kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Teman dari Sumur
Langit sore itu muram. Matahari seperti malu-malu menyentuh atap rumah warga Karangjati. Angin bertiup pelan tapi dingin, menyusup ke sela-sela dedaunan dan menyebarkan aroma tanah lembab yang tak sedap.
Di dekat gang kecil menuju rumah tua peninggalan Bidan Karsih, seorang anak lelaki duduk berjongkok di tepi jalan tanah. Namanya Galih, delapan tahun, anak semata wayang dari pasangan Pak Sukri dan Bu Lilis. Wajahnya polos, pipinya bulat. Tapi hari itu… ada yang berbeda di sorot matanya.
Ia berbicara sendiri.
"Namamu siapa?" bisiknya sambil menatap sumur tua yang tertutup separuh kayu lapuk di balik pagar rendah rumah tua itu.
Tak ada jawaban. Hanya desir angin dan suara cicit serangga.
Galih tersenyum sendiri. Ia seperti mendengarkan sesuatu.
“Kamu suka main kelereng? Aku bawa, nih….”
Ia mengeluarkan beberapa kelereng dari kantong celananya. Bola-bola kaca berwarna biru dan hijau bergulir di tanah.
Tiba-tiba salah satu kelereng menggelinding sendiri… perlahan menuju pagar… dan masuk ke dalam halaman rumah itu.
Galih berdiri.
Ia memandangi pagar tua dengan kayu lapuk dan besi berkarat. Rasa penasaran membawanya mendekat. Tak seperti anak lain yang ketakutan pada rumah itu, Galih malah merasa nyaman.
“Kamu main di sana, ya?” gumamnya. “Boleh aku ikut?”
Tak ada suara. Tapi ia melangkah melewati celah pagar yang terbuka sedikit.
Dari balik jendela rumah, Siska melihat sosok kecil itu menyelinap masuk halaman belakang.
Jantungnya mencelos.
“Erik!” panggilnya tergesa. “Ada anak kecil! Dia masuk ke halaman!”
Erik buru-buru keluar dari ruang belakang. Mereka membuka pintu dapur dan berlari ke pekarangan.
“Dek! Kamu ngapain di sini?” teriak Erik.
Galih terdiam, berdiri di dekat sumur. Tangannya menggenggam erat kelerengnya. Tapi matanya… tampak kosong.
“Temanku ada di sini,” bisik Galih. “Dia bilang dia tinggal di sumur ini...”
Siska mendekat. Ia meraih tangan Galih dengan lembut. “Dek, gak boleh main ke sini ya… ini tempat bahaya.”
Galih menatap Siska, pelan-pelan tersenyum. Tapi bukan senyum anak kecil biasa. Senyumnya dingin, pucat, seperti… bibir orang yang pernah terendam air lama.
“Aku gak sendiri, Tante,” ujarnya. “Tadi dia ajak aku masuk. Katanya… di bawah sana banyak mainan.”
Siska tercekat. Erik menarik Galih menjauh dari sumur.
Mereka memutuskan mengantar Galih pulang ke rumahnya. Bu Lilis tampak pucat ketika tahu anaknya masuk ke halaman rumah Bidan Karsih.
“Dia... belum pernah berani dekat ke sana sebelumnya,” gumam Bu Lilis sambil merangkul anaknya.
Galih duduk diam di kursi kayu, menatap kosong ke arah luar jendela.
“Dia bilang mau kasih aku boneka... boneka bayi... dari dasar sumur...”
Malam itu, Siska tidak bisa tidur. Ia terus terbayang senyum Galih yang begitu asing.
“Erik,” bisiknya. “Apa yang kita hadapi di sini... bukan sekadar cerita rakyat. Aku yakin, sumur itu... memang jadi tempat dia muncul.”
Erik mengangguk. “Aku mulai percaya. Tapi kita butuh bukti. Mungkin besok aku coba minta warga cerita lebih banyak. Mungkin ada orang yang pernah melihat langsung.”
Siska menatap jendela dapur yang gelap.
“Aku rasa kita sudah dilihat,” gumamnya pelan. “Sejak malam pertama, dia sudah tahu kita di sini. Dan sekarang... dia mulai keluar. Mencari teman baru.”
Di luar sana, angin kembali bertiup.
Jendela dapur bergetar pelan.
Lalu terdengar... suara kelereng menggelinding.
Di rumah Galih, anak kecil itu duduk sendiri di pojok kamar.
Ibunya sudah tertidur. Ayahnya dinas malam.
Galih bicara sendiri lagi, dengan suara pelan.
“Iya, besok aku datang lagi... Iya... aku gak bilang ke siapa-siapa.”
Ia tertawa kecil.
Lalu mengangguk.
Dan membuka laci meja kecil.
Di dalamnya... tergeletak sebuah boneka bayi. Kusam. Kotor. Matanya kosong.
Bibir boneka itu seperti terbuka sedikit. Dan dari dalam mulutnya…
keluar bisikan.
“Main… denganku…”