hana memang akan menikah tapi dia menunggumu baru dia akan menikah, kau tidak kasihan dengan adik perempuanmu”
“Drama macam apa lagi ini, kalau ingin menikah, menikah saja”
“jangan bilang apa yang hana bilang selama ini benar kalau kau menyukai perempuan yan Hardin cintai” tebak Hendra.
Deg..
Hasta terdiam, mulutnya terkatup wajahnya berubah dingin.
“Omongan dia tidak usah di dengar”
“kalau memang betul, berarti secara tidak langsung kamu juga ikut terlibat dalam kematian kakakmu” pungkas Hendra menatap anaknya mencari jawaban.
Hasta jelas terkejut, ia tak menyangka Papanya akan berkata begitu. Empat tahun sudah ia merasa bersalah dengan kakaknya dan kejadian itu di ungkit kembali saat ini.
Empat tahun lalau, dia membuat kesalahan yang cukup besar di keluarganya. Kesalahan yang begitu ia sesali saat ini
“Papa..” Kharisma menegur suaminya, dia memperhatikan Hasta yang tampak terpukul dengan ucapan papanya barusan.
“oke, kalau itu keinginan kalian. Kalian ingin aku menikah dan memberikan cucu kan. Aku berikan, tapi tunggu beberapa waktu..kalian tahu sendiri syarat pernikahanku cukup rumit” Hasta berdiri dari duduknya sambil membenarkan jasnya.
Kharisma juga ikut berdiri dari duduknya, Ia mendekati anaknya..
“hasta jangan di ambil hati ucapan papamu ya” ucap Kharisma.
“Aku pergi” hasta melepas tangan mamanya yang ada di pundaknya, ia langsung pergi dari hadapan kedua orang tuanya saat ini.
Kharisma langsung memarahi suaminya,
“kamu apa-apaan sih pa ngomong begitu sama Hasta”
“Papa akui papa salah, tapi dengan cara itu dia mau menikah. Papa melakukan itu juga demi kebaikan dia, kalau dia tetap berlarut dalam masa lalu dan menyesali atas apa yang terjadi di masa lalu kehidupannya bakal hampa” jelas Hendra.
“tapi menurut papa Hasta sudah melupakan perempuan itu atau belum?” tanya Kharisma khawatir.
“Papa kurang tahu, mungkin masih”
“Kenapa takdir di keluarga kita begini ya pa, Hardin dan Hasta menyukai perempuan yang sama dan parahnya perempuan itu juga memacari Hasta di waktu yang bersamaan.” Kharisma sedih mengingat masa lalu.
“Sudah ma,” hendra berdiri menenangkan sang istri.
……………………..
Zahra menangis di halte, untung saja halte tempat ia menunggu bus tengah sepi tidak ada orang disitu.
“Yaallah, aku pengen banget buat kedua orang tuaku bahagia tapi apa ini” ucapnya sambil menatap kelangit. Dia benar frustasi karena keyakinannya runtuh di saat dia tidak lolos dalam interview tersebut padahal ia sudah yakin karena hanya dirinya yang menjawab dengan baik saat interview teman-temannya terlihat gugup sedangkan dirinya tidak.
“Hiks, Hiks..harus kemana lagi aku cari kerja” ucapnya sambil terisak, ia sesekali mengusap air matanya yang terus menetes.
Zahra sudah melamar pekerjaan dimana-mana tapi tidak ada satupun yang lolos. Sedangkan kebutuhan rumah tangganya semakin banyak orang tuanya begitu butuh uang darinya untuk memperluas usaha mereka agar seperti dulu. Dulu usaha mereka begitu Berjaya toko dimana-mana sekarang hanya ada satu toko baju itupun cukup sepi.
Ditengah Zahra yang dirundung kesedihan, ponsel di dalam tas perempuan itu berdering membuat Zahra segera menghapus air matanya dan mengambil ponsel miliknya tersebut. Ternyata itu dari ayahnya, Zahra langsung mengangkat panggilan tersebut.
“Zahra bagaimana intervewnya, kamu keterima kan?” tanya sang ayah.
“Nggak yah” jawab Zahra lirih.
“ya udah nggak pa-pa, kamu nggak usah sedih ya..peluang rezeki masih begitu banyak nak. Tuhan pasti ngasih banyak rezeki pada kita kedepannya”
“maaf ya yah,” Zahra terlihat sedih, dia merasa tak berguna.
“iya nggak pa-pa,”
“Ayah nelpon kenapa?’
“Sebenarnya ayah pengen pinjem duit kamu kalau kamu keterima kerja, kakak kamu lagi butuh duit soalnya Ara”
“bang Bagas butuh buat apa sih yah. Baru sebulan lalu dia ayah kasih pinjem kenapa minta lagi sekarang”
“kakak kamu mau bagusin rumahnya nak”
“jangan di kasih, biar dia cari sendiri. Sudah punya istri bagusin rumah masih mintta orang tuanya” ucap Zahra tak terima jika sang ayah memberikan bantuan pada kakaknya.
“Aku tutup dulu” Zahra sudah tidak mau berbicara banyak, kalau berbicara dengan ayahnya dan menyangkut kakaknya membuat ia kesal saja. Bagaimana tidak kesal di keluarga mereka yang hidupnya enak hanya kakak laki-lakinya yang seorang pegawai negeri tapi masih saja kurang dan menggangu keluarganya lagi.
Zahra menaruh ponselnya kembali di dalam tas, ia mengusap wajahnya kasar. Matanya sudah bengkak karena menangis tadi, dia sedikit menutupi wajahnya karena angkot sudah datang dan halte itu mulai ramai oleh orang-orang yang naik kedalam angkot.
Ternyata tidak jauh dari situ hasta memperhatikan Zahra dengan tatapan dingin, dia menatap tak suka pada perempuan yang tengah naik kedalam angkot.
“Saya pastikan hidup mu dan keluargamu akan terus menderita” gumam hasta sambil mencengkram setir mobilnya.
***